Diantara para petakziyah itu ada beberapa orang yang terus berjalan menerobos lautan manusia. Perhatianku segera terbetot ke sana. Rombongan itu menyibakkan kerumunan para pelayat. Mereka terdiri dari beberapa lelaki bersarung. Ternyata di belakangnya masih ada dua orang wanita, seorang gadis berbalut busana warna merah muda. Kerudungnya yang berwarna silver itu ia tutupkan ke wajahnya. Sebentar kemudian beberapa wanita menjemput dan memapah tubuhnya yang limbung. Kedua belah tangannya dipapah. Seketika itu kerudung yang menutupi sebagian wajahnya terlepas.
Dadaku berdesir. Ternyata gadis itu adalah Ning Fiya. Ingin rasanya aku menghampirinya. Tapi aku segera bisa menguasai diri. Siapalah aku ini? Berani-beraninya aku punya keinginan seperti itu? Dan kemudian yang bisa kulakukan hanyalah mengikutinya dengan pandangan mata. Malangnya, gadis itu segera menghilang dari pandanganku, ditelan oleh lautan manusia. Selama dua tahun lebih aku tak pernah melihatnya terhitung semenjak peristiwa penggundulanku itu. Kini, kesempatanku untuk dapat melihatnya hanya berberapa kali kedipan mata saja. Aku menelan ludah kasar. Ada perasaan yang mengganjal dalam dada. Pikiranku mulai berkecamuk.
Aku segera kembali mencoba membaca surat Al-Ikhlas mengikuti bacaan teman-temanku yang membahana memenuhi langit-langit masjid sambil menunggu jenazah untuk siap dishalatkan. Aku memaksa ingatanku untuk melupakan wajah itu. Namun bayangannya malah semakin jelas hadir dalam benakku. Dan seketika itu pula kenangan saat aku masih MTs dulu hadir di pelupuk mata. Saat pertama kali aku melihatnya. Ketika aku memboncengnya berangkat sekolah. Ketika ia mengajakku jalan-jalan ke alun-alun. Semuanya tak mungkin aku lupa. Tak pernah aku kira kenangan yang dulu kuukir dengan canda tawa itu ternyata kini harus menggantinya dengan begini nelangsa.
Pagi telah berganti siang. Lautan petakziyah itu sudah semakin surut seiring sinar mentari yang mulai condong ke belahan langit bagian barat. Menyisakan rombongan-rombongan terpisah yang belum juga berhenti datang. Mereka berasal dari berbagai macam penjuru daerah. Kharisma Kyai Dimyathi memang luar biasa. Jamaah pengajiannya tersebar hingga ke pelosok-pelosok desa. Maka pantaslah mereka datang untuk ngalap barokah saat melepas kepergiannya menuju peristirahatan terakhir ini.
Aku sedang duduk di sudut kamarku yang kecil, sambil mendengarkan obrolan teman sekamar. Keresahanku tidak hanya karena kematian guruku ini, tapi juga karena abah tidak datang takziyah hingga sesiang ini. Di sisi lain telponku tidak diangkatnya. Apa mungkin dia masih berada di perjalanan? Dan entah mengapa aku begitu mencemaskannya, wajah tua yang semakin digerogoti umur itu. Tidak berhenti disitu, pikiranku juga disibukkan oleh bayangan wajah itu. Wajah Ning Fiya masih terus berkelebat di tengah kecamuk perasaan duka.
Seiring usia yang semakin bertambah, sebenarnya aku semakin berpikir realistis. Dia yang putri kyaiku sendiri, seorang ulama' besar. Aku yang seorang pemulung, manusia rendah yang berkawan akrab dengan sampah sudah sepatutnya untuk melihat kenyataan. Tak layak jika cecunguk bersanding dengan rembulan. Aku harus benar-benar melupakannya. Ia tidak akan mungkin bisa kumiliki. Apalah guna cinta kalau tidak bisa dimiliki? Aku bukanlah penganut paham ''cinta tidak harus memiliki''. Bagiku cinta itu harus dimiliki. Jika tidak bisa memiliki lebih baik tidak usah mencintai!
Aku terus mengucapkannya dalam hati. Aku harus melupakannya. Seberapa sulit pun itu.
Tiba-tiba aku tergeragap bangun dari lamunan. Obrolan teman sekamarku pun terhenti karena ada nampak ada tamu yang datang.
''Assalamualaikuum?'' tampak dua orang pemuda memulai salam ketika akan memasuki kamar kami. Pertamanya aku tidak begitu memperhatikannya. Toh sudah ada teman-temanku yang menjamu mereka. Tapi aku memicingkan mata mendengar mereka ternyata mencariku. Menanyakan keberadaanku.
' 'Apakah ini kamarnya Gus Malik Mas?'' suara serak itu melempar tanya. Aku masih ingat, suara serak yang berat itu adalah milik Kang Roni, santri senior abahku. Di belakangnya ada seorang pemuda dengan baju putih dan sarung kotak-kotak. Mungkin dia adalah santri baru, aku belum pernah melihatnya sebelum ini.
''Iya, silahkan masuk. Ini orangnya ada di dalam,'' jawab Ikhsan sambil bergeser untuk memberi ruang kepada tamu itu supaya masuk.
''Ya Allah Kang Roni to? Silahkan masuk kang. Ayo sini-sini,'' Dengan logat blitar yang merupakan dialek asliku aku mempersilahkan tamu-tamuku itu. Bahasa Jawa dialek Blitar yang khas itu kini semakin tak pernah aku ucapkan. Di Malang, dialek Blitar memang sering dianggap lucu dan aneh. Sehingga seringkali orang dari daerah Blitar yang merantau ke kota Malang cenderung mengganti dialek aslinya dengan dialek Malang-an.
Kamar yang memang sempit ini menjadi semakin sempit dengan kedatangan Kang Roni dan temannya itu. Tapi tentu saja itu tidak menghalangi rasa senangku berjumpa mereka.
''Mana abah kang? Apa beliau masih ada di ndalem?'' aku segera membuka peretemuan itu dengan pertanyaan yang menggelisahkanku. Untuk menghilangkan rasa penasaranku. Mengupas rasa rindu bercampur cemas yang menggangguku sejak pagi.
''Maaf Gus. Beliau tidak bisa hadir ke sini. Sekarang beliau sedang sakit. Dan dengan maksud itu pula kami datang ke mari untuk menjemput jenengan. Selain untuk takziyah kepada almarhum Kyai Dim tentunya.''
Kecemasanku semakin bertambah. Keringat dingin mengalir di keningku. Di sampingku, teman-teman sekamarku telah beranjak berdiri dan meninggalkan kamar menyisakan aku dan kedua tamuku. Oh ya ding, di belakangku Amir sedang tidur pulas disertai dengkuran lembutnya.
Tidak lama kemudian aku segera mengemasi bajuku. Sebelum pulang aku membangunkan Amir untuk menitip ijin yang kusampaikan berupa lisan saja karena tak sempat mengurusnya di kantor pengurus keamanan. Barang-barangku telah kukemasi secukupnya.
Akhirnya aku pulang berboncengan dengan Kang Roni. Sedangkan Kang Irham, begitulah tadi ia memperkenalkan dirinya padaku, dia naik sepeda motor-nya sendirian. Banyak perasaan yang berkecamuk di dalam hati. Entah cerita apa lagi di pagi ini yang akan aku alami. Aku duduk di jok belakang dengan menyimpan tanya. Mengapa Kang Roni tidak membawa mobil padahal biasanya dia menjadi sopir abah.
* * *
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Romantika Alfiyah Ibnu Malik
RomanceBagian ke 1 dari sequel Romantika Alfiyah Ibnu Malik Alfiyah Ibnu Malik adalah sebuah kitab kaidah bahasa Arab berbentuk bait-bait syair yang sangat legendaris di dunia pesantren. Setiap santri yang ingin menguasai ilmu agama harus menguasai dan men...