"Manggil aku gimana tadi?" dia bertanya sambil menghadapkan wajahnya kepadaku. Tinggal beberapa senti lagi hidungnya yang mungil itu pasti akan segera menyentuh hidungku. Dadaku berdesir karena aku bersitatap dengan matanya yang tajam. Gadis secantik ini menjadi istriku?
"Ning?"
"Yah, masak manggil istrinya gitu?" tanyanya lagi. Bibirnya cemberut tak karuan.
"Harusnya aku manggil gimana?" tanyaku bingung.
Bukannya menjawab pertanyaanku dia malah bangun dan membuang muka. Aku mengikutinya untuk bangun. Kuraih bahunya dengan tangan kananku.
"Kok marah?" aku semakin bingung. Bagaimana sih cara menyikapi wanita? Haruskah aku membuka kitab fathul izar? Ternyata aku salah tidak segera membaca kitab itu. Eh, adakah bab yang membahas cara menghadapi istri yang lagi kesal di kitab itu?
"Aku salah ya?"
Dia tak juga menjawab pertanyaanku.
"Sayang?" ucapku dengan nada kaku dan sangat canggung.
"Coba ulang lagi?" pintanya sambil menoleh. Dia tetap memamerkan wajah ketusnya.
"Sayang?" ucapku dalam bingung.
"Ulang sekali lagi," Fiya merengek dengan manjanya.
"Ngulang apa, sayang ya?"
"Nggak ada romantis-romantisnya sama sekali sih?" ucapnya dengan bibir semakin manyun.
Aku diam sejenak.
"Sayang, aku suka kalau kamu lagi manyun. Coba hadap sini. Manyunnya tambah sedikit lagi," aku berseloroh sambil cengengesan.
Dia menyubit lenganku dengan keras, membuatku sedikit berteriak. Tiba-tiba dia menyembunyikan kepalanya ke dadaku lagi. Detak jantungku kembali berulah.
"Sayang," aku memancingnya.
"Masak nadanya gitu banget sih?"
"Terus gimana?" aku kembali bertanya.
Dia mendiamkan pertanyaanku.
"Jangan marah gitu lah, yang."
"Manggilnya yang lembut gitu bisa nggak sih?"
"Tadi kasar ya? Hmm. Kasih contoh dulu lah," jawabku.
"Mas,,,, " ucapnya sambil menyandarkan kepalanya ke leherku. Dadaku semakin berdebar.
Detik berikutnya aku kembali merasa bingung karena dia kembali sesenggukan di pelukanku. Apakah dia menangis karena bahagia? Tanganku kupaksakan mengelus punggungnya. Tubuhku kemudian terasa panas dingin. Aku tak tahu harus bagaimana selain membalas pelukannya. Mungkin begini cara menyalurkan ketenangan itu. Dan dia tetap terisak dalam tangisnya.
"Kenapa sayang?" aku mencoba bertanya.
"Bicaralah! Aku tak tau bahasa tangismu artinya apa. Katakan apa yang kamu mau. Apa yang kamu suka dan apa yang tak kamu suka, biar aku tidak keliru bersikap."
"Aku sukanya kamu," ucapnya lirih.
Ucapannya yang pendek itu semakin menggetarkan dadaku. Dan sekarang aku bingung harus menjawab apa. Dan entah seperti apa perangai istriku ini sebenarnya. Dalam isakan tangisnya masih juga melontarkan kekesalannya. Tapi pelan-pelan aku mulai sadar seperti apa karakternya yang sebenarnya. Ketika pertama kali jumpa dulu aku begitu kaget mengetahui bahasa ceplas-ceplosnya. Ternyata sifat di masa kecilnya itu belumlah luntur.
"Kok diem aja. Suka aku nggak sih?" tanyanya dengan nada kesal.
"Iya, aku suka kamu. Kan tadi udah bilang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Romantika Alfiyah Ibnu Malik
RomansBagian ke 1 dari sequel Romantika Alfiyah Ibnu Malik Alfiyah Ibnu Malik adalah sebuah kitab kaidah bahasa Arab berbentuk bait-bait syair yang sangat legendaris di dunia pesantren. Setiap santri yang ingin menguasai ilmu agama harus menguasai dan men...