Kami kembali ke ruang rawat inap, dimana Tante Kate dirawat. Aku dan Ken masuk ke dalam untuk melihat keadaannya. Berjalan menghampiri bangkar tempat Tante Kate dan berdiri di sampingnya.
"Mama aku udah pulang, Mama bangun dong," gumamnya lalu mengangkat tangan Mamanya dan mencium punggung tangan Mamanya.
Aku memegang bahu serta lengannya lalu mengusapnya pelan, guna untuk memberinya kekuatan. Karena jujur, satu kalimat itu saja mampu membuatku hancur.
"Maafin aku Mama," nada suara Ken berubah menjadi lemah, dan di detik berikutnya aku mendengar sebuah isakan ditambah dengan bahunya yang berguncang pelan.
"Aku nggak berniat beneran kabur, aku cuman mau Mama tau kalau aku nggak mau pindah ke Amerika," lanjutnya.
Mengusap airmataku lalu mengusap punggung Ken, sungguh aku merasa sedih melihat hal seperti ini.
"Mam, buka mata Mama dan tunjukin sama aku kalau Mama masih mau liat aku," rengek Ken semakin terisak.
"Aku janji bakalan lakuin apa aja kalau Mama udah sadar, kalau Mama pengen pindahin aku ke Amerika lagi aku bakalan nurut kali ini Mam. Aku janji." Lagi, dia mengecup punggung tangan Mamanya dan sedikit meremasnya.
Ucapan Ken barusan sedikit menyentakku.
Ia rela jika orangtuanya benar-benar akan membuangnya ke negeri orang lain yang jauh disana. Astaga, jadi jika itu semua terjadi dia akan meninggalkanku begitu saja? Tuhan, ini sungguh berat.
Ken menghapus air matanya dan kembali menggenggam tangan Mamanya, "Mam bangun, aku mohon."
Tidak ada reaksi apa pun dari Tante Kate, hanya terdengar suara mesin pendeteksi detak jantung yang teratur. Ken semakin terisak lalu memelukku erat dan kembali menangis.
"Jezz, Mama gue nggak mau bangun, dia marah sama gue Jezz. Gue yang buat dia jadi kayak gini Jezz. Gue anak nggak berguna!" Racau Ken dalam pelukanku.
"Tante Kate masih butuh istirahat, Ken," sebisaku melontarkan kata-kata baik untuk menenangkannya, meskipun pada kenyatannya aku pun sama-sama khawatir dengan kondisi Tante Kate.
"Bilang sama gue kalau semua ini salah gue, Mama gue jadi kayak gini itu gara-gara gue!" Seru Ken masih dalam pelukanku.
"Bukan salah lo Ken, ini udah takdir. Dan itu semua keputusan Tuhan."
"Mama aja nggak mau bangun karena dia marah sama gue. Gara-gara gue dia jadi kayak gini, gara-gara gue Tucker mati, dan gara-gara gue Papa jadi marah sama gue!" Ken semakin meracau tidak jelas. Aku tahu jika hatinya sedang benar-benar hancur saat ini, tapi tidak seharusnya ia berbicara seperti itu.
"Ken udah, lo nggak boleh ngomong gitu."
Tiba-tiba suara mesin pendeteksi detak jantung itu merubah irama bunyinya, semakin cepat dan semakin cepat dan pada akhirnya terdengar suara nging... tanpa putus dan layar pendeteksi jantung tersebut yang asalnya bergerak naik turun, sekarang menjadi datar. Aku terkejut, melepas pelukan Ken lalu berlari keluar mencari pertolongan. Sementara Ken menemani Mamanya dengan menggenggam kuat tangannya dan merapalkan segala macam doa, meminta pada Tuhan agar Mamanya diberikan kesembuhan juga kesehatan lagi.
Dokter dan perawat yang aku temui langsung berlari kecil bersamaku masuk ke dalam kamar dimana Tante Kate dirawat. Mereka semua terliha panik, namun tetap berusaha menampilkan ekspresi setenang mungkin agar keluarga pasien tidak panik.
"Maaf tapi kalian harus segera keluar," kata perawat tersebut buru-buru.
"Mama jangan tinggalin aku," gumam Ken, tangannya yang gemetar.

KAMU SEDANG MEMBACA
UNCHANGED
Teen Fiction❝Maybe it's not about the happy ending, maybe it's about the story.❞ WARNING: This story is contain harsh words and another bad content, for story needed. So, please be wise. Do NOT steal any contents and scenes on this story because everything is b...