Kedatangan Amir dan Mala(2)

1.8K 135 14
                                    

"HP-ku diambil kyaiku. Aku pun dilarang keluar pondok kecuali kuliah sejak sekitar semester tiga atau empat, lebih dari dua tahun yang lalu. Aku tidak bisa apa-apa kecuali sami'na wa atho'na pada ucapan Kyai." Kawan-kawanku itu terdiam mendengar penjelasanku. Kulihat Amir juga serius menyimak ucapanku. Kemudian matanya menerawang jauh ke depan. Entah apa yang sedang dipikirkannya.

"ltu hukumannya sampai kapan Lik? Sekarang kok kamu bisa nongkrong di sini?" tanya Mala spontan.

"Itu tuh hadiah dari Kyai Badruddin Mbak, bukan hukuman. Dan Malik tuh sekarang sudah jadi hafidz Mbak. Hapal Al Qur'an 30 juz. Jadi sudah boleh keluar nongkrong-nongkrong kayak gini. Tapi jangan tanya nomor HP-nya ya. Karena masih disita Kyainya sampai lulus kuliah nanti. Kalau mau tanya nomor HP, tanya HP saya saja." Sultan menjelaskan panjang lebar. Padahal aku sudah menginjak kakinya agar dia menghentikan ucapannya itu.

"Jadi kamu sudah hafal 30 juz Lik?" Amir bertanya seolah tak percaya.

"Jangan dengarkan temanku ini Mir. Masak kamu percaya?" elakku.

"Iya Mas, Kang Malik sudah selesai tahfidzannya. Dia ustadz di pondok putri juga loh," tambah Zaman, mempermainkanku. Terbongkar sudah rahasiaku di depan teman-teman dari Malang itu.

"Keren Lik. Umimu pasti bangga mendengar dirimu sudah jadi ustadz di perantauan ini. Eh, kalau kamu sudah hafal berapa juz Mir?" tanya Mala sambil cekikikan.

"Kalau kamu tanya berapa juz, aku lupa La. Soalnya aku ikhlas, jadi nggak kuhitung. Tapi tenang saja La. Semuanya juz for you hahaha," Amir tertawa lepas. Tapi kemudian wajahnya memerah. Pasti dia telah memaksakan keberaniannya dengan ucapannya itu. Kami semua terbawa ke dalam guyonan Amir. Tapi yang membuatku lebih geli lagi adalah tampang Amir yang ngguilani dengan wajah malu-malunya itu.

"Tumben kamu bisa nggombal Mir?" Mala keheranan melihat perubahan Amir.
"Diajari Malik," Amir berucap singkat. Ia kemudian tertawa lagi.

"Soalnya dia minta diajari La. Untuk nggombali kamu katanya, hahaha," aku semakin terbahak-bahak. Muka Amir sudah kayak kepiting rebus. Gurauan-gurauan kami berlanjut hingga beberapa lama.

"Eh, udah dulu ya. Aku udah dijemput kakak sepupuku nih," ucap Mala ketika tawa kami sudah mereda.

"Jadi mau ke Kulon Progo La?" tanyaku.

"Buru-buru amat Mbak?" tanya Sultan ikut melontar tanya. Ia seolah tak rela membiarkan Mala pergi.

"Iya nih. Masku uda nunggu di gerbang dari tadi ternyata. Gak enak kalu nggak segera disamperin. Udah dulu ya teman-teman?" pamit Mala sambil mengangkat telpon. Ia bergegas meninggalkan kami.

"Hati-hati La?" ucap kami bersamaan. Mala pergi dengan meninggalkan senyumnya. Sultan berdecak kagum melihat kecantikan Mala yang juga berpenampilan agak seksi itu.

Sepeninggal Mala, Amir memberikan beberapa amplop surat yang sudah nampak lusuh padaku. Dia memintaku membukanya nanti agar bisa ngobrol dulu. Tapi pikiranku telah didera penasaran oleh apa gerangan isi surat itu.

"Eh, ada cewek datang tuh bro," Sultan bergumam sambil meneguk kopinya. Kami semua menoleh ke arah jalan setapak menuju kantin tempat kami ngopi.

"Itu kan Era adik tingkat kita Lik?" Sultan kembali bergumam. Benar ucapan Sultan, dia memang Era. Di sampingnya juga ada anak IPNU yang beberapa waktu lalu memintaku menjadi pembicara. Ah, siapa dia aku lupa namanya. Dan kenapa di belakang mereka ada banyak cewek yang mengikuti?

Beberapa kejap kemudian mereka sudah berada di hadapan kami.

"Ustadz kenapa tadi tiba-tiba menghilang? Banyak yang nyariin loh?" ucap Era.

"Boleh kami minta tanda tangannya Ustadz?" tanya yang lain. Panggilan ustadz di depan Amir membuatku malu. Mungkin Amir bangga melihat teman yang dulu belajar nahwu padanya kini dipanggil ustadz. Atau mungkin juga dia tertawa dalam hati melihatku yang berilmu tak seberapa tiba-tiba dipanggil ustadz.

"Eh, kenapa tanda tangannya sama saya? Itu kan novel terjemahannya Ustadz Imron. Aku hanya membantunya sedikit saja." Aku berkata jujur. Gadis-gadis itu nampak ragu mau mendebatku.

"Sudahlah tanda tangani saja Ustadz. Mereka bukan dari Jogja loh. Kasian kan kalau sampai nggak dapat tanda tangan dari penulisnya setelah perjalanam yang jauh?" paksa Si Era yang berwajah manis itu.

Akhirnya aku menuruti apa kata Era. Ada hampir sepuluh buku yang harus aku tanda tangani.

"Maaf ya Ra, tadi aku harus keluar lebih dulu karena ada keperluan lain."
Era dapat memaklumiku. Dia paham tentang diriku yang jarang mau menampakkan diri. Ia kemudian memberiku amplop untuk fee acara talk show tadi. Aku menerimanya dengan enggan.

"Duduk sini dulu Ra. Kupesankan minum ya?" Sultan menawari.

"Maaf Mas. Aku tadi cuma mau ngasih amplop barusan sama hmm,,,, sama Kang Malik. Trus ada uhti-uhti yang ikut ke sini itu," Era menimpali. Sultan nampak gemas melihat mangsanya tak dapat dijerat. Entah bagaimana Sultan itu. Katanya sudah jadi hafidz tapi sikapnya menurutku jauh dari Qur'an yang dihafalkannya. Ah, entahlah. Kenapa juga aku mesti suudzon padanya?

"Kan mereka bisa kembali lagi dan kita ngobrol-ngobrol aja dulu," Sultan merayu sekali lagi.

"Maaf aku sudah ditunggu Alfi di depan gedung FIS," Era berbicara dengan sopan.

"Alfi siapa?" Sultan kembali mengajukan pertanyaan. Aku terus mengikuti perbincangan mereka walau tanganku sedang sibuk menanda tangani novel-novel para gadis itu.

"Alfiyah teman kuliahku di sastra Arab Mas, udah dulu ya? Assalamualaikum," ucap Era sambil melangkah dengan ringannya. Dan dadaku tiba-tiba berdesir mendengar Era menyebut nama itu. Kuikuti langkah kaki cewek itu dengan kedua bola mataku. Berharap bisa melihat teman Era yang sedang menunggunya itu. Selama ini aku memang tak pernah berjumpa dengannya. Gadis yang pernah menjadi penyebab aku ditakzir pas jaman MTs itu. Kalaupun kami berpapasan di kampus, kami tak pernah saling sapa. Lebih tepatnya dia tak pernah mau menjawab sapaanku. Yah, sepertinya dia masih sakit hati padaku. Untungnya Yai Bad melarangku berlama-lama di kampus. Jadi intensitas perjumpaan kami hanya sesekali saja. Tapi tetap saja, selalu menjadi moment sport jantung kala aku melihatnya.

"Sudah selesai tanda tangannya Ustadz?"

"Oh," dengusku kaget. Aku segera tergeragap dari lamunan sambil menahan malu. Kudengar kemudian tawa berderai dari teman-temanku itu.

* * *

Bersambung

Romantika Alfiyah Ibnu MalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang