Sore ini setelah merampungkan soal-soal latihan UN aku kembali membuka kitab Alfiyah Ibnu Malik. Sebuah kitab kaidah bahasa arab yang sangat terkenal. Kitab yang disusun oleh ulama' dari Andalusia Spanyol yang bernama Syaikh Abu Abdillah Muhammad Jamaluddin bin Malik atau Syaikh Ibnu Malik itu berbentuk nadzaman, sebuah kitab pedoman bahasa arab yang mengandung nilai sastra tinggi. Anehnya kitab ini juga sering digunakan sebagai rujukan dalil masalah fiqih. Kitab ini terdiri dari seribu dua nadzaman. Maka dari itulah ia disebut alfiyah, yang berarti seribuan. Mungkin abah dulu terinspirasi oleh ulama' ini sehingga menamaiku dengan nama Muhammad Ibnu Malik. Kitab ini juga mengingatkanku pada Cak Agus yang pernah menjelaskanku tentang kitab ini ketika aku baru masuk pesantren dulu. Dan setiap memegang kitab ini aku juga selalu teringat dirinya. Ah, dia lagi...
Duduk bersandar pada tembok menara sambil memangku kitab bukannya belajar atau menghafalkan nadzaman-nadzaman alfiyah, yang terbayang dalam pikiranku adalah wajah Ning Fiya. Wajah cantik itu menari-nari di pelupuk mata. Kenangan-kenangan masa lalu yang sempat kami renda berdua membuat rasa rindu ini meluap-luap.
Ya, dia memang pantas untuk diidamkan oleh lelaki. Jika disesuaikan dengan anjuran Nabi, maka dia adalah pilihan yang sempurna, kecantikannya, kekayaannya, nasabnya, dan agamanya mengatakan hal itu. Wajarlah bila sudah banyak lamaran yang datang kepadanya. Sudah banyak Kyai yang ingin menjadikannya sebagai menantu. Namun entah mengapa sampai detik ini Kyai Mursyid belum merelakan anak gadisnya itu untuk melepas masa lajangnya. Apakah hafalan Qur'annya di kudus sana belum selesai?
Perasaan ini semakin hari-semakin menghantuiku.
''Hei!! Ngapalin alfiyah terus nih!!!'' Suara Amir tiba-tiba menyentakku. Memotong lamunanku.
''Apa sih kamu ini Mir! Ngagetin aja. Sudah kelar belum sampahmu?'' waktu sore begini biasanya memang aku dan Amir menghafalkan nadzaman alfiyah bersama. Amir selalu pergi ke menara ini setelah membersihkan sampah pondok yang menjadi tanggungannya.
''Sudah Bos!! Semuanya sudah bersih. Kardus dan plastik-plastik sudah masuk ke tempatnya masing-masing. Kapan kita setor?" Amir bertanya dengan wajah antusias. Dia kemudian duduk di sampingku. Atas saran dari umi sekarang aku bagi tugas dengan Amir. Kami berbagi sampah agar aku bisa konsentrasi belajar. Dia juga mengambil barang bekas dari sebagian langgananku di luar pondok.
"Sehari atau dua hari lagi mungkin. Kenapa? Kehabisan uang?" tanyaku sambil tertawa.
"Tau aja Gus. Eh hafalanmu sudah dapat berapa? Besok setoran ke Ustadz Hamzah lho?''
''Tujuh ratus Mir.''
''Dari minggu kemarin kok tetap segitu? Nggak nambah sama sekali?"
"Nambah kok," jawabku setelah terdiam agak lama.
"Berapa nadhom?" tanyanya.
"Satu."
"Duh."Kami terdiam. Dia berdiri dan kemudian bertolak pinggang. Dia yang setiap hari memantau hafalanku nampak prihatin melihat perkembanganku. Tapi, sumpah gayanya menyebalkan sekali sore ini.
"Gimana kita bisa wisuda alfiyah bareng kalau kau gini terus?" aku tidak menyahut ucapannya.
"Aku jadi curiga nih! Sejak beberapa waktu yang lalu saat kamu cerita tentang Ning Fiya kamu semakin aneh. Diam melulu!! Apa kau tidak bisa sedikit saja melupakannya?''
Pertanyaannya membuatku terperanjat. Aku masih terdiam."Lik? Kau dengar suaraku?"
"Gimana aku bisa melupakan dirinya padahal kau suruh aku menghafalkannya setiap hari?"
Amir terlihat bingung. Atau mungkinkah ia sedang menyiapkan kalimat nasehatnya untuk membungkam diriku yang sedang dibodohi cinta ini?
Langit senja semakin suram. Kami pun larut dalam diam. Sepoi angin menusuk-nusuk kulit. Malam berarak-arak datang dari kejauhan.
"Taruhlah dia yang tak bisa kau lupa itu di hatimu agar tak mengganggu pikiranmu. Hafalkanlah nadhom-nadhom alfiyah itu dan jadikan bidadari bernama alfiyah itu sebagai penyemangatmu."
"Kau selalu pintar berfilsafat Mir. Dan aku terlalu bodoh untuk memahamimu."
"Bukankah kata orang cinta itu memberi semangat hidup? Kenapa kau malah redup?"
"Sayangnya aku tidak sedang jatuh cinta."
"Lalu?"
"Aku sedang putus cinta."
"Ah. Kau sendiri yang terlalu mudah putus harapan."
"Dia sudah dijodohkan abahnya! Apa aku masih pantas berharap? Kau suruh aku menunggu jandanya?"
"Hanya orang-orang kafir yang pantas berputus asa."
"Jangan gunakan Qur'an untuk berfatwa tentang cinta Mir. Ini beda konteks."
"Lalu apa yang kau inginkan wahai Gus Ibnu Malik?"
"Aku ingin melupakannya. Kau punya obatnya wahai Amir Amirawan Sang Juru Dakwah?"
"Tentu. Tentu aku punya obatnya," jawaban Amir disertai tawa.
"Apa?"
Amir merogoh saku bajunya. Aku penasaran dengan tingkahnya yang sok hebat itu. "Sudah ketemu obatnya Mbah Dukun?""Sabar."
Amir mengeluarkan nadhom alfiyah yang sudah lusuh itu. Aku menelan ludah kecut."Ngaliho Mir," perintahku dengan hati sebal.
"Jangan suudhon dulu. Obat yang kau cari itu ada di sini," katanya penuh wibawa. Dia memamerkan senyum padaku. Aku mendiamkan ucapannya.
"Sekarang kau ikuti aku kalau kau memang ingin sembuh."
Aku memandangnya penuh keheranan. Sandiwara apa yang sedang ia tampilkan di depanku? Kitab kecil itu tiap hari aku baca. Dan penyakit cintaku semakin parah. Ini, teman konyolku ini malah mengatakannya sebagai obat cintaku?''Bagaimana kitab lusuh itu akan mengobatiku?"
"Bukan kitab ini yang akan mengobatimu. Nadhoman-nadhoman ini hanyalah perantara."
"Lalu siapa yang akan mengobati?" tanyaku lagi. Aku merasa dipermainkan.
"Baiklah. Sebenarnya kau tidak sedang sakit. Cuma perasaanmu saja yang sedang terluka."
"Aku tidak sedang bercanda Mir."
"Nah itu dia. Kau terlalu serius menghadapi permasalahan. Sekali-sekali candailah hidupmu. Biar tidak semua waktumu jadi beban. Dan kau akan tau, terlalu banyak tawa yang belum kita nikmati selama ini. Santailah saja. Macam tak ada gadis lain saja. Mala kurang cantik apa. Maya kurang seksi apa. Salahmu sendiri mencari yang tidak ada."
"Sudah? Itu saja ceramahnya?" tanyaku.
"Ini baru saja mulai," Amir tersenyum menyebalkan. "Sudah kita lalaran. Daripada ngobrol ngalor ngidul nggak jelas begini."
"Itukah yang kau maksud obat?"
"Yup."
"Oalah Mir -Mir. Sudah kubilang setiap kali aku pegang kitab ini aku selalu teringat wajahnya kau malah ajak aku lalaran."
* * *
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Romantika Alfiyah Ibnu Malik
RomanceBagian ke 1 dari sequel Romantika Alfiyah Ibnu Malik Alfiyah Ibnu Malik adalah sebuah kitab kaidah bahasa Arab berbentuk bait-bait syair yang sangat legendaris di dunia pesantren. Setiap santri yang ingin menguasai ilmu agama harus menguasai dan men...