"Ngapain kalian sampai jauh-jauh datang ke kampusku?" ucapku kaget. Mereka terus berjalan tanpa mempedulikan ucapanku.
"Mentang-mentang sudah jadi penulis hebat teman sendiri dilupakan gitu ya?" Amir berseloroh sambil terus melangkah ke arah kami. Berjalan di sampingnya, Mala tersenyum menyapa. Aku memandang mereka tak berkedip. Apakah mataku tidak salah lihat?
Mereka semakin dekat."Aku belum pikun. Siapa bilang lupa kalian? Ayo duduk sini. Lama banget nggak jumpa kalian. Kalian kapan datang? Mau minum apa?" Aku memborbardir mereka dengan serentetan pertanyaan. Ternyata seperti ini senangnya berjumpa dengan teman lama? Aku kemudian memesankan minuman sesuai selera mereka. Amir tampak lebih kurus dari yang dulu pernah kulihat. Sedangkan Mala semakin cantik. Ia memakai kemeja batik bawahan celana jin yang agak ketat.
"Kalau sudah jadi penulis hebat semua media komunikasi dimatiin gitu ya? Biar bisa konsen kerja?" Amir menginterogasiku lagi. Barisan pertanyaanku tadi diacuhkannya.
"Penulis apa sih Mir. Aku i mek nerjemah iku lho. Bantu kerjaan gusku. Jangan membesar-besarkan berita. Nanti aku malah kesenengen." Kami kemudian tertawa-tawa. Sedangkan Amir masih juga enggan melepas tawanya.
"Jangan merendah Lik," tangkis Mala.
"Memang sudah rendah kok La."
Kuperhatikan lagi wajah Amir yang tak seramah dulu. Aku sedang menakar perubahan-perubahan kawan akrabku ini."Hey, jadi kalian nganu ya?" tanyaku penasaran. Bola mataku berpindah-pindah dari melirik Amir kemudian berganti melirik Mala.
"Apa? Nganu apa?" tanya Amir lagi. Aku mencoba mengakrabinya dengan senyuman.
"Kalian jadian?" tanyaku lirih. Mataku melirik Mala. Amir membesarkan bola matanya. Nampaknya ia tidak dengar ucapanku.
"Kami bertemu di acara talk show tadi kok Lik. Kebetulan saja. By the way, aku salut sama kamu Lik. Tak percuma jauh-jauh kau cari ilmu ke sini," Mala menjawab.
"Kalian janjian?" tanyaku lagi.
"Jadian gimana sih Lik. Mala tuh sudah punya calon sendiri. Ngaco aja," Amir menjawab dengan wajah marah. Kami semua tertawa. Amir terlihat bingung.
"Maksudku kalian datang kemari apa sudah janjian dahulu kok bisa bareng? Kok malah jadian. Ngebet banget sih Mir sama Mala," serangku. Bola mata Amir berlari ke sana kemari didera bingung. Pendekar jomblo fi sabilillah itu terlihat salting. Aku semakin geli melihatnya.
"Aku kemari karena penasaran dengan poster di ig itu Lik. Di situ kan kamu tertulis sebagai pemateri yang juga penulis karya-karya berbahasa Arab gitu. Terus terang aku penasaran banget. Terus kucari kontak medsosmu nggak ada yang aktif. Jadi aku terbang ke sini, sekalian silaturahmi ke rumah tanteku di Kulon Progo," Mala menyudahi ucapannya sembari menyambar juz yang baru disajikan. "Oh iya. Lebaran kemaren kamu nggak pulang ya Lik?"
"Kok tahu aku nggak mudik La?"
"Umimu yang bilang. Katanya sudah dua kali lebaran nggak pulang ya? Seperti Bang Toyib aja kamu Lik. Kasihan tuh umi dan adikmu. Katanya HP-mu nggak aktif. Terus mereka juga nggak tahu alamat dan nomer telpon pondokmu disini. Tega banget kamu, Lik."
"Bagaimana keadaan mereka La? Baik-baik saja kan?" tanyaku penuh harap. Tiba-tiba air mataku terasa hampir jatuh. Kalau bukan karena pesan Kyai Bad aku pasti sudah pulang. Atau setidaknya menghubungi mereka. Rasa rinduku pada mereka seolah tak terbendung lagi. Wajah sendu mereka hadir di pelupuk mata.
Tiba-tiba perasaanku tak enak karena Mala tak segera menjawab pertanyaanku. Dia seolah sedang mencari jawaban atas pertanyaanku tadi.
"Alhamdulillah baik-baik saja Lik. Walaupun setahun yang lalu umimu sempat masuk rumah sakit. Tapi kamu tak perlu cemas. Sekarang sudah sehat kembali. Dan yang pasti Aisyah bisa sekolah lagi," ucapan Mala itu semakin memancing penasaranku.
"Umi sakit apa La?" tanyaku tak sabar.
"Hmmm. Stroke kalau nggak salah. Tapi kamu jangan khawatir. Seperti yang kubilang, beliau sudah sehat kembali."
"Terus, adikku bisa lanjut sekolah lagi itu maksudmu apa?" tanyaku lagi. Pikiranku sudah tak karuan. Rasanya aku benar-benar ingin menangis untuk membendung rasa rindu dan perasaan bersalah ini.
"Kan gini. Waktu itu umimu lagi butuh duit banyak untuk pengobatan dan segala macemnya. Dan barengan sama Aisyah waktunya masuk SMA. Hmm. Maaf ya Lik. Tanpa sepengetahuan umimu, abahku membayarkan uang masuk sekolah adikmu. Tapi kamu tak perlu khawatir. Abah melakukannya semata-mata karena Allah kok. Kamu jangan risaukan ini ya. Abahku biar punya bekal buat di akhirat kelak dengan berbuat baik pada keluargamu. Apalagi mendiang abahmu kan teman karib abahku juga dulu. Dan, kamu tidak usah cerita masalah ini ke umimu loh."
Ucapan Mala dengan nada canggung itu membuatku tersentak. Aku segera mengalihkan perhatianku pada Amir. Ia kemudian menunduk merasa akan mendapat pertanyaan dariku.
"Kenapa keluargaku sampai kekurangan duit Mir. Bukankah bagianku sudah kubilang untuk mereka? Kau masih ingat itu bukan?"
"Maaf Lik. Aku tidak bisa menjaga usaha kita. Tidak ada uang kiriman buat orang tuamu lagi. Waktu itu uang sewa gudang naik dua kali lipat karena ada perluasan area jalan. Lokasi sekitar gudang kita menjadi pertokoan yang ramai dan menjanjikan. Akhirnya aku melepasnya setelah menebus uang sewa dengan hasil penjualan sisa-sisa barang bekas. Ketika itu HP-mu sudah tak aktif. Jadi, aku juga berhak untuk menyalahkanmu. Ketika aku membutuhkanmu kau tiada."
Kami kemudian terdiam cukup lama. Aku merenungdi tengah kebisuan. Ketika aku telah beruzlah dari HP dan warung kopi sertadunia luar memang tak kurasa adanya kegelisahan dalam jiwaku. Bahkan aku mampumelewati waktu hampir tiga tahun itu dengan perasaan damai. Akan tetapi, diluar sana kecamuk dunia terus berjalan. Nasib keluargaku kembali tergilas olehperputaran roda kehidupan.
* * *
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Romantika Alfiyah Ibnu Malik
RomanceBagian ke 1 dari sequel Romantika Alfiyah Ibnu Malik Alfiyah Ibnu Malik adalah sebuah kitab kaidah bahasa Arab berbentuk bait-bait syair yang sangat legendaris di dunia pesantren. Setiap santri yang ingin menguasai ilmu agama harus menguasai dan men...