Lebaran telah usai. Liburan demikian juga. Aku sudah tak sabar ingin segera kembali ke pondok. Bukan karena aku tak sabar ingin segera belajar, tapi lebih karena setelah liburan hari raya ini aku punya harapan baru. Semoga saja harapan ini tidak hanya menjadi harapan semu. Ya, semoga saja aku masih bisa menjumpainya lagi di tahun ajaran baru ini.
Sehari setelah kembali ke pondok, sekolah telah masuk kembali. Aku berangkat dengan dijejali berbagai pikiran. Tapi muaranya hanya tentang dia. Ketika sampai di perempatan jalan aku kembali teringat saat pertama dulu aku memboncengnya ke sekolah. Aku perlambat laju motorku demi mengingat masa itu. Tiba-tiba seseorang memanggil namaku persis dari tempat Ning Fiya memanggilku dulu. Dadaku berdesir. Aku segera berhenti. Ternyata ia adalah Mbak Reni yang sering mengantar Ning Fiya itu. Ia menghampiriku dan memberikan secarik kertas. Lebih tepatnya sebuah amplop berisikan surat.
''Ini ada titipan dari Ning Fiya Cak. Nanti silahkan dibuka.''
''Ning Fiya nggak masuk hari ini Mbak?''
''Ya. Dan mungkin tak akan pernah masuk lagi.''
''Dia ke mana Mbak?''
''Ning Fiya berpesan padaku untuk tidak menyampaikan langsung pada sampean. Sampean disuruh baca surat ini. Ya sudah Cak. Saya harus segera pulang ke pondok. Assalamualaikum!''
Salam itu hanya kujawab dalam hati karena aku sudah tak konsentrasi lagi dengan apa yang ada di depan mataku. Surat itu begitu membuatku penasaran. Apakah isinya? Ke mana Ning Fiya?
Aku pergi ke masjid setelah bel tanda istirahat berdering nyaring. Bel itu mengakhiri rasa tegang kami karena memahami sulitnya pelajaran.
Aku segera membuka surat itu. Rasa penasaran membuatku ingin cepat-cepat membaca isi surat dari Ning Alfiyah itu. Surat itu dibungkus dengan amplop beraroma wangi melati.
Assalamualaikum Wr. Wb.
Apa kabar Cak?
Semoga kamu senantiasa dalam lindungan serta diliputi rahmat Allah. Menjalani hidup beriring karunia-Nya yang agung.
Waktu terus berjalan. Menggerus apa saja yang ada di hadapannya. Aku tak pernah mengira akan seperti ini. Hari bahagia itu telah berubah menjadi hari-hari penyesalan seperti ini.
Aku merasa sangat bersalah padamu. Namun bisa apa aku di hadapan abah? Kau mau memaafkanku bukan?
Apakah kau juga merasakannya?
Apakah kau juga merinduiku seperti aku yang merinduimu begini rupa?Saat kau baca surat ini, aku sudah berada di tempat yang jauh darimu. Sejak kejadian itu abah memutuskan untuk memondokkanku di kota Kudus. Dan aku tidak bisa berbuat apa-apa. Beliau menyuruhku untuk menghapal Al-Qur'an sambil meneruskan sekolah. Mungkin ini sudah menjadi jalan hidupku.
Jika Allah masih berkenan mempertemukan kita, tentu itu adalah hal yang sangat mudah, iya bukan? Maafkanlah aku yang membuatmu tersalahkan dalam urusan ini.
Alfiyah An Ni'mah
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Kepalaku tiba-tiba berdenyut. Membaca surat ini membuat dadaku terasa panas. Mungkin ini adalah akhir dari hubungan kami. Tubuhku tiba-tiba lunglai. Kusandarkan tubuhku di tiang masjid sekolah. Pusing karena pelajaran matematika itu kini semakin menjadi-jadi.
Daun-daun trembesi yang berguguran di depan masjid seperti tau kesedihanku. Daun kering itu kemudian meliuk-liuk diterpa angin. Tidak jauh darinya, Pak Samin mengelap mukanya yang basah oleh keringat. Tukang kebun itu mengumpat melihat pekerjaannya tak kunjung selesai. Beberapa siswa yang mendengar umpatannya cekikikan.
* * *
Waktu terus berlari. Meninggalkan cerita-cerita kusam saat aku memakai seragam putih biru yang mengharu biru ini. Tak terasa kini aku sudah berada di penghujung masa sekolah MTs. Kesibukan demi kesibukan telah melipat waktu dengan begitu rapi, membuat semuanya berlalu tak terasa.
"Lik, ditunggu seseorang di depan gerbang. Cepetan! Sudah ditunggu dari tadi!"
"Siapa Pak?" tanyaku setengah kaget. Dia juga menepuk pundakku.
"Nggak tahu, lupa bertanya. Tapi katanya penting," jawab Pak Kardi dengan ekspresi menyesal.
"Makasih Pak."
Guru IPA itu kemudian pergi tanpa menjawab ucapan terima kasihku. Mungkin dia tidak dengar suaraku di tengah riuhnya suara pesta wisuda ini. Mataku mengikuti langkahnya. Pikiranku segera sibuk menerka siapa dia yang mencariku. Kebingunganku semakin mengendap di kepala seiring langkahnya menjauhiku. Mungkinkah dia orang suruhan abah untuk mengambil ijazahku? Akhirnya aku bangkit untuk menemui orang yang mencariku itu -meninggalkan teman-temanku.
Setibanya di gerbang sekolah aku menemukan seorang lelaki berkaca mata hitam sedang berdiri di samping mobil hitam. Aku mendekatinya. Namun aku tak mengenalinya. Kukira dia salah orang, atau mungkin bukan dialah orangnya yang mencariku. Akan tetapi sebelum aku sempat berbalik badan, lelaki itu melambaikan tangan ke arahku. Aku mendekatinya.
"Kamu Malik?" tanyanya. Aku memicingkan mata, mencoba mengenalinya. Tapi dia memang tidak kukenal.
"Kamu siapa? Mau apa?" tanyaku.
"Tak penting siapa aku. Aku cuma mau mengantar surat ini padamu. Buka saja nanti."
Setelah memberikan surat itu lalu dia pergi begitu saja. Membiarkan aku dalam kebingungan. Orang aneh itu mengirim surat dari siapa? Kulihat sepintas seorang gadis di dalam mobilnya ketika dia membuka pintu. Dia terlihat cantik, tapi surat ini lebih memancing penasaranku. Aku tidak terlalu memperhatikannya. Ketika mobil itu sudah menghilang ditelan tikungan jalan aku segera membuka surat itu. Tanda tanya itu segera muncul di ubun-ubun kepalaku melihat sebaris kata muncul di kertas itu.
"Selamat!"
Apa-apaan ini? Apa maksudnya?
Aku tidak ingin membiarkan rasa cemas ini berlarut-larut. Aku segera kembali ke tempat dudukku. Menunggu giliran menyalami kepala sekolah. Suasana hikmat yang meliputi pagi itu tak berhasil mengalihkan pikiranku dari sebaris ucapan selamat yang baru saja kuperoleh. Siapa orang itu? Benarkah abah tidak bisa datang karena sakit? Atau mungkin dia sedang marah padaku mendengar prestasiku yang biasa saja?
* * *
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Romantika Alfiyah Ibnu Malik
RomanceBagian ke 1 dari sequel Romantika Alfiyah Ibnu Malik Alfiyah Ibnu Malik adalah sebuah kitab kaidah bahasa Arab berbentuk bait-bait syair yang sangat legendaris di dunia pesantren. Setiap santri yang ingin menguasai ilmu agama harus menguasai dan men...