Bab 37

6.2K 454 126
                                    

"Geser!" perintahnya seraya masukk ke dalam taksi yang aku naiki ini.

Aku menurut lalu menggeser tempat dudukku dan memberi ruang untuk Ken. Dia masuk ke dalam taksi lalu menutup pintunya, setelah itu dia menyebutkan alamat rumahku tanpa bertanya terlebih dahulu dan sang supir taksi langsung melajukan mobilnya.

Aku terdiam sesaat sampai akhirnya kuberanikan diriku untuk menoleh padanya dengan sisa air mata yang masih menempel di pipiku.

"Kenapa lagi lo nangis?" tanya Ken yang langsung menoleh padaku.

Aku berusaha menahan air mataku tapi lagi-lagi aku gagal, aku menangis lagi dan mulai terisak.

"Shussshh kenapa lagi Jezz?" tanya Ken yang kali ini melembutkan nada suaranya.

Aku menyerahkan ponsel Ken langsung pada tangannya dan mengisyaratkannya untuk melihat ponselnya. Ken mengerutkan keningnya tidak mengerti tapi pada akhirnya dia melihat ponselnya.

"Hah? Amerika?" seru Ken kaget.

Dia berdecak sebal dan langsung menempelkan ponsel ke telinganya. Samar-samar aku dapat mendengar nada sambung lalu tiba-tiba berubah menjadi suara seorang perempuan.

"Mama dimana?" tanya Ken langsung.

"Aku bukan anak kecil yang habis melakukan kesalahan dan dengan mudahnya Mama deportasi aku ke tempat lain."

"Aku nggak salah, Ma."

"Ck, ya!"

Selesai mengatakan hal seperti itu Ken langsung memutus sambungannya dan mematikan ponselnya.

"Jadi lo nangis gara-gara pesan dari nyokap gue?" tanya Ken menatapku serius.

Ingin sekali aku mengelak tapi aku tidak bisa, aku sudah lelah. Jadi lah aku menolehkan kepalaku pada sisi kaca sebelah kananku lalu tiba-tiba Ken meraih pipiku dan memutar kepalaku agar menatapnya.

"Lo takut jauh dari gue?" tanya Ken dengan cengiran lebar di bibirnya.

Astaga aku baru benar-benar menyadari jika wajah ken sebonyok ini, bagian pangkal hidungnya di plester, bagian pelipis memar, sudut bibir sobek, pipi kanan lebam dan pipi kiri di plester juga. Astaga.

"Lo ngapain sih ngeladenin Zeeo segala?" tanyaku.

"Gue ladenin Zeeo bukan karena gue dendam gara-gara dia pacarin lo. Tapi gue ladenin dia karena yang pertama dia hajar gue duluan, dan yang kedua gue mau kasih pelajaran sama dia karena dia udah ngebentak lo."

Aku terdiam mendengar kalimat terakhir yang Ken ucapkan, kenapa dia harus melakukan hal tersebut?

"Lo punya otak nggak sih?" tanya Ken membuatku terlepas dari lamunanku.

"Lo yang nggak punya otak!" balasku malah kesal.

"Lo yang nggak punya otak! Lo tadi di bentak Zeeo dan harusnya lo itu tampar dia. Lo harus inget kalau Zeeo itu cowok, dan cowok itu nggak pantes ngebentak cewek kayak tadi. Apalagi lo itu pacarnya!" Seru Ken dengan nada kesalnya. "Terus kenapa lo nggak nyamperin Zeeo barusan?" tanya Ken lagi.

"Gue takut," jawabku lalu menunduk.

"Lo bukan Jacy yang gue kenal. Yang pertama lo jadi cengeng, yang kedua ini nih sejak kapan lo takut sama orang? Biasanya lo bakalan ngelawan siapapun yang udah buat masalah sama lo. Tapi kok sekarang lo takut sama Zeeo? Takut di putusin?" tebakan Ken mengapa langsung tepat mengenai sasarannya?

"Tau amat ah! Diem lo jangan ngomong terus! Berisik! Bawel banget! Lagian lo ngapain sih ikut-ikutan masuk ke sini? Yang ada juga lo pulang sono!" omelku sebal karena Ken baru saja merendahkan harga diriku sebagai cewek galak.

UNCHANGEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang