[22] : Andai

2.5K 183 9
                                    

"Kamu belum datang ke mimpiku hingga hari ini, sayang."

Kevin menatap sendu pada batu marmer putih yang mengukir nama gadis yang sangat ia cintai itu. Tangannya bergerak perlahan, mengusap batu marmer tersebut dengan sangat lembut.

"Kamu tahu, sayang, kemarin siang, aku berhasil memenangkan sebuah tender proyek besar. Jangan meragukanku lagi kali ini, karena Jim sama sekali tak membantuku saat itu. Dia berada di London dan baru kembali kemarin malam."

Seperti ini. Dan akan selalu seperti ini. Berbagai hal meski hanyalah hal kecil akan selalu ia ceritakan. Walau ia tak akan mendapat balasan seperti dulu lagi. Walau ia hanya dapat mendengar suaranya sendiri yang bergema.

"Kamu tak marah padaku 'kan, sayang? Marah tentang keputusanku untuk membuatnya tinggal diapartemen kita?"

Kevin menggelengkan kepalanya perlahan. Meskipun ia tahu, ia tak akan mendengar jawaban apapun, namun ia tetap ingin bertanya.

"Jangan marah, sayang. Aku hanya, seperti biasa, sesuatu yang telah menjadi milikku tak boleh disentuh ataupun didekati oleh orang lain."desahnya.

Ia berhenti sejenak, menghelakan napasnya dengan berat, lalu melanjutkan, "Seperti yang kamu selalu katakan padaku dulu. Aku ini adalah pria yang egois."

Ia menggelengkan kepalanya. Matanya menatap kosong ke bawah dan kemudian ia tersenyum pelan. "Namun, pria egois ini adalah pria yang paling kamu cintai 'kan, sayang?"

Tanpa jawaban apapun, ia sendiri telah mengetahu jawabannya. Dan setidaknya jawaban yang ia ketahui itulah yang menjadi setitik kecil motivasi dalam hidupnya.

*****

"Ini contoh undangan yang aku dan Bunda sepakati, Kak. Bagaimana menurutmu?"kata Carrine seraya memberikan sebuah undangan pada Mila.

Mila meraih undangan tersebut, menatapnya sesaat dan mengulas senyuman tipis diwajahnya. "Indah. Aku menyukainya."gumamnya.

"Benarkah? Ah. Sayang sekali, aku tak dapat melihat betapa indahnya undangan tersebut. Namun, Bunda mengatakan undangan ini adalah yang terbaik dari undangan lainnya."kata Carrine dengan nada terdengar girang.

Mila masih tetap mengulas senyuman diwajahnya. Tangannya bergerak mengusap pelan undangan tersebut. Undangan yang didominasi warna silver dengan sebuah pita merah menghiasinya.

Tangan Carrine dengan perlahan bergerak menyentuh tangannya dan menggenggamnya dengan erat. "Aku mendoakan kebahagiaan kalian. Semoga Tuhan selalu senantiasa memberkati kalian dan menjaga hubungan kalian hingga mautlah yang akan memisahkan kalian."ucapnya.

Mila mengangguk pelan dan menyungging senyuman miris kala mendengarnya. "Terima kasih, Carrine."

Hanya itu yang dapat dikatakannya karena ia yakin hubungan ini tak akan mungkin mendapat berkat Tuhan karena mereka memulainya dengan sebuah permainan. Seolah mereka mempermainkan kesakralan dari arti sebuah pernikahan.

*****

"Kenapa?"

Carrine bertanya dengan sedikit memekikkan suaranya karena kaget mendengar keputusan yang dibuat sang Kakak.

Tidak hanya Carrine, semua orang dimeja makan juga kaget, termasuk Mila. Namun, tidak seperti Carrine, Mila hanya melirik Kevin dari ujung matanya, berharap pria itu memberikan alasan atas keputusannya itu.

Kevin melirik singkat pada adiknya dan kemudian pada Mila dan terakhir, pada sang Bunda. Ia dengan santainya kembali mengunyah makanan dalam mulutnya dan mengangkat bahunya pelan. "Menurutku, itulah keputusan yang terbaik."ucapnya.

PROMISETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang