[17] : Berita Bahagia Tersebar

2.7K 181 14
                                    

"Bicaralah."

Suara Jovan membuat William sedikit menggerakkan matanya untuk menatap pria itu dan menghelakan napasnya dengan berat. Ia bahkan belum menemukan kata yang tepat untuk diucapkannya setelah 30 menit lamanya berada diruang kerjanya.

"Aku menitipkan adikku padamu. Meski hanya sementara, kau gagal menjaganya kan?"ucap Jovan tetap pada nada datarnya. Meski sebenarnya ada amarah yang besar dibalik tiap kata yang diucapkannya kini.

"Aku sama kagetnya denganmu saat mengetahuinya. Bahkan mungkin jauh lebih menyakitkan karena aku melihatnya secara langsung."kata William dengan nada rendahnya.

Jovan menoleh dan memberikan tawa mengejek pada William. "Namun, aku bersyukur adikku tak memilihmu. Kau tak pantas untuknya karena kau bahkan gagal untuk menjaganya dalam waktu sementara."ucapnya.

William mengangguk pelan. Ia tak marah akan ucapan Jovan padanya saat ini. "Marahlah padaku. Aku tahu kau menahan amarahmu sejak tadi. Pukul aku jika kau merasa itu akan membuatmu lebih baik. Namun, kumohon, jangan pada Mila. Kondisi tubuhnya tidak dalam keadaan baik untuk menerima amarahmu saat ini."ujarnya.

Jovan menatap tajam kearah William. Ia melangkah mendekat dan langsung menarik kera baju William dengan kuat. "Apa maksudmu? Adikku sakit?"tanyanya dengan amarah yang penuh menghiasi bola matanya.

William mendorong perlahan tangan Jovan dari bajunya. Ia lalu melangkah selangkah mundur menjauh dari Jovan dan kemudian menjejalkan kedua tangannya dalam saku celananya. Ia menghelakan napasnya lagi dengan berat dan berkata, "Aku tidak mengatakan dia sakit. Dokter hanya mengatakan kondisi tubuhnya sangat menurun saat ini. Kapanpun, dia akan dapat drop. Jadi, kuharap kau tidak menunjukkan amarahmu padanya. Aku hanya mengkhawatirkannya. Jadi, jika kau benar-benar sangat ingin marah, marahlah padaku saja. Jika kau ingin pukul, maka pukul saja diriku. Aku tak akan masalah menanggung semuanya untuk dirinya."katanya.

Jovan berbalik dan ia melayangkan sebuah pukulan keras ke dinding disebelahnya. Buku-buku ditangannya mengalirkan darah segar. Tangannya terluka, namun, itu tidak menyakitkan. Hatinya yang terluka kini, itu jauh lebih menyakitkan.

*****

Klek!

Dengan perlahan, pintu kamar itu terdorong masuk kedalam. Sosok Jovan pun melangkah dengan pelan masuk kedalam kamar tidur sang adik.

Tak sulit untuknya menemukan tubuh sang adik yang sedang terlelap dalam tidurnya dengan posisi membelakanginya. Ia melangkah mendekat padanya dan mengambil posisi duduk disamping tempat tidurnya.

Wajah indah dan tenang sang adik yang sedang terlelap tidur membuat senyuman tipis diwajahnya mengembang. Tangannya bergerak perlahan menyentuh beberapa helaian rambut sang adik lalu bergerak turun menyentuh pipi sang adik.

Andai ia dapat mengatakan betapa shock dirinya saat mengetahui adik kecil kesayangannya ini akan menikah. Adik kecilnya yang masih sangat kecil dimatanya, akan memulai sebuah babak kehidupan baru.

Memang seharusnya ia ikut bahagia untuknya, bukan? Hanya saja, rasa tidak rela membuatnya menjadi begitu terbakar oleh amarahnya. Belum lagi, apa ini semua terlalu terburu-buru. Bagaimana bisa ia membiarkan adiknya menikah dengan seorang pria yang masih sangat asing untuknya itu?

"Kejutan apa ini?"gumamnya pelan.

Mila perlahan mulai menggeliat dalam tidurnya. Matanya mulai mengerjap dan setelah beberapa kali ia mengerjap, kedua matanya terbuka.

Sosok kakak yang tersenyum hangat padanya menjadi objek pertama yang dilihatnya. "Kakak."gumamnya.

"Jangan terlalu banyak bergerak. Tubuhmu masih lemah."ucap Jovan dengan nada pelan.

PROMISETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang