[1] - Berawal Dari Luka

9.7K 274 9
                                    

Angin berhembus dengan pelan, menerpa wajah seorang gadis kecil yang sedang kursi roda dan kedua bola mata hitamnya menatap kearah langit biru yang indah. Tatapan matanya itu terlihat sayu. Tak lama, gadis kecil berambut hitam ini mengukir senyuman tipis diwajahnya.

"Mila."suara panggilan itu membuatnya menoleh kebelakang.

Mamanya, Denai Claretta, berjalan kearahnya dengan senyum yang melebar diwajahnya. "Apa yang sedang kau lakukan disini, sayang?"

Mila menoleh, menatap kearah sang mama dengan sedikit senyum yang diulaskan diwajahnya.

Denai Claretta mendekati Mila dan mengusap pelan kepala putrinya ini. "Kenapa kau diluar? Disini sedikit lebih dingin, sayang. Kau bisa terkena flu karenanya."

Mila mengangguk kecil, "Aku tahu. Tapi aku bosan selalu ada didalam kamar. Aku hanya ingin melihat matahari terbenam, ma."

Denai memilih duduk dibangku panjang, tepat disebelah putrinya kini berada. Tangannya dengan lembut terus mengusap kepala putri kecilnya ini. "Ma, apa aku boleh meminta sesuatu?"tanya Mila dengan suara rendah.

"Tentu, sayang. Apapun itu."ucap Denai. Rasanya dirinya ingin menangis melihat keadaan putrinya yang semakin hari semakin lemah. Dalam dirinya ada ketakutan yang teramat besar jika Tuhan akan mengambil putrinya dari sisinya.

"Aku ingin pulang, ma. Aku tak ingin disini lagi."lirih Mila.

Denai menghela napasnya dengan berat, lalu kemudian memaksakan sebuah senyuman diwajahnya, "Baiklah, sayang. Kia akan pulang setelah doktermu mengijinkannya, oke?"

Mila menatap sesaat kedua mata sang mama kemudian mengangguk pelan. Ia memang akan sangat senang jika ia benar-benar pulang kerumah. Sudah terlalu lama ia disini. Ia sangat merindukan rumahnya. Ia merindukan aroma kamarnya, bukan lagi aroma kamar rumah sakit ini.

Dan ini adalah bagian dari ingatan Mila 13 tahun yang lalu..

*****

Jakarta..

Drrttt! Drrttt! Drrttt!

Telpon itu bergetar diatas sebuah meja nakas dan akan terjatuh jika saja sebuah tangan itu tidak segera meraihnya. Senyuman diulaskan pelan diwajahnya ketika melihat nama yang tertera dilayar telpon. Ia segera meletakkannya diantara telinga dan bahunya. Sedangkan tangannya kembali sibuk mengeringkan rambutnya yang basah.

"Halo, Mila. Apa kau sedang sibuk?"suara pria itu terdengar keras dan membuat Mila mengernyitkan keningnya.

Mila melangkah ketempat tidurnya dan memilih duduk seraya menyilangkan kakinya. "Tidak, Will. Aku baru selesai mandi. Ada apa?"tanya Mila.

"Sebenarnya aku ingin bicara dengan kak Jovan. Aku sudah menghubunginya berkali-kali, namun ia tak mengangkatnya. Apa dia dirumah?"

Mila menggeleng dan menghembuskan napasnya kesal, "Sayangnya tidak. Akhir-akhir ini, dia sepertinya memang sangat sibuk dengan urusan perusahaannya. Dia bahkan selalu pulang larut malam, membuatku hampir melupakan wajah tampannya itu."

Will tertawa geli diseberang, "Mana mungkin kau bisa melupakan wajahnya? Kau saja selalu ingat jika dia memiliki wajah yang tampan. Padahal aku jauh lebih tampan darinya."

Mila sedikit mencibir, "Kak Jovan memang tampan, Will. Dia kakakku yang paling tampan. Dan kau, aku bahkan sudah lupa wajahmu. Kau terlalu lama di Paris sehingga membuatku hampir melupakan dirimu."

PROMISETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang