[32] : Pertunjukkan Opera?

2.2K 182 10
                                    

Paris.

Malamnya.

"Apa kau sibuk?"

Kevin mengangkat sedikit kepalanya, menatap sosok yang baru saja bersuara. Memecahkan keheningan yang ada, setelah sekian lamanya keheningan itu terasa begitu mencekam diruang makan tersebut.

Bagaimana tidak. Keduanya bahkan duduk disisi ujung yang berseberangan pada meja makan yang berukuran cukup panjang tersebut.

Karena tak mendapatkan respon apapun dari Kevin, Mila pun melanjutkan, "Kak Jovan menelponku tadi siang."

Ia berhenti sejenak dan mengamati raut wajah pria yang masih enggan untuk bersuara itu, lalu menambahkan, "Kakak bertanya padaku, kapan kita akan pergi ke Indonesia."

Selesai kata terakhirnya itu, Kevin menghela sesaat napasnya, bersamaan pula dengan diletakkannya sendok makannya.

Meski dengan posisi duduk yang jauh, Mila tetap dapat merasakan helaan napas sosok dihadapannya itu. Merasa tak ingin membebani pria itu, Mila lalu berkata, "Bila kau sibuk, tak masalah. Aku dapat pergi sendiri. Aku juga tak ingin merepotkanmu."

Kevin menatap tajam pada sosok wanita yang ia rasa akhir-akhir ini semakin berani berbicara dengannya itu.

Ia tak mengerti mengapa mendadak ia merasa kesal kala mendengar kalimat, 'Tak ingin merepotkanmu' yang keluar dari mulut wanita itu. Kalimat sederhana yang dulunya tak pernah membuatnya merasakan yang seperti saat ini tengah ia rasakan itu.

Ia lalu mendorong sedikit kursinya ke belakang dan bangkit dari duduknya. "Minggu depan."gumamnya singkat seraya melangkah pergi meninggalkan meja makan. Meninggalkan sosok Mila yang masih duduk diam ditempatnya.

Untuk sesaat, jawaban dingin nan singkat dari Kevin, membuatnya merasa bahwa diantara mereka berdua, memang akan selalu ada sebuah pembatas.

Pembatas yang tak terlihat namun sangat terasa. Pembatas yang selalu ingin ia hancurkan, namun, selalu akan dibangun kembali oleh pria itu.

*****

'Kevin, Carrine memaksa untuk dapat bertemu denganmu. Jadi, kami akan tiba di Paris besok pagi. -Nic.'

Kevin mendengus kesal melihat pesan yang baru saja diterimanya itu. Ia lalu melempar asal ponselnya itu keatas meja kerjanya dan memilih berjalan kearah jendela dalam ruang kerjanya itu seraya menggosok frustasi wajahnya.

Tok! Tok! Tok!

"Masuk."gumamnya kala mendengar ketukan pintu ruangannya itu.

Sosok Jim lalu terlihat berjalan masuk. Ia pun melangkahkan kakinya mendekat pada sosok sang Bos. "Selamat malam, Sir."sapanya.

"Ada apa, Jim?"tanya Kevin dengan suara rendahnya.

Jim menatap sesaat pada wajah sosok yang masih berdiri menatap keluar jendela tersebut. Ia pun menyadari ekspresi frustasi yang terukir begitu jelas diwajah Bosnya itu.

"Ini tiket yang kau inginkan, Sir. Acaranya pada malam sabtu ini."ucapnya seraya meletakkan sebuah amplop diatas meja sang Bos.

Ia lalu meletakkan sebuah dokumen lainnya diatas meja tersebut. "Dan ini dokumen yang kau inginkan. Dokumen tentang Dennis McKenzie, Sir."

Kevin sedikit menoleh dan menatap singkat pada Jim sebelum beralih menatap dokumen yang terdapat diatas mejanya itu. "Lalu, apa yang kau dapatkan tentang dia?"tanyanya dengan nadanya yang tetap datar.

Jim menarik dalam napasnya. "Tidak ada yang mencurigakan, Sir. Dia adalah anak angkat keluarga McKenzie. Kedua orang tua kandungnya meninggal dalam sebuah kecelakaan dan kala itu ia baru berusia 7 tahun. Dan setelahnya, ia pun tinggal bersama dengan Kakeknya. Lalu, saat ia berusia 23 tahun, Kakeknya jatuh sakit dan membutuhkan biaya besar untuk pengobatannya. Tuan McKenzie pun datang dan menawarkan sejumlah uang untuk pengobatan Kakeknya dengan syarat ia mau mengangkat sosok Dennis McKenzie untuk menjadi putra angkat keluarganya."jelasnya.

PROMISETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang