Dirundung Nestapa(1)

2.6K 146 3
                                    

Rintik hujan membasahi bumi kelahiranku. Daun-daun yang berwarna hijau tampak semakin hijau. Butiran titik-titik air hujan yang berwarna jernih itu menambah semakin tampak segar. Tanah-tanah kecoklatan itu pun berubah menjadi hitam pekat. Menyeruakkan bau khas tanah yang setelah sekian lama tak tersiram air hujan. Di kanan -kiri jalan makadam menuju rumahku itu kabut tipis mengambang menghalangi pandangan. Membuat gelap semakin berkuasa di tengah kucuran sinar mentari yang meredup ditelan senja. Petang semakin menggulung siang.

Jalan yang tersusun dari bebatuan yang menampakkan benjolan-benjolan menganga itu menjadi begitu licin karena tersirami air hujan. Membuat roda motorku terpeleset. Namun Kang Roni masih bisa mengusainya sehingga tak sempat membuat kami terjatuh.

Semakin memasuki rumahku semakin banyak kutemui orang lalu-lalang. Tampak wajah mereka dirundung kesedihan. Kegelisahanku semakin menjadi-jadi. Dan ketika aku telah sampai di halaman komplek pesantren kurasakan dadaku semakin sesak. Tubuhku mendadak lemas. Pandangan mataku pun seketika menjadi nanar. Langit sore yang hitam serasa semakin hitam di kedua belah mataku.

Dua puluhan meter di depan kedua belah mataku, tempat Kang Roni memarkirkan motor terlihat banyak orang yang sedang bahu-membahu menyiapkan beberapa bilah papan. Papan-papan itu diperhalus dan dikaitkan antara satu bagian dengan bagian yang lainnya. Disusun sedemikian rupa hingga membentuk sebuah peti. Beberapa orang menyapaku ketika aku menerobos berpuluh-puluh orang yang berada disekitaran komplek pesantren. Pesantren kecil yang sudah sekian lamanya telah dirintis oleh abahku.

Dari dalam masjid terdengar jelas para santri sedang membacakan yasin. Suara yang lebih terdengar seperti paduan suara tawon itu semakin membawakan aroma kesedihan. Beberapa orang terlihat menyapaku dan sebagian yang lain hanya menganggukkan kepala karena terpaut jarak yang tak memungkinkan untuk sekedar saling berjabatan tangan. Ada juga yang berbisik-bisik sambil memandangku. Tapi aku terus bergegas melangkahkan kaki- kurasakan tubuhku gemetar. Di belakangku Kang Roni masih mengikutiku.

Suara tangis menyayat hati. Menebarkan kesedihan yang tiada tara. Di tengah bacaan tahlil serta yasin yang menggema diiringi pula sesenggukan tangis. Berpuluh-puluh orang sedang berjubel di rumahku. Dan di antara sekian banyak orang itu tampak olehku wajah sedih umi sedang berkomat-kamit melafadkan dzikir. Matanya berkaca-kaca. Wajahnya bak mendung yang dirundung kesedihan. Tapi masih terlihat pancaran ketabahan dari raut mukanya. Di pangkuannya seorang gadis cilik sedang menangis. Gadis itu adalah Aisyah. Adikku yang kini sudah masuk sekolah TK. Di kanan kirinya; bibi, eyang dari ibu serta kerabat orang tuaku sedang khusuk membacakan doa.

Aku segera menuju pangkuan umi. Mencium telapak tangannya yang demikian dingin.

''Mengapa aku tidak diberitahu kalau abah sakit keras Mi?'' protesku pada umi. Wanita yang kini menjadi janda itu semakin tersedu dalam tangisnya. Mulutnya yang kering ingin mengucap sesuatu namun hanya tangis serak yang kudengar.

''Abahmu telah berpulang Nak. Menemui Dzat yang dicintainya.'' Katanya kemudian. Umi menjawab sambil mengelus-elus kepalaku. Hatiku telah remuk.

Semuanya telah terjadi. Dan waktu tak mungkin diulang kembali. Karena sekali ia melesat maju. Tak ada istilah untuk kembali hatta menoleh ke belakang pun tidak. Aku hanya bisa menangis. Air mataku tak terbendung lagi untuk terus bersemayam dalam rongga mata. Kemudian aku menoleh ke arah Aisyah, adik semata wayangku. Ia memandangku dengan tatapan pilu. Ia menghindar dari wajahku ketika aku ingin menciumnya.

''Mas sekarang di rumah saja temani Aisyah ya?" aku memeluknya sebagai jawaban atas permintaannya.

Aku menuntun Aisyah mendekat ke jenazah abah. Dengan air mata berleleran aku menguatkan diri untuk melihat wajah abahku. Menatapnya untuk kali yang terakhir. Setelah menyibak kerumunan orang yang sedang khusuk dengan bacaan tahlil aku terduduk di samping jenazah abah. Kemudian membuka kain jarit yang menutupinya. Aku menciuminya.

Romantika Alfiyah Ibnu MalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang