Ada Apa dengan Maya?(2)

1.7K 124 2
                                    

Aku segera berdiri penuh amarah melihat Amir telah menjadi bulan-bulanan pukulan pria jangkung itu. Tanpa disadarinya aku telah melompat sekuat tenaga dan mendaratkan tendanganku ke punggungnya. Pekerjaan kasar yang tiap hari kulakukan ternyata berpengaruh pada kekuatan fisikku. Pria biadab itu kehilangan keseimbangan. Wajahnya pun merah padam. Matanya melotot tajam ke arahku. Dan sebelum dia kembali menguasai keseimbangan tubuhnya aku telah kembali berhasil membuatnya terjengkang dengan tendanganku. Pria bermata sipit itu pun roboh. Tak menyia-nyiakan kesempatan aku menginjak perutnya. Dia mengerang kesakitan. Mulutnya memuncratkan darah segar. Kepalan tanganku mendapat bagian menghajar kepalanya.

"Sudah Lik. Bisa mati dia nanti," teriak Amir. Aku tak menghiraukannya karena firasatku mengatakan penjahat ini sangat pantas mendapatkan ganjarannya. Dia sangat berbahaya kalau sampai kembali mendapatkan kekuatannya. Tak berapa lama kemudian dia tak sadarkan diri. Dan aku tiba-tiba merasa bersalah. Bagaimana kalau dia mati?

"Lik! Gadis itu mana?" teriak Amir lagi. Aku segera beringsut dan kebingungan melihat Maya sudah tidak ada di tempat.

"Maya! Kemana kau?" teriakku lantang. Gedung kosong itu kembali sunyi setelah gaung suaraku berhenti.

"Dia bernama Maya?" tanya Amir.

"Dia Maya. Teman kita. Ayo kita cari. Jangan biarkan dia tersakiti lagi."

"Kau yakin dia Maya?" tanya Amir seolah tak percaya.

"Iya. Dia pasti masih di sekitar sini. Ayo. Kau cari ke sana!" Amir berjalan menuju ke lorong depan. Aku mencari ke arah yang berlawanan. Nihil. Aku tidak menemukan apa-apa. Aku menyusuri ruang lain.

"Lik! Sini cepat!" aku tergopoh-gopoh ke arah suara Amir.

"Ada apa?" tanyaku. Amir tidak menjawab namun kulihat matanya tak berkedip menatap ke arah jendela. Mobil yang terparkir di dekat sepedaku tadi telah menderu meninggalkan kami dalam kebingungan. Apakah dia Maya?

Akhirnya kami berlalu meninggalkan gedung tua itu. Meninggalkan lelaki itu dalam keadaan tak sadarkan diri. Kami tak ingin terseret dalam kasus ini lebih jauh lagi. Aku merasa tugasku sudah cukup untuk menyelamatkan gadis itu. Selebihnya biarlah mereka hadapi sendiri.
Gelap telah turun ke kota. Senja tinggal menyisakan temaram yang muram. Kami tak jadi beli es degan dan kembali melanjutkan perjalanan pulang dalam keadaan yang diliputi penasaran. Bayangan wajah Maya yang ketakutan itu menghampiriku.

"Kau yakin yang membawa lari mobil itu Maya?" tanyaku.

"Mir!" ulangku.

"Mungkin saja."

"Bagaimana kalau ternyata dia diculik komplotan lelaki itu?"

"Kau mengkhawatirkannya?" tanya Amir. Aku terdiam."Sebenarnya kita bisa saja kalau mau melibatkan diri dalam kasus ini. Kita kembali ke gedung itu dan kita geledah identitasnya untuk melacak keberadaan Maya. Lalu kita laporkan pada polisi. Tapi ini sangat beresiko. Tak menutup kemungkinan kita yang akan dicurigai sebagai pelaku kriminal." Aku merenungi ucapannya. Dia pun melanjutkan pendapatnya.

"Atau bisa juga kita tunggu dia sampai sadar dan kita interogasi dia sampai dia memberitahukan kejadian yang sebenarnya."

"Kau berpikiran sejauh itu Mir?"

"Itu alternatif. Aku tidak ingin kau kepikiran dia terus. Selain itu dia bisa menjadi sarana untuk melupakan Alfiyah dari kepalamu."

"Ada-ada saja kamu Mir. Kau kira isi kepalaku cuma ada Alfiyah?"

"Tidak juga. Kukira di kepalamu juga ada Maya. Ah, aku jadi teringat dalil alfiyah soal cinta."

"Gimana?" tanyaku penasaran.

Amir kemudian menyenandungkan nadhom alfiyah.

"Wa fi ikhtiyari laa yajii ulmunfasil -idha taata an yajii almuttashil."

"Artinya?"

"Penasaran? Baik. Makanya yang rajin hafalannya biar kau tau kaidah-kaidah cinta ala alfiyah itu seperti apa."

"Gak usah basa-basi."

"Artinya tuh, jika masih ada domir muttasil jangan pakai yang munfasil. Jika masih ada gadis yang lebih dekat. Real. Nyata. Lebih terjangkau. Ngapain cari yang tak mungkin?"
Amir terus mengayuh sepeda. Aku kembali terbuai oleh kata-katanya. Senandung nadhom alfiyah itu terngiang-ngiang di telinga.

"Maya itu ibarat domir muttasil. Dia ada di sini. Dia pun pasti masih mengharapkanmu. Sedangkan Ning Fiya itu domir munfasil. Kau kata dia sudah tak mungkin buatmu bukan?"
Amir tiba-tiba berhenti.

"Gimana? Kita putar balik ke gedung itu untuk melacak keberadaan Maya?"

"Kita pulang saja. Aku berlepas diri dari dirinya. Kita tidak tahu apa duduk permasalahannya. Tak menutup kemungkinan Maya yang salah. Ah sudahlah."

Kami akhirnya kembali melanjutkan perjalanan pulang. Malam telah benar-benar menggantikan senja. Kami bersepeda sambil menyenandungkan nadhom-nadhom alfiyah. Dan bayangan kecantikan Maya berangsur-angsur lenyap.

* * *


Kata ganti yang tulisannya bersambung

Kata ganti yang penulisannya terpisah dari kata kerja

Romantika Alfiyah Ibnu MalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang