Senyuman Maya(1)

2.4K 160 3
                                    

Matahari merayap di kolong langit. Menyembunyikan sinarnya di balik gunung panderman, di sebelah barat pondok Al-Huda. Surya senja berangsur-angsur meremang dan semakin petang. Sinar senja itu akhirnya pudar dimakan gelap. Suasana di pondokku masih lengang karena para santri sedang khusyuk melaksanakan shalat maghrib. Para santri yang ketinggalan jamaah berlarian menuju masjid. Seorang santri cilik berlari tergopoh -gopoh sambil menyingsingkan sarungnya. Dari corong -corong speaker yang terpasang di sudut -sudut masjid terdengar suara lembut Kyai Dim membaca surat Al-Fatihah. Suara itu samar-samar terdengar, di telingaku seiring langkahku beranjak pergi. Aku bertekad untuk keluar pondok lagi malam ini. Ada kajian bersama teman -teman rohis yang harus kuhadiri. Sebagai wakil ketua organisasi adalah sangat tidak elok jika aku tidak memberi contoh yang baik pada teman -temanku yang lain. Lambang, sang ketua rohis yang semangat dakwahnya selalu berkobar -kobar itu punya relasi yang banyak dengan aktivis -aktivis dakwah kampus di Malang. Maka ia tidak pernah kehabisan pemateri kajian tanpa ada dana yang harus dikeluarkan untuk memberi uang transport. Semangat dakwah anak -anak muda itu memang luar biasa. Pikiranku sering terbungkam memahami diriku yang seorang santri tapi hampir tak ada naluri dakwah sedikit pun. Padahal ummat ini mendapat gelar khoiro ummah karena semangat amar nahi munkar-nya.

Dengan hati-hati aku mengeluarkan motorku dari parkiran pondok. Sengaja aku meletakkan motorku di parkiran dekat pintu keluar agar mudah dikeluarkan. Dan akhirnya tak ada yang tahu ketika aku melangkahkan kaki keluar gerbang pondok. Anehnya, melakukan pelanggaran seperti ini membuatku merasa puas. Aku ingin tunjukkan pada para pengurus yang sok bijak itu. Hukuman yang tak adil itu tak membuatku berubah. Toh, mereka melakukan hukuman yang tidak fair.

Aku sudah berada di luar gerbang pondok saat tiba-tiba aku berpapasan dengan Cak Mahmud. Ia santri yang sudah cukup lama di Al-Huda. Kerjaannya adalah membuang sampah dari pondok ke TPS. Oleh karena itu ia terkenal di pondokku dengan sebutan Mahmud sampah. Selain itu dia juga mengambil keuntungan dari sampah-sampah itu. Jika ada sampah yang masih bagus ia akan mengambilnya lalu dikumpulkan. Jika ada acara besar di pondok dialah yang paling senang karena ia mendapat banyak sampah yang masih laku dijual. Dari sampah-sampah itulah ia bertahan hidup di pondok tanpa menggantungkan pada sepeser uang pun dari orang tuanya.

Di pondokku pekerjaan memang sering dijadikan julukan, contohnya seperti Mahmud Sampah tadi. Ada juga yang namanya Amin, karena dia bertugas menjaga koperasi, maka orang-orang memanggilnya Amin Koperasi. Ada yang namanya farid, kerjaannya jaga kantor. Semua orang memanggilnya Farid Kantor. Ada juga yang dipanggil Mujib Kantin karena setiap hari ia bertugas jualan di kantin. Dan panggilan itu sudah biasa. Yang dipanggil demikian juga tenang-tenang saja. Namun yang paling mengerikan dari semua asma' laqob itu adalah Ardi, karena ia santri yang sangat rajin membersihkan WC kemudian ia direkrut jadi pengurus kebersihan. Malangnya dia tidak dipanggil dengan Ardi Kebersihan tapi malah dipanggil dengan Ardi WC. Tapi nampaknya dia ikhlas asma laqobnya bertambah seperti itu.

"Mau kemana Cak?" Cak Mahmud bertanya sambil mendorong gerobak sampahnya.

"Biasa Cak. Mengerjakan tugas." jawabku santai. Alasan keluar untuk kajian merupakan alas an yang tidak tepat karena di pondok ini setiap saat sudah ada pengajian. mengerjakan tugas adalah alasan yang sangat tepat, menurutku.

"Kok mesti malem sih sampean iki lek ngerjakan tugas ?"

"Ya memang teman-teman kelompokku hanya pada waktu malam seperti ini bisa belajar barengnya Cak. Sampean ini memang nggak pernah sekolah jadi nggak tahu bagaimana orang sekolah itu," aku menjawab dengan penuh emosi. Pertanyaan menyelidiknya membuatku risih.

"Lha itu yang lain jarang ngerjakan tugas malam-malam di luar pondok?"

"Itu karena mereka memang pemalas semua."

"Halahhh... paling sampean ini cuma alasan saja."

"Udah, nggak usah kemriyek! Cepet masuk pondok sana Cak Mud!" bentakku keras. Padahal Cak Mahmud itu sekitar sepuluh tahunan lebih tua dariku. Tapi emosiku mengalahkan rasa hormatku padanya. Rasa seganku telah sirna.

"Astaghfirullah. Sampean ini dikandani orang tua kok malah marah. Hati-hati kalau sampek kena azabnya Allah!!!" Sambil mendorong gerobak sampahnya seniorku itu berlalu meninggalkanku. Walaupun sudah lulus madrasah diniyahnya tapi ia tidak masuk jajaran pengurus karena sibuk dengan sampahnya. Itulah salah satu alasan kenapa aku tidak begitu segan padanya. Walaupun demikian hatiku jadi sedikit gelisah. Jangan-jangan omongan orang itu menjadi kenyataan?

Aku berlalu dengan menanggung sedikit gelisah.

Setelah melewati beberapa gang kecil akhirnya sampai juga di kontrakan temanku. kulihat ada beberapa sepeda motor terparkir di teras. Setelah kuparkir motorku di tempat yang sama, aku masuk ke rumah dua lantai itu. Suara murottal mengalun lembut. Ternyata ada beberapa akhwat juga. Maya, koordinator rohis akhwat itu pasti tidak bisa tinggal diam kalau ada kajian. Pikiranku tiba -tiba terbayang gadis itu.

''Masuk brow!'' suara Rius menyambutku.

''Ok,'' jawabku simpel. Mataku berkeliaran mencari sosok Maya. Beberapa kejap kemudian kutemukan gadis Tionghoa itu. Ia sedang menyiapkan makanan di ruang tengah. Ia memakai baju terusan warna ungu. Wajahnya yang putih bersinar indah sekali. Aku sedang meliriknya ketika dia menatapku. Bibirnya merekah, memamerkan senyum yang begitu indah. Aku membalas senyumannya dengan anggukan kepala. Langkahku menjadi begitu ringan menuju teman-teman ikhwan.

Seorang pemuda berjenggot tebal dengan rambut begitu rapi sedang bercakap -cakap dengan Lambang, si ketua Rohis. Mereka terlihat begitu akrab. Aku mendekat untuk menyalaminya.

''Antum yang diceritakan Lambang anak pondok itu ya?'' tanya pemuda itu. Ia tersenyum penuh wibawa. Wajahnya lumayan keren.

* * *

Bersambung

Romantika Alfiyah Ibnu MalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang