Siapa Namamu Ning?(1)

10.4K 393 12
                                    


Pagi itu perutku sakit sekali. Sepertinya sambal yang diberikan oleh petugas dapur terlalu pedas. Membuatku terjebak berlama-lama di WC, acuh pada teman-teman yang berkali-kali menggedor pintu WC. Suasana pondok sudah mulai lengang ketika aku keluar kamar kecil dan pengap itu. Teman-temanku telah berangkat ke sekolah. Kukeluarkan sepedaku cepat-cepat. Lalu kukayuh dengan kekuatan penuh untuk mengejar waktu. Ngos-ngosan-lah nafasku setibanya di jalan raya, sedangkan di depan sana masih terbentang jalan beraspal yang sangat panjang. Aku berhenti sejenak untuk menengok kanan-kiri sembari menghela nafas.

Tiba-tiba seseorang memanggil namaku. Tolah-toleh aku mencari sumber suara itu. Lalu ujung mataku menangkap sebuah pemandangan. Di sudut perempatan jalan, seorang gadis berkerudung dengan seragam sekolah putih biru sepertiku sedang melambai-lambaikan tangan. Gadis itu kemudian berlari ke arahku. Entah siapa dia. Memori kepalaku mengingatkan tentang seseorang ketika dia semakin dekat kepadaku. Dan benar, aku mengenalnya! Dia adalah putri Kyai Mursyid. Aku sering melihatnya ketika dia berangkat sekolah saat masih MI dulu, tapi aku tak tahu siapa namanya.
Di belakangnya, seorang wanita berlari mengikuti gadis itu. Entah siapa lagi dia.

"Cak, aku bareng ke sekolah ya? Sekolahnya di MTs N I juga kan?" pinta putri guruku itu memelas. Keningnya dipenuhi titik-titik keringat.

"Sepedae jenengan  kenapa Ning ?" tanyaku sopan.

"Bannya bocor. Aku bisa telat masuk kelas nanti kalau nunggu nambalnya selesai. Ini saja baru mulai nambal," urainya dengan bibir cemberut.

"Tapi nanti saya bisa dimarahi kyai kalau membonceng kamu Ning. Kan kita bukan mahrom," aku berbicara dengan hati-hati.
Perempuan yang tadi berlari mengikutinya itu ikut bicara, "Iya Ning. Nanti saya bisa kena marah juga. Kan saya yang disuruh ngantar kamu? Ditunggu aja dulu ya? pasti nambalnya cepet kok!" pinta perempuan itu. Terlihat sekali dia kewalahan meladeni putri Kyai Mursyid itu.

"Emang sampean  seneng kalau aku dimarahi Pak Jon karena telat masuk?''

"Ya nggak gitu maksudnya, Ning!" perempuan itu menjawab dengan raut muka bingung. Dia kalah argumen dengan gadis kecil itu.

"Terus apa? Gak tau kalian kalau dorurot bisa menghapus larangan? Addorurotu tubihul mahdzhurot!  Sudah! Sekarang cepet bonceng aku!" serang ning itu dengan suara lantang. Dengan dalil pula. Gadis sekecil itu sudah pandai berdalil? Ah, wajar aja, ayahnya kan kyai? Kami pun terdiam.

Setelah merasa tak punya alasan untuk mengelak, akhirnya dia naik sepeda pancalku. Wanita yang mengantarnya itu terpaku di tempatnya berdiri. Menatap kami dengan wajah cemas.
Sejurus kemudian aku telah menggenjot pedal dengan grogi. Mimpi apa aku semalam sampai bisa bersepeda membonceng seorang putri kyai seperti ini? Perasaan segan membuatku jadi salah tingkah. Lidahku pun kelu. Tak tahu harus bicara apa untuk memecah suasana yang kaku. Mungkin memang sebaiknya aku tak mengajaknya bicara. Dalam kitab ta'lim mutaalim  itu seingatku tak baik bagi santri memulai pembicaraan terlebih dahulu dengan guru.

Kakiku terus menggenjot pedal. Tak menghiraukan kecamuk perasaan yang sedang tak menentu. Dan tiba-tiba gadis yang belum kukenal namanya itu menyikutku seraya bertanya, "Sampean kelas berapa?"
Kusempatkan menghela nafas sebelum menjawab pertanyaannya.

"Aku kelas delapan Ning. Sampean masih baru masuk tahun ini ya?" aku menjawab sambil menoleh ke belakang.

"Iya!" jawabnya lantang.

Deg! Jantungku berdegup cepat. Lantang sekali suaranya. Kakiku terus menggenjot pedal, dan pikiranku mulai berkecamuk.

''Berarti baru kelas tujuh saat ini?'' tanyaku lagi.

''Enggak, aku sudah kelas sembilan sekarang!" jawabnya ketus. Aku bingung dan merasa janggal dengan jawabannya. "Ya iya lah aku kelas tujuh! Masak baru masuk sekolah langsung kelas sembilan?" lanjutnya lagi. Mungkin kesal dengan pertanyaanku. Mungkin juga masih kesal dengan wanita yang mengantarkannya tadi, mereka baru saja beradu mulut. Tapi jawaban ketusnya malah menumbukan nyaliku untuk mengajaknya bicara.

''Eh, iya … ya. Hmmm, jenengan  kok sudah tahu nama saya sih Ning?" aku bertanya memberanikan diri. Dia tadi berteriak memanggil namaku, aku merasa GR.

"Daya ingatku kan kuat!!" celetuknya.

Semakin jauh jalan raya yang kami lewati, lalu lalang kendaraan semakin ramai. Kendaraan yang berjejal-jejal di jalanan beraspal itu terus merayap, mengejar waktu.

"Jadi, apa kita pernah berkenalan, Ning?" tanyaku kemudian.

"Nggak!" jawabannya singkat sekali. Aku lupa kalau gadis cantik ucapannya mahal!

"Lalu?" tanyaku lagi, menirunya yang berhemat dalam kata. Aku semakin penasaran, dari mana dia mengenalku? Aku adalah satu diantara puluhan, bahkan ratusan santri yang masih bersekolah tingkat SMP di pondoknya. Kalau dia sampai tahu namaku maka aku patut untuk berbangga hati.

🤸🤸🤸


Bersambung.

Silahkan komen🙇

Romantika Alfiyah Ibnu MalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang