Menyadur Mimpi(1)

1.9K 155 5
                                    

Suara bus berpacu di jalan raya bising sekali. Panas juga menghentak-hentak. Aku pun harus berdiri karena tak kebagian kursi. Oyol-oyolan dengan para penumpang. Bau keringat menusuk-nusuk hidung. Sukurlah tak berapa lama kemudian bus berhenti. Ada beberapa penumpang yang turun.

Aku segera menuju sebuah kursi kosong yang ada di depanku. Di sebelahku ada seorang gadis berjilbab sedang terlelap. Mukanya ditutupi ujung jilbabnya.

Bus terus menderu.

Pikiranku kembali berkecamuk tentang rencanaku kedepan. Informasi tentang adanya beasiswa bidikmisi itu menggantungkan mimpiku.

"Awww!!! Teriaknya histeris -membuatku kaget bukan kepalang. Jeritan keras itu yang membuatku terkejut, bukannya bus yang tiba-tiba berhenti tak tahu aturan. Gadis di sampingku itu mencengkeram bahuku kuat-kuat. Dadaku deg-deg ser. Dan kami kemudian beradu tatapan mata penuh keheranan. Dia adalah Mala. Aku tak habis pikir perempuan asing di sampingku yang nyaris tidur sepanjang jalan itu ternyata adalah temanku sendiri.

"Oalahhh. Kowe to Laa?" ucapku reflek.

"Lha mok kiro sopo?" sengitnya. Bibirnya sudah moncong tak karuan.

"Kukira cewek mana?"

"Kamu menyesal ternyata aku? Haha."

"Iya lah. Hehe. Ngglethek jebule konco dewe!"

"Jadi habis wisuda kemaren kamu baru pulang sekarang Lik?" tanyanya kemudian. Kami baru wisuda dua minggu yang lalu di sekolah. Sebenarnya aku sudah pingin sekali pulang tapi masih harus menunggu wisuda pondok beberapa hari yang lalu. Ya, aku akhirnya wisuda juga walaupun aku belum lulus hafalan Alfiyah. Yai Mursyid menganggapnya sebagai hutang. Dan aku harus melunasinya di hadapan Kyaiku itu suatu saat nanti. Yang penting sekarang aku harus cari tempat yang tenang untuk menghafalkannya.

"Iya La. Kamu kenapa baru pulang juga?" aku balik bertanya.

"Refreshing dulu lah. Hehe," jawabnya sambil nyengir.

"Wah enak nih. Kemana aja?" tanyaku lagi. Sebenarnya pertanyaanku ini hanya untuk mengisi waktu. Untuk menghindari diam. Pertanyaan tak bermutu.

"Ada deh. Aku sibuk ngurusi pendaftaran kuliah Lik. Sambil refreshing juga sih, haha," lagi-lagi Mala mengakhiri ucapannya dengan tawa. Aku melihat raut segan di wajahnya. Dan tawanya itu kukira untuk mengurai keseganannya.

"Berarti sekarang sudah beres? Jadi diterima siapa kamu La? Eh, dimana maksudku," kali ini aku juga nyengir. Dia terlihat berpikir. Dahinya berkerut namun kemudian tertawa.

"Siapa? Rahasia dong. Salahmu sendiri dulu menolakku. Hahaha. Aku jadi kuliah di Unair Lik, ngambil ilmu komunikasi."

"Wah keren. Jadi pingin kuliah juga nih."

"Kamu dimana Lik?"

"Masih dalam bis ini."

"Kan! Ngawur jawabe?"

"Masih untung tak kujawab aku ada di hatimu kan?"

"Ternyata kamu suka guyon ya sekarang. Satu kemajuan yang bagus."

"Wkwkwk. Untuk menghibur diri La. Kata Amir selama ini aku terlalu serius orangnya. Hmmmm. Aku ngandalin bidikmisi itu La."

"Apa itu?"

"Masak baru dengar? Beasiswa untuk orang kismin itu loh?"

"Oh iya. Bagus loh itu. Semua biaya ditanggung pemerintah. Disangoni maneh. Amir juga ikut itu katanya. Terus kamu mau ngambil dimana? UM?"

"Aku sih pingin Jogja atau Semarang. Nggak tau lah nanti gimana. Aku juga mau konsul sama kanjeng mami dulu."

"Kanjeng mami? Wah iya, penting itu Lik."

"Kalau nggak lolos bidikmisi bagaimana?"

"Nggak tau. Sekarang cuma itu harapanku. Kasian umi."

"Kan jahitannya sudah makin laris. Aku sudah minta umiku untuk kerjasama dengan umimu kalau ada banyak orderan. Kata umi jahitannya bagus kok."

"Jadi kamu yang minta umimu berbagi order jahitan dengan umi?" tanyaku. Aku sedikit tersinggung. Mala tersenyum manis sambil mengangguk. Aku terbengong. Dia kemudian menawariku maezone. Bis terus melaju.

* * *

Seminggu sudah aku berada di rumah. Pikiranku semakin di kurung gundah. Pertanyaan kemana langkah kakiku akan melanjutkan belajar itu menjebakku pada kesibukan pikiran dan bahkan batin yang tak berkesudahan.

Andaikan semua masih sama seperti dulu mungkin hidupku tak akan sepelik ini. Namun siapa yang mampu melawan takdir Tuhan? Toko yang dulu berjaya itu kini telah mangkrak. Tak ada modal untuk memulai jualan lagi. Kolam ikan yang dulu mengalirkan rejeki pun juga telah lama kering. Untuk mengepulkan dapur pun umi harus membuka jasa jahitan. Mbak-mbak santri juga dilibatkan dalam melayani pesanan jahitan itu. Seiring berjalannya waktu sekarang umi lebih sering mengontrol kerjaan mereka saja. Selebihnya para santri itu yang mengerjakannya. Para santriwati semakin tertarik untuk belajar menjahit. Akhir-akhir ini jahit-menjahit sudah menjadi kegiatan ekstra pondok yang membuat mereka antusias. Santriwati yang sudah mumpuni diminta umi untuk ikut melayani pesanan dari luar.

Walaupun begitu penghasilan dari jasa konveksiini tetap tidak bisa dibilang mewah. Dengan semua keadaan ini pantaskah akuterus melambungkan hayalku untuk melanjutkan kuliah?


* * *

Bersambung


Romantika Alfiyah Ibnu MalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang