Matahari sudah sepenggalah naik. Kusipitkan mataku karena silau terkena percikan sinar mentari dluha. Aku tertidur di masjid semenjak usai subuh tadi. Dan kulihat jam tembok yang menempel di atas mihrab itu sudah pukul delapan pagi. Masjid sepi. Tiada lagi suara darusan para santri seperti dulu. Kamar-kamar santri putra itu pun tak kalah sepi. Komplek pondok putra tak ubahnya bangunan mati yang memprihatinkan. Menyisakan kenangan-kenangan perih teringat perjuangan abah membesarkan pondok ini.
Melalui jendela kulihat beberapa santriwati sedang membersihkan halaman masjid. Beberapa jenak duduk tiba-tiba aku ingin tidur lagi. Rasa kantuk belum benar-benar pergi dari diriku. Namun keinginanku itu tidak jadi kuturuti karena ada suara motor menderu yang semakin mendekat. Kantukku mendadak hilang tatkala kulihat dia adalah Mala. Gadis itu naik motor Vario sendirian dengan kantong plastik besar di depan dan belakangnya. Disapanya dua santriwati yang sedang menyapu dengan senyum lebar.
"Bu Nyai ada?" tanyanya kemudian.
"Ada Mbak. Sedang di belakang. Mau saya panggilkan?" kata Mbak itu.
"Kalau tidak mengganggu," jawab Mala dengan seuntai senyum. Mbak itu kemudian berjalan ke belakang. Dia kemudian bercengkerama dengan mbak satunya. Mbak itu kemudian menghentikan pekerjaannya.
"Gus Malik ada di rumah ya?" tanya Mala dengan suara pelan. Aku semakin menyembunyikan kepalaku di balik tembok. Kuatir kaca jendela ini tak mampu memyembunyikan keberadaanku yang sedang mengintip gadis-gadis itu.
Mala menyambut umi lalu sungkem dengan mengecup tangannya. Aku sudah tidak dengar lagi apa yang mereka bincangkan. Mereka berada di teras rumah yang lumayan jauh dari sini. Umi terlihat sudah akrab dengan Mala. Tidak berapa lama kemudian kulihat Mala sudah kembali ke motornya. Kantong plastik besar itu telah dibawa oleh dua santriwati tadi ke dalam rumah. Mala melihat sekilas ke arahku. Tapi kuyakin dia tidak melihatku. Kaca hitam ini pasti mampu melindungiku dari tatapan matanya. Sebelum beranjak pergi ia mengenakan masker. Dengan begitu aku tidak bisa lagi mengintip kecantikannya. Ya, dia memang cantik tapi aku tidak mencintainya. Atau mungkin belum. Tak tahu kalau nanti. Semoga saja tidak. Kok jadi niru gombalan dilan ya? Hmmm.
Gadis itu kemudian berlari bersama Vario-nya tanpa memakai helem. Kami memang cuma tetangga desa. Polisi penegak peraturan lalu lintas itu tak mungkin menelusup ke desa-desa seperti ini untuk menangkap pengendara tak berhelem.
Setelah solat dluha aku bergegas ke rumah. Umi sedang mengukur kain batik yang cukup panjang bersama para santriwati. Jadi ini yang dibawa Mala tadi? Aku berjalan ke dapur tanpa menggubris kesibukan mereka.
"Kancamu titip salam Le," ucap umi pelan. Langkahku seketika terhenti.
"Siapa Mi?" tanyaku.
"Mala. Anaknya Pak Kaji Hanafi. Ini dia barusan bawain orderan seragam untuk anak-anak TK," jawab umi dengan secercah senyum.
Aku bahagia melihat umi nampak senang. Namun keberadaan Mala di balik kebahagiaan ini sedikit mengganjal hatiku. Aku tahu dia sedang berbelas kasihan pada keluargaku. Tentu saja ini adalah baik belaka. Akan tetapi aku selalu terngiang kejadian beberapa tahun yang lalu saat kami masih MTs. Dia menjelek-jelekkan Ning Fiya di depanku setelah beberapa hari sebelumnya mereka sempat adu mulut. Semenjak itulah aku illfeel padanya. Bahkan saat dia berbuat baik padaku. Iya, dia melakukan itu karena dia mencintaiku. Dia menembakku waktu itu. Ah, sekecil itu kami sudah terlibat cinta segitiga. Menggelikan sekali.
"Oalah. Mala to?" jawabku pura-pura tak tahu. Aku kemudian berlalu.
Umi menyusulku ke dapur, menemaniku sarapan."Enak Le?"
"Enak Mi. Masakan umi tak pernah tidak enak," jawabku sambil nyengir. Kulihat raut umi nampak cerah.
"Kalian sekelas ya di MAN?"
"Mboten Mi. Dia anak IPA."
"Mau kuliah di Surabaya dia Mi," celetukku. Umi terdiam. Kemudian ia menyeduh teh dengan air dari termos.
"Aku mau kuliah ke jogja Mi. Bolehkan Mi?" umi menatapku dengan tatapan heran.
"Kuliah ke Jogja?"
"Iya Mi. Tapi kalau ketrima beasiswanya."
"Beasiswa? Kau dapat beasiswa Le?"
"Ini belum pengumuman Mi. Doakan saja."
"Katanya alfiyahmu belum khatam? Apa boleh sama kyaimu kuliah ke Jogja?"
"Ya boleh aja Mi," jawabku tak yakin.
"Aku pingin mondok di sana."
"Jogja itu jauh lo Le. Sangune teko ngendi?"
"Makanya doakan aku lolos beasiswanya Mi?"
Umi terdiam menatapku. Aku meneruskan makan lagi.
* * *
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Romantika Alfiyah Ibnu Malik
RomanceBagian ke 1 dari sequel Romantika Alfiyah Ibnu Malik Alfiyah Ibnu Malik adalah sebuah kitab kaidah bahasa Arab berbentuk bait-bait syair yang sangat legendaris di dunia pesantren. Setiap santri yang ingin menguasai ilmu agama harus menguasai dan men...