Tanah Rantau(1)

2.2K 123 15
                                    

Drtt! Drrrtt!

HP-ku bergetar. Ada panggilan masuk. Kutengok jam di HP-ku. Sebentar lagi take-off.

"Siapa Mas?" tanya istriku.

"Sultan. Diangkat apa enggak?" tanyaku. Dia memandangku lekat, matannya berkedip indah.

"Sultan?" dia kembali melontar tanya.

"Iya. Yang pernah suka sama kamu itu," jawabku sambil tertawa kecil.

"Angkat apa enggak?" aku bertanya kembali.

"Angkat aja Mas. Kasian kan!"

"Nggak usah ah," desisku.

"Loh. Kenapa Mas? Temanmu kan?" serunya.

"Biarin aja. Takut ada yang CLBK entar."

Matanya melotot sebal kepadaku. Aku mencoba sok cool. Kudiamkan saja dia yang kemudian terus mengomel.

"Kami dulu tak pernah ada apa-apa Mas!" sentaknya sambil cemberut.

"Percaya," jawabku sambil tertawa.

Kami kemudian menceritakan masa-masa ketika kuliah di Jogja itu.

* * *

Udara kota jogja begitu menyengat. Bajuku terasa lengket. Aku kemudian beringsut ke tepian jalan. Sepeda pancalku terparkir sendirian di dekat angkringan. Sebentar kemudian kerongkonganku telah basah oleh air es cincau. Dan pikiranku menggeletar riuh oleh sesosok wajah gadis berjilbab tadi pagi. Dia kuliah ke sini? Dia jadi adik tingkatku? Bagaimana aku harus menghindarinya?

"Kau lihat maba itu Lik, ayu tenan kan?" ucap Sultan tadi pagi.

"Jangan pura-pura kau tak tertarik padanya kalau kau masih waras." katanya lagi. Aku terdiam setelah melihat gadis itu sekilas. Dan sampai kini dadaku masih terus bergemuruh. Aku kemudian beranjak meninggalkan gazebo ketika Sultan memamerkan keberaniannya mendekati cewek itu. Kini, bahkan ketika segelas es cincau sudah hampir habis pikiranku tak juga tenang membayangkan tingkah Sultan mendekatinya. Aku mencoba membuka HP untuk memainkan game. Baru saja aku membuka password -Sultan mengirimiku pesan WA.

"Dia adik kelasmu waktu MTs Lik, masak kau tak kenal gadis secantik dia?"
Dadaku berdegub-degub. Aku cepat-cepat membayar es cincau. Beberapa detik kemudian kakiku sudah menggenjot pedal sepeda sekencang-kencangnya. Berlari sekuat tenaga menuju pondok.

* * *

"Dicari Yai Bad tadi Kang."
"Bilang saja aku sedang sakit Man."
"Iya Kang. Hmm emangnya Kang Malik sedang sakit apa?"
"Hati." ucapku ketus.
"Maturnya gimana Kang? Mosok yo sakit hati gitu?"
"Bilang aja sakit, kan bisa to?"
"Jadi nanti nggak setoran lagi kamu Kang?"

"Sudah pergi sana. Urusi saja hafalanmu. Nggak usah ngurusi urusanku," remaja kelas 2 aliyah itu kemudian pergi meninggalkanku dengan raut takut.

Tanganku tak mampu lagi menahan diri untuk tidak membuka HP. Setelah FB terhubung aku membuka profil Ning Fiya. Dia membuat status mulai belajar Sastra Arab UINSUKA. Setelah itu tubuhku kelimpungan menahan gelisah. Alamat aku tak setoran lagi hari ini.
Tak berapa lama kemudian pintu kamar berderit. Wajah Sultan menampakkan diri. Ia menyeringai menyebalkan.

"Dia titip salam untukmu Lik."

"O ya? Makasih Tan."

"Nggak kau balas salamnya?"

"Jadi PDKT-mu berhasil ya tadi?"

"Hmmm, malah nylimur."

"Malah nylimur," balasku.

"Dia juga mondok selain kuliah di sini. Tapi nggak mau ngaku pondok mana."

"Jadi, itu saja percakapan kalian?" tanyaku lagi.

"Rahasia dong. Doakan aku berhasil ya?"

"berhasil apa maksudmu?"

"Mendapatkan gadis itu lah.

"Iya. Gampanglah itu."

"Kamu sakit beneran?" tanya Sultan.

"Iya. Mag-ku kambuh kayaknya. Makanya kemarin aku ngacir duluan," jawabku sekenanya. Ya Allah, aku bohong lagi...

"Makanya makan yang banyak."

"Eh, bentar ya Tan udah waktunya ngaji ini," ucapku. Padahal aku berniat tidak ngaji dulu. Dan aku pura-pura mau ngaji biar Sultan cepat pergi. Aku sedang ingin sendiri. Dia bukan lagi santri pondokku. Tapi dia sudah menganggapnya rumah sendiri karena dulu dia lama mondok di sini. Hampir tiap hari dia ke sini untuk sekedar menemuiku atau karena ada perlu mengerjakan tugas kuliah. Walaupun dandanannya seperti orang embongan tapi dia seorang hafidh. Sebuah prestasi yang kini sedang kucoba ikuti.

"Lik, dia balas WA-ku," teriaknya kegirangan. Aku tak menghiraukannya lagi. Pintu kamarku sudah kututup. Dan di sini, hatiku terasa terbakar.

* * *

Bersambung

Romantika Alfiyah Ibnu MalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang