Walaa tumil lisababin lam yattashil - Walkaffu qod yuujibu maa yanfashil
Waqod amaaluu litanasubi bilaa -daain siwaahu ka imadan wa talaa
Walaa tumil maalam yanal tamakkunaa - Duuna simaain ghoirohaa wa ghoironaa
[Jangan condongkan(imalahkan) hatimu pada seseorang yang engkau jarang bertemu-& dikarenakan sebuah perpisahanlah sebuah hubungan bisa berantakan]
[& mereka(salihin) mencondongkan hatinya pada seseorang yang tidak (selalu)menarik hati orang pada umumnya-dikarenakan kekokohan hati mereka, serta demi keberhasilan sebuah cita-cita]
[& jangan condongkanlah hatimu pada seseorang yang tak mau menerima nasihat-kecuali pada dia yang engkau telah ikatkan janji hidup bersama]
{Alfiyah Ibnu Malik bab Imalah-bait 910-913}
Kutatap umiku yang terus menyenandungkan bait-bait alfiyah. Kuresapi kandungan puisi indah kaidah bahasa Arab itu dalam suasana hati yang terus mengiba. Mencerna kehidupan yang tak selalu sesuai dengan keinginan.
Tidur di pangkuannya, bukannya menirukan bait-bait alfiyah yang dibacakan umi, aku malah bernostalgia saat-saat mengajar alfiyah ketika di Jogja. Selain menjelaskan nahwu-sorof melalui bait-bait alfiyah itu, biasanya aku juga menguraikannya untuk menembus kaidah-kaidah kehidupan; seperti yang dilakukan Amir ketika kami masih berseragam putih abu-abu dulu. Bagiku, alfiyah tidak hanya sekedar kaidah bahasa Arab, tapi juga sebuah perlambang kehidupan yang dalam.
Kini, lantunan alfiyah itu kembali menasehatiku.
Nadzom-nadzom karya Syaikh Ibnu Malik itu memukul perasaanku dengan sangat telak. Dan untaian bait-bait yang dilantunkan umi itu mengingatkanku pada wajah Mala. Wajah yang dua bulan lalu nampak begitu sendu. Entah mengapa nasihat Syaikh Ibnu Malik itu masih terngiang-ngiang di telinga-seolah mengajukan nama Mala ke hadapanku.
Namun, di sela kecamuk pikiranku tentang Mala -wajah Maya juga ikut membayangi batinku. Ada pertengkaran batin yang bergejolak dalam diriku.
"Le!!!" teriak umi tiba-tiba. Aku segera bangun dari pangkuannya, tersentak kaget dan malu.
"Bukannya hafalan malah nglamun. Katanya mau cepet hafal. Ayo tirukan nadzom yang baru Umi baca tadi," lanjut umi. Aku mencoba mengingat-ingat kembali nadzoman yang dibaca umi tadi.
"Jangan mau nyimak setorannya orang males Mi. Minum teh aja di belakang sami Aisy Mi, lebih berfaedah," tiba-tiba Aisyah berseloroh. Anak itu sedang berada di depan cermin mencoba kerudung yang padahal sudah kuberikan pada umi.
Bantal yang sedari tadi kupeluk segera melayang menghantam gadis itu.
"Awww. Mas! Sakit tau!" serunya sambil memegangi punggung.
"Makanya jangan ganggu Mas. Itu kerudung Umi kenapa kau pakek?" teriakku.
"Yak, kan cuma nyobak. Gapapa kan Mi?" tanya Aisyah pada umi.
"Tuh kan Umi yang punya aja bolehin, masak yang gak punya malah nglarang?" sambungnya lagi. Padahal umi masih belum memberi jawaban.
"Udah, pergi sono. Ganggu orang blajar aja!"
Aisyah berlalu sambil cekikikan. Teh yang dipegangnya ia seruput sambil berjalan.
"Aisyah! Duduk dulu kalau minum!" teriak umi sambil geleng-geleng kepala.
"Astaghfirullah, lupa Mi!" teriaknya.
Aku mulai mengulang nadzom alfiyah yang dibaca umi tadi.
Walaa tumil lisababin lam yattashil - Walkaffu qod yuujibu maa yanfashil
KAMU SEDANG MEMBACA
Romantika Alfiyah Ibnu Malik
RomanceBagian ke 1 dari sequel Romantika Alfiyah Ibnu Malik Alfiyah Ibnu Malik adalah sebuah kitab kaidah bahasa Arab berbentuk bait-bait syair yang sangat legendaris di dunia pesantren. Setiap santri yang ingin menguasai ilmu agama harus menguasai dan men...