Aku solat dzuhur berjamaah bersama Amir di masjid kampus. Hitung-hitung untuk merayakan hari kebebasanku dari larangan keluar pondok. Kami hanya berdua karena Zaman sedang ada kuliah dan Sultan diminta menjemput ibunya di pasar.
"Berarti aku datang di waktu yang tepat ya?"
"Maksudnya?" tanyaku.
"Andaikan aku kemari sebelum ini pasti kamu nggak mau ngajak aku jalan-jalan," Amir berucap dengan riang.
"Iya," jawabku males.
Tidak berapa jauh di belakang kami terlihat Era dan Ning Fiya sedang berjalan beriringan searah dengan kami. Sepertinya mereka juga baru usai solat. Aku tidak ingin terlihat oleh mereka."Eh, kamu jalan sebelah sini," pintaku pada Amir. Aku meminta berpindah posisi. Aku pindah ke tepi jalan dan ia berjalan di badan jalan.
"Lapo se?" tanyanya bernada bingung.
"Rapopo, biar kamu bisa lihat kecantikan cewek-cewek jogja dengan jelas hehehe."
"Pancet ae koen iku Lik ket bien," Amir menimpali kesal.
Aku tertawa.
"Emangnya kamu ingin aku berubah jadi apa?"
Amir terdiam. Aku dikacanginya. Dia sibuk dengan smartphone-nya. "Kamu ini jalan di dalam kampus aja pakek GPS Mir?" Protesku. Dia hanya membalas protesku dengan tawa."Ya berubah dikit gitulah. Katanya ke sini mau hijrah. Masak hijrah tapi yang ada di otakmu cewek mulu?"
"Naluri lelaki normal Mir. Emangnya kamu nggak pingin pacaran seperti yang di depan kita itu?" aku mengakhiri pertanyaan dengan deraian tawa. Di depan kami ada dua sejoli yang sedang berjalan mesra.
"Astaghfirullohaladziiim," Amir beristighfar kencang sekali. Ia kemudian tertawa sambil pura-pura menutup mata dengan telapak tangan. "Bisa ilang alfiyahku kalau gini. Pacaran tuh dari dulu jadi sumber dosa. Tidak hanya untuk pelakunya tapi juga bisa menyebar pada yang lain." Katanya lagi.
"Kayaknya alfiyahmu memang sudah hilang Mir. Sudah lupa kalau kitab alfiyah membolehkan pacaran?" tanyaku serius.
"Alfiyah apa? Ngawur!" tukasnya kasar.
"Wal ashlu fil akhbaari an tuakhkhoroo - wajawazuuu attaqdiima idz laa dlororo. Khobar (istilah dalam ilmu nahwu) sebenarnya harus berada di akhir. Tapi kemudian ulama nahwu membolehkan khobar berada di awal alias khobar muqoddam, jika tidak menimbulkan bahaya. Sama halnya dengan pacaran. Aslinya kan pacaran itu habis nikah. Tapi kalau pacarannya tidak untuk bermaksiat. Alias sekedar untuk mengikatkan i'tikad baik demi terwujudnya miitsaaqon gholidzo kelak di suati saat. Yakni pernikahan. Dan tidak dijadikan ladang pemuas nafsu serta berbuat maksiat, tentu pacaran yang seperti ini tidak apa-apa alias tidak menimbulkan bahaya. Tapi pacaran yang tanpa dosa itu memang sulit. Apalagi jaman sekarang ini Mir. Mandang aja bisa dosa. Nelpon juga bisa jadi dosa. Dikit-dikit dosa. Dikit-dikit dosa." aku terdiam sesaat guna menghirup nafas, kemudian kuhembuskan perlahan. Dadaku seolah menjadi lapang. "Padahal kalau sudah nikah -dikit-dikit pahala. Dikit-dikit pahala. Tapi masih juga orang-orang itu memilih pacaran sebelum halal. Hmmm. Kan jadi pingin nikah aku kalau begini Mir. Kamu sih!!!" ucapku panjang lebar. Aku kemudian terkekeh demi menghindari kesan menggurui.
"Hmmm. Hmm," balasnya. Bikin aku males.
"Dibilangin panjang lebar balesannya ham hem ham hem. Mau nyanyi lagunya dek Nisa Sabyan?"
"Eh itu kan temanmu tadi ya Gus?" Amir membelokkan arah pembicaraan. Aku dikacangi lagi, tak habis pikir ternyata kini Amir bisa semenyebalkan ini.
"Sepertinya aku kenal dengan yang satunya itu? Ning Fiya?" tanyanya.
"Jangan kenceng-" kalimatku terhenti karena Ning Fiya yang barusan nyalip jalan kami sudah menoleh ke belakang. Dan tatapan mata kami bertemu. Dia segera menghadap ke depan. Ya Allah. Dia memandangku saja kini tak sudi. Tapi kenapa masih juga Engkau beri aku dahaga untuk terus memandangnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Romantika Alfiyah Ibnu Malik
RomanceBagian ke 1 dari sequel Romantika Alfiyah Ibnu Malik Alfiyah Ibnu Malik adalah sebuah kitab kaidah bahasa Arab berbentuk bait-bait syair yang sangat legendaris di dunia pesantren. Setiap santri yang ingin menguasai ilmu agama harus menguasai dan men...