Titik Balik(2)

2.1K 138 3
                                    

Mereka datang mendekat padaku. Menyalamiku satu-persatu. Dengan susah payah aku gerakkan tanganku. Mulut mereka bergerak mengeluarkan pernyataan yang meredam keresahanku. Memberikanku kekuatan untuk bersabar dalam menahan rasa sakit.

''Kalian bisa tahu keberadaanku dari siapa? Padahal aku sendiri tidak tahu sedang berada di mana sekarang,'' ujarku lirih.

''Petugas rumah sakit menghubungi pengurus pesantren yang kemudian diteruskan ke rumah. Dan kemudian akulah yang diminta untuk kemari,'' kata Kang Sholihin dengan suara berat.

"Abah dan umi kemana Kang? Kenapa mereka tidak kemari?" tanyaku penasaran.

"Sebenarnya mereka tidak ingin menyampaikan ini padamu. Tapi kurasa tidak ada salahnya kamu mengetahui bagaimana keadaan orang tuamu itu. Abahmu sedang berada di rumah sakit juga, dan umi harus menjaganya," ucap Kang Solihin setengah ragu. Pesan untuk tidak menyampaikan kabar sakitnya abah itu pasti karena ada sesuatu. Dan tentu saja kabar itu membuatku gelisah. Aku ingin segera sembuh dan menjenguk abah. Kang Solihin yang tidak mau memberitahu penyakit abah membuatku kepikiran macam-macam. Karena aku merasa keadaanku sudah jauh membaik aku berpesan kepada Kang Sholihin untuk mengurusi sepedaku yang entah ada di mana dan seperti apa keadaannya sekarang. Tapi ternyata sepedaku itu sudah berada di pondok. Amir menjamin keamanannya.

Setelah mereka pergi, ruangan itu menjadi bisu kembali. Amir bilang mau pulang ke pondok dulu sebentar dan aku memintanya mengambilkan beberapa lembar pakaianku. Aku kembali berteman senyap. Rasa nyeri pada beberapa bagian tubuhku kembali terasa. Ada yang terasa linu dan di bagian lain terasa perih. Semuanya seperti sepakat untuk menyiksaku. Dalam keadaan seperti itu aku mencoba memutar tasbih yang baru diberikan abah lewat Kang Sholihin tadi. Menyebut Asma-Nya dalam setiap untaian tasbih. Dan ternyata hal sederhana itu mampu menenteramkan hatiku. Putaran tasbih semakin membuatku larut dalam ketenangan.

Ketika aku hampir tertidur karena didera kantuk, seorang perawat masuk ke ruanganku dengan membawa beberapa peralatan medis yang aku tak tau apa saja namanya. Dengan begitu cekatan perempuan berkulit agak gelap yang kontras dengan pakaian putihnya itu memeriksa beberapa bagian tubuhku yang memar. Katanya cuma luka biasa. Satu atau dua hari lagi akan segera sembuh. Ucapan perawat itu membuatku tenang.

Sejurus kemudian Amir masuk ke ruanganku. Ia membawakan pakaian ganti untukku.

"Yokpo? Wes mendingan a? " tanyanya sambil meletakkan pakaianku di laci.

"Ya masih sama seperti tadi Mir. Kan kamu belum lama tadi barusan tanya."
Amir nyengir, membuatku tertawa.

"Gimana kabar pondok?" tanyaku. Aku sudah lama sekali tidak kembali ke pondok.

"Masih seperti yang dulu. Masih banyak santri yang gudiken," jawabnya dengan muka menyebalkan. Aku berusaha menahan tawa.

"Masak nggak ada berita yang menarik selain korban gudik?"

"Kabar yang terbaru, seorang santri yang sudah jarang kembali ke pondok ditemukan tengah terkapar di tepi jalan dalam keadaan yang memprihatinkan."

"Kau telah menyindirku dengan sangat telak Mir. Terima kasih."

"Ha ha ha. Aku tidak bermaksud begitu. Cuman aku pingin mengulang kebersamaan denganmu seperti dulu lagi," Amir kemudian terdiam dengan raut muka menyesal. "Apakah habis ini kamu akan melanjutkan berkelana atau akan menumbuhkan kembali gudik-gudikmu itu di pondok?" tanyanya disertai tawa. Aku menjawabnya dengan tawa yang kubuat-buat. "Sudah bisa tertawa tandanya sudah sembuh. Teman-teman sudah merindukanmu," lanjutnya.

"Aku juga merindukan mereka. Tapi bagaimana ya Mir. Terlanjur lama nggak pulang ke pondok membuatku malu untuk kembali. Apakah ini yang dikatakan orang-orang dengan pulang malu tak pulang rindu itu?"

"Mungkin nanti habis magrib mereka datang kemari. Hmm, makanya segeralah kembali jika sembuh nanti. Sebelum semuanya berubah menjadi penyesalan di kemudian hari. Semakin lama tak kembali semakin malu saat ketemu nanti."

Aku tidak begitu paham dengan petuah yang disampaikan Amir. Perbincangan kami seperti tidak nyambung lagi. Aku sedang memikirkan abah. "Abahku ternyata sakit Mir. Aku ingin pulang menjenguknya jika sudah sembuh nanti," kataku kemudian.

"Sekolahmu gimana?"

"Aku mau ijin. Wes mbuh lah. "
Amir terdiam mendengar ucapanku yang bernada mengeluh.

"Oh ya Mir. Kang Solihin tadi mana? Apa dia langsung pulang ke Blitar?"

"Iya. Setelah melakukan pembayaran di kasir rumah sakit ini dia langsung pulang karena dia kuberitahu sepeda motormu sudah kuamankan di pondok. Kan tadi kamu suruh dia ngurusi sepedamu."

"Apa mungkin keadaan abah kritis sehingga ia buru-buru sekali?" Amir terlihat bingung mendengar pertanyaanku. Ruangan berwarna dominan putih itu semakin terasa senyap.

* * *

Getar HP yang mengguncang saku bajuku membangunkanku dari tidur. Ketika separuh kesadaranku masih tersangkut di alam mimpi, lamat-lamat kulihat Amir sedang bercengkerama dengan seorang gadis berjilbab, entah kenapa dadaku bergetar ketika kemudian kulihat ternyata dia adalah Maya. Melihat kedua orang temanku itu duduk bersama mengingatkanku pada peristiwa hujan deras sepulang sekolah beberapa waktu yang lalu. Waktu itu Amir bermaksud pulang bareng aku karena rantai sepedanya putus, namun alangkah gelapnya hatiku, aku malah meninggalkannya dengan dalih ada janji untuk mengantar Maya pulang. Aku memang sedang merasa benci padanya waktu itu. Kini, saat aku menyadari semua kebaikannya itu aku merasa malu, betapa putihnya hati temanku yang satu ini.

Karena aku terlalu lemot untuk merespon panggilan HP itu Amir meraihnya dari sakuku. Aku pun merelakannya.

''Abahmu. Angkaten Gus.''
Tiba-tiba keringat dingin mengaliri keningku. Dengan tangan gemetar aku meraih HP itu.

"Piye Le? Wes sehat?" tanya abah di ujung telpon, diselingi dengan batuk-batuk kecil.

"Alhamdulillah Bah, pun radi sekeco. Abah pripun? " aku bertanya balik.

"Abah baik-baik saja. Kamu nggak usah terlalu memikirkan Abah. Di sini sudah ada umi dan Aisyah. Bagaimana, apa masih ada yang terasa sakit?"

"Nggak kok Bah. Setelah mendapat perawatan dari dokter aku sudah tidak merasakan sakit lagi. Sebenarnya Abah sakit apa?"

"Halo Bah. Abah?"
Tidak ada jawaban dari seberang sana. Sebentar kemudian terdengar beberapa suara, sepertinya umi dan Aisyah berunding untuk mengangkat telpon.

"Halo Malik. Ini umi. Abahmu cuma kecapekan aja. Kamu nggak usah khawatir. Istirahat saja yang cukup biar cepet sembuh dan segera sekolah lagi."

Aku terdiam mendengar suara umi. Rasa haru yang berhimpitan di leherku telah mengunci lidahku.

"Oh iya, maaf Umi nggak bisa jenguk kamu. Kemaren abahmu nggak bisa ditinggal. Akhirnya Kang Solihin yang diminta abahmu menjenguk ke Malang."

"Iya Mi, Malik baik-baik saja kok. Kalau sembuh besok saya akan segera pulang untuk nengok abah."

"Halo Mi." tidak ada jawaban dari umi.

"Halo."
Akhirnya sambungan telpon mati sebelum kudengar jawaban dari umi. Pikiranku kemana-mana.

"Mungkin ibukmu kehabisan pulsa Lik," celetuk Maya.

"Atau mungkin sinyalnya hilang," Amir menambahi.

"Ya, mungkin saja begitu," jawabku sambil meletakkan HP.
Di luar candela, senja telah bertabur di cakrawala. Gelap sebentar lagi datang. Aku hanya memandang kue yang dibawa Maya tanpa selera ketika dia menawariku untuk memakannya. Rinduku pada teman-teman sekamarku juga tidak jadi terobati karena mereka tidak jadi ke sini. Hujan yang begitu lebat telah mengurungkan niat mereka. Hujan ini juga mengingatkanku pada kamar luas di rumah Maya yang menjebakku beberapa hari yang lalu.

* * *

Bersambung

Romantika Alfiyah Ibnu MalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang