"Memendam perasaan cinta itu menyiksa batin lho. Katanya sih. Tapi aku percaya saja omongan orang-orang itu. Karena aku tak pernah merasakannya sendiri. Belum ada yang tertarik padaku.”
“Mana ada cewek yang tertarik pada lelaki yanag pesonanya standar, jika pemasarannya kurang mengesankan, Mir?”
“Kau menghinaku? Saat ini memang belum ada cewek yang beruntung dihinggapi rasa tertarik padaku. Dan aku pun tak ingin mengumbar pesona.”
“Kakehan omong .”
“Hahahaha. Orang kere dan berwajah pas-pasan seperti aku ini memang serba susah. Jangankan untuk mendapatkan cewek cantik, yang biasa saja pun butuh perjuangan. Cewek cantik dan baik hati itu barang langka. Barang antik."
"Nah, Ning Fiya termasuk tipe itu, cewek langka. Dia berparas cantik dan berdarah biru, keturunan orang besar. Darah ulama mengalir deras dalam dirinya. Masalahnya sekarang adalah, darahmu berwarna apa? Sama nggak? Kufu apa tidak?” Amir terdiam sebentar. Buku yang ada di tangannya ia taruh di pinggiran kolam. Kemudian anak Lumajang itu melanjutkan petuahnya.
''Kalau kamu sampai mendapatkannya dan memperistrinya, aku tak akan segan-segan menyuruh anak-anakku kelak untuk nyantri padamu. Suwer!!" teriaknya sambil menunjukkan dua jarinya ke arahku. Ledakan suaranya itu kemudian diiringi dengan deraian tawa. Aku juga tak kuasa menahan tawa.
Setelah tawa kami reda aku menanggapi ucapannya.
''Kalau anakmu jadi santriku pasti dia akan aku istimewakan Mir. Akan aku wariskan ijazah-ijazah ampuh yang aku punya sebagai balas budiku pada ayahnya yang telah banyak menasehatiku ini.''
Tawa kami kembali meledak. Mengangankan sesuatu yang mustahil ternyata menggelikan sekali. Namun kemudian aku ingat bahwa ini adalah masalah yang tidak bisa diselesaikan dengan deraian tawa saja. Aku segera mengutarakan perasaanku.
Dan kataku kemudian, ''Kayaknya aku memang sedang kasmaran Mir. Tapi masalahnya nggak semudah itu untuk bilang suka. Aku takut patah hati. Dia itu kan anaknya guru kita. Otomatis dia guru saya juga. Seperti yang sudah kita pelajari. Kita harus menghormati ahli ilmu dan dzuriyyahnya, iya bukan? Masak seorang murid mengejar cinta gurunya sendiri. Bukankah ini sebuah pelanggaran akhlak santri pada gurunya?"
''Apa salah jika kau mencintainya? Bukankah semua orang sama di mata cinta? Bukankah jika sudah ada rasa cinta semua perbedaan-perbedaan itu sirna? Semua batasan-batasan itu tiada? Apalagi agama kita juga mengajarkan kesamaan derajat, hanya kadar iman dan takwanya saja yang membedakannya. Dia kan juga orang biasa. Guru kita itu kan abahnya. Kalau kepada dia ya sebatas hormat saja, menurutku. Mencintai bukan berarti tidak menghormati bukan?"
''Iya juga ya. Jadi aku harus bagaimana Mir?'' tanyaku lagi. Amir malah diam. Entah apa yang sedang dipikirkannya.
''Tapi kamu juga harus hati-hati dan jangan gegabah dalam memutuskan sesuatu. Sesuatu yang dilakukan dengan grusa-grusu itu biasanya tak baik akibatnya. Kita ini kan masih SMP. Kalaupun kamu punya cinta, itu paling hanya cinta monyet belaka. Akan pudar seiring waktu berlalu. Selain itu kamu juga harus mempertimbangkan akibatnya jika kalian memang nanti jadian. Akibat bagi studimu di sekolah ataupun di pesantren ini. Dan lagi, jika. Ini hanya jika saja Lik. Jika nanti Kyai tahu hubungan kalian apakah hal ini tidak akan berakibat buruk padamu? Itu pendapatku saja. Tapi semuanya terserah padamu. Kan kamu sendiri yang menjalani. Dan kalau kamu sudah yakin dengan perasaanmu itu, atau mungkin punya pertimbangan lain yang dapat membenarkan tindakanmu ya balas saja surat berisikan puisi romantis itu.''
''Jadi kesimpulan perkataanmu itu apa Mir? Aku harus membalas puisi itu atau tidak, kok jadi mbulet sih ucapanmu? Tadi kamu mendukung. Tiba-tiba kamu menakut-nakuti dan malah nyramahi aku. Kamu membuatku bingung.''
''Intinya semua itu ada pada ketetapan hatimu sendiri. Jikalau kamu masih ragu ya mending jangan. Tapi kalau kamu sudah yakin dengan keputusanmu untuk mengerucutkan hubungan kalian ya balas saja. Keyakinan itu adalah kekuatan. Punya kekuatan maksudku. Dan aku percaya, orang-orang yang bernasab baik seperti kalian ini punya jalan hidup yang berbeda. Orang yang bernasab baik itu tabiatnya selalu bernasib baik. Kadang-kadang jalan hidupnya tak bisa dinalar oleh orang biasa seperti aku ini. ''
Aku terdiam merenungi ucapan Amir. Benarkah orang bernasab baik akan selalu bernasib baik?
Di ujung cakrawala sebelah barat sana awan kemerah-merahan berarak mewartakan bahwa hari telah beranjak senja. Sesaat kemudian suara bedug menggelegar di serambi masjid dan bergema ke seluruh penjuru pondok. Suara adzan segera berkumandang dari corong-corong speaker yang terpasang di menara. Panggilan shalat itu memenuhi rongga-rongga langit.
* * *
Keesokan harinya aku mulai sibuk membuat puisi balasan buat Ning Fiya. Walau aku ragu tapi tetap saja tanganku menggoreskan tinta hitam di atas secarik kertas.
Untukmu yang Pernah Mengobati Bisuku
Tentu saja aku tak lupa rangkaian cerita itu
Tentang ban bocormu, tentang kabut di wajahmu
Namun aku tak pernah tahu, debu itu telah berkarat di pikiranmu
Bahkan berubah menjadi karat-karat rindu
Maafkanlah jika aku yang menjadi pemicu semua itu
Kukira, hanya akulah yang merasakannya, bahwa rindu itu membuat hidupku layu
Akan tetapi, tak ada bayu lagi di roda sepedaku
Kukira dia pergi bersamamu
Tapi aku tahu, bagaimana cara mendapatkannya lagi biar pudar karat-karat itu dari pikiranmu
Datanglah, dia akan ikut serta bersamamu di sela roda-roda sepedaku
Datanglah, aku akan berikan penawar rindu itu padamu
Baru beberapa kalimat aku sudah kehabisan kata-kata.
Mengobrak-abrik dapur perbendaharaan kata di batok kepalaku. Pekerjaan ini ternyata sulitnya bukan main. Tapi, aku belum putus asa untuk mencobanya lagi. Aku melanjutkan kembali puisiku.Di sepedaku ini, sang bayu akan menyapamu
Datanglah!
Sebelum bayu-bayu itu berlaluSemoga ini bisa mewakili perasaanku. Menjawab barisan kata Ning yang ayu itu.
Setelah aku menutup salam dan doa aku lipat kertas kecil itu. Aku buka lagi karena lupa melakukan sesuatu. Aku bakar tepian kertas itu hingga membentuk lukisan hati. Berbentuk waru. Setelah kusemprot dengan minyak wangi yang kubeli dari toko ba'yakub sepulang sekolah tadi. Aku memasukkannya pada sebuah amplop putih bermotif batik.Kini aku menantikan Gus Fariq datang untuk segera menyampaikan surat balasan yang pertama kali kubuat itu. Biasanya bocah itu bermain dengan anak-anak yang masih SD yang berada di komplekku. Semoga berhasil. Harapku dengan sedikit perasaan cemas.
🤸🤸🤸
Bersambung
Silahkan komen🙇
KAMU SEDANG MEMBACA
Romantika Alfiyah Ibnu Malik
RomanceBagian ke 1 dari sequel Romantika Alfiyah Ibnu Malik Alfiyah Ibnu Malik adalah sebuah kitab kaidah bahasa Arab berbentuk bait-bait syair yang sangat legendaris di dunia pesantren. Setiap santri yang ingin menguasai ilmu agama harus menguasai dan men...