Sudah lima menit dan dia belum juga datang. Kuseruput lagi kopi di depanku. Lalu lintas di depan warung makan tempatku menantinya tidaklah begitu ramai. Mempermudah mataku memperhatikan lalu lalang kendaraan. Tadi aku memang tidak tanya dia akan naik apa. Dan kini, setiap ada cewek lewat dadaku selalu berdesir tak karuan.
Aku baru melihatnya sekilas beberapa hari yang lalu setelah bertahun-tahun tak bertemu. Walaupun cuma sekilas mataku menatapnya kemaren tapi aku cukup mampu mengetahui perubahan-perubahan dirinya. Ya, dia semakin cantik dan terlihat dewasa. Membayangkan aku akan segera duduk berhadapan dengannya tubuhku semakin dikuasai grogi.
Tak berapa lama kemudian ada trans Jogja yang berhenti di dekat kafe. Dan aku tidak mengira itu adalah dia karena kukira dia akan naik sepeda sendiri atau naik ojol. Senyumnya yang tiba-tiba muncul di depanku hampir membuatku tersedak. Aku pontang-panting berusaha menguasai diri. Memandang kecantikannya aku justru terbayang abahnya yang penuh kharisma. Aku segera menundukkan mata. Tak kupungkiri rasa seganku pada putri Kyaiku ini. Kupersilahkan dia duduk di depanku. Kupesankan dia juz alpukat yang disukainya. Dia memuji ingatanku atas apa yang disenanginya.
"Berarti pondokmu tidak jauh dari sini Ning?" tanyaku.
"Ihhhh, jangan panggil aku Ning. Panggil saja namaku, Cak."
"Aku takut suul adab pada guruku Ning."
Dia cemberut. Tak kusangka dia masih memperlihatkan wajah manja setelah sekian lama tak berjumpa."Berarti kau juga suul adab karena tidak menaati apa kata putrinya," bantahnya dengan tatapan mata bening yang menghunjam. Aku tertawa getir. Gadis ini memang selalu pintar ngeles.
"Jadi mahasiswa semakin mahir saja ya ilmu ngelesnya?" ucapku sambil berusaha tertawa. Aku berhasil memancing tawanya. Dia menutup mulut sambil terkekeh.
"Sultan itu teman karibmu ya?" tanyanya dengan mata seolah sedang mengerling padaku.
"Iya. Minat?"
"Minat apa?" tanyanya sambil mengumbar tawa sinis.
"Dia kan tampan. Hafid juga, sama sepertimu."
"Kamu juga kan?" aku terbengong. Ternyata Sultan membocorkan rahasiaku. Sial.
"Terlalu agresif," ucapnya sambil cemberut. Dadaku berdesir menatap bibirnya. Aku berusaha tertawa untuk mengurai suasana.
"Memangnya kau tak menyesal jika aku dekat sama Sultan?"
"Hmmm. Iya. Tentu saja," jawabku gelagapan. Inilah yang tak kusuka dari percakapan face to face. Aku sering gelagapan berucap karena tak sempat berpikir. Ning Fiya nampak bingung mendengar jawabanku.
"Itung-itung sebagai latihanku untuk melepasmu," tambahku.
"Kenapa kau mengucapkan kalimat seperti itu?" ucapnya tak senang.
Aku terdiam cukup lama. Bingung harus menjawab apa. Dia pun juga tak melontarkan kata lagi. Wajahnya nampak cemas. Tak berapa lama kemudian pesanan minum tadi datang. Dan aku masih terus berpikir bagaimana caranya menyampaikan gelisah ini."Aku terus mengumbar kata manis padamu pun tetap tak akan bisa mempertahankanmu."
"Jangan kau ucapkan kata-kata itu lagi." wajahnya telah memerah.
"Aku berusaha menerima keadaan Fi. Tak perlu kau tau bagaimana perasaanku padamu. Amir adalah saksi kalau aku hampir gila karenamu. Aku membuang diri ke tempat ini adalah untuk melupakanmu. Agar aku siap jika suatu saat jodohmu telah menghampirimu. Seberapa besar pun cintaku padamu, aku tak akan berani melawan dawuh abahmu yang begitu kuhormati. Jadi kuharap kau mau mengerti keadaanku. Kuyakin pilihan abahmu adalah yang terbaik untukmu. Tak ada orang tua yang menginginkan anaknya sengsara. Karena beliau pandangannya sudah jauh ke depan; negeri akhirat. Dan kita yang masih dihinggapi nafsu ini, belum mampu seperti itu."
Ning Fiya telah sesenggukan.
"Kau tak pernah memperjuangkan hubungan kita," ucapnya sambil tersedu.
"Aku telah lama memperjuangkanmu lewat doa. Tapi Tuhan kehendaknya tak bisa dilawan," kuseruput lagi kopi yang manis pahit untuk menetralkan rasa getir di kepala.
"Gus mana yang akan dijodohkan denganmu?" tanyaku memberanikan diri.
"Mana kutau. Abah tak pernah menjawab pertanyaanku. Dawuhnya hanya perintah mengaji. Menghafal qur'an. Cari ilmu."
Dia menyapu hidung yang basah dengan sapu tangan.
"Kalau kita mau gigih memperjuangkan cinta kita, abah pasti lama kelamaan akan merelakan kehendaknya. Buktinya dia mengijinkanku ketika aku merengek ingin kuliah di sini."
"Ini tidak baik Ning. Turutilah abahmu. Aku tak mungkin menego sabdanya. Kau tuntaskanlah belajar di sini. Dan sebaiknya kita mulai mengambil jarak mulai dari sekarang. Aku tidak ingin masa depanmu suram hanya karenaku," ucapku.
"Cak, hik hiks..." tangis Fiya semakin menjadi.
"Maaf aku harus segera pulang Ning. Ada tugas kuliah yang harus kuselesaikan. Kamu kembalilah. Semoga ke depan kita mendapat jalan yang lebih baik."
Aku segera menggenjot sepeda. Berlari membawa tangis. Meninggalkan bidadari itu bersama tangisnya pula. Hidup memang tak melulu tentang tawa bukan?
* * *
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Romantika Alfiyah Ibnu Malik
RomanceBagian ke 1 dari sequel Romantika Alfiyah Ibnu Malik Alfiyah Ibnu Malik adalah sebuah kitab kaidah bahasa Arab berbentuk bait-bait syair yang sangat legendaris di dunia pesantren. Setiap santri yang ingin menguasai ilmu agama harus menguasai dan men...