Romantika Alfiyah Ibnu Malik(2)

3.2K 168 89
                                    

"Alhamdulillah Allah memberiku anak perempuan lagi. Karena kamu sudah dinamai Ibnu Malik maka aku memberi nama anakku Alfiyah. Berharap agar kelak kalian berjodoh. Dan rupanya doa kami terlalu cepat nyampek. Masih MTs pun kalian sudah pacaran," Kyai Mursyid terkekeh. Umi dan Aisyah terbengong. Umi kemudian ikut tertawa. Aku terdiam malu. Aisyah mencolek lenganku sambil cekikikan. Aku berusaha memahami ucapan Kyaiku itu dengan dada berdebar-debar.

"Itulah kenapa aku memisahkan kalian. Karena gabungan doa abahmu dan doaku terlalu mustajab. Aku khawatir kalian akan terjebak pada romantisme masa muda. Romantika Alfiyah-Ibnu Malik. Tapi setelah kalian lama berpisah muncul juga kekhawatiranku. Khawatir aku akan kesulitan memenuhi janji itu. Akhirnya kuijinkan Fiya menyusulmu. Walau aku harus menahan gerak kalian dengan rencana perjodohan yang padahal memang perjodohan kalian sendiri. Karena kalian sudah berdekatan kembali, lagi-lagi muncul kekhawatiranku. Akhirnya aku meminta Gus Bad yang merupakan teman lamaku untuk menahanmu. Dia melarangmu ke luar pondok kecuali jam kuliah bukan?Bahkan katanya HP-mu disitanya ya?" tanya Kyai Mursyid tiba-tiba. Pertanyaan itu kembali menyadarkanku. Setiap ucapan beliau mengandung simpul-simpul yang mengurai kisah hidupku. Dan ucapan Kyai Mursyid itu menggiringku masuk ke dalam alam perenungan yang jauh.

"Jadi semua itu atas kemauan Kyai?"

"Tidak juga. Aku cuma memintanya untuk menjagamu. Dia adalah gurumu di sana. Tentunya dia lebih tau seperti apa keadaanmu dan apa yang dibutuhkan untuk memperlancar belajarmu. Maafkanlah aku Le, aku khawatir kalian tidak bisa belajar dengan baik sehingga kehilangan masa depan. Itulah mengapa aku membatasi hubungan kalian," Kyai Mursyid berkata dengan wajah sendu.

Aku terdiam memahami keadaan. Kyai Mursyid masuk ke dalam. Aisyah berbisik-bisik dengan umi. Teh yang berada di depanku kembali kuteguk. Dan rasa gugupku mulai mereda. Namun tetap saja rasa tidak percaya pada apa yang sedang kualami membuatku tidak jernih dalam berpikir.

"Apa yang diucpakan Kyai tadi sungguh-sungguh Mi?" tanyaku pada umi dengan suara berbisik.

"Sing tenang Mas," celetuk Aisyah.

"Tak mungkin Kyai berbohong kan?" umi membalas pertanyaanku dengan kalimat tanya."Umi belum mendengarnya?" tanyaku lagi.

"Belum. Tenanglah. Baca Shalawat sebanyak-banyaknya," pinta umi.
Tenang bagaimana, membayangkan wajahnya saja sudah membuat dadaku berdesir-desir. Bagaimana jika benar-benar aku akan menikahinya?

"Detak jantung Mas kenceng banget Mi," celetuk Aisyah sambik cengengesan.
"Sssst," umi menenangkan Aisyah yang mulai usil.

Tak berapa lama kemudian Kyai Mursyid keluar bersama Bu Nyai Zahra, di belakangnya kulihat sesosok gadis. Detak jantungku terasa semakin kencang. Tanganku pun gemetar. Kenapa dia juga berada di rumah? Bukankah ini masih belum liburan kampus? Apa kuliahnya sudah selesai?

Mereka bersalaman dengan umi dan Aisyah. Dilanjut sedikit basa-basi. Tak berani aku melirik mereka. Kepalaku semakin tertunduk. Entah kenapa kepalaku terasa begitu berat.

"Tergesa-gesa adalah sifat syetan. Namun ada tergesa-gesa yang malah dianjurkan. Salah satunya adalah tergesa-gesa untuk menikahkan anak perempuan. Dan saya ingin melakukan kebaikan itu malam nanti," ucap Kyai Mursyid enteng. Wajah orang alim itu dipenuhi senyum.

"Maksud Kyai dospundi nggeh?" tanya umi. Aku berterimakasih dalam hati umi telah menanyakan hal yang sama ingin kutanyakan.

"Karena Malik sudah siap, maka biarlah malam nanti dilaksanakan ijab dan kabulnya. Bukankah Nyai Zaenab juga setuju begitu?"

"Saya setuju-setuju saja Kyai. Tapi kami belum menyiapkan apa-apa. Malik juga tak punya apa-apa untuk membayar mas kawinnya," jawab umi jujur. Jawaban umi juga menyuarakan keresahanku. Kulihat Kyai Mursyid malah tersenyum tenang.

"Untuk mas kawin biar anakku sendiri yang menentukan. Bagaimana Fi, kamu menginginkan mahar apa?"

Disebutnya nama Fiya memberiku kesempatan untuk meliriknya. Pandangan kami sedang tertuju ke arah gadis itu. Dadaku berdebar-debar menanti jawabannya. Entahlah, berdebar-debar menanti jawabannya ataukah karena melihat wajahnya dari jarak sedemikian dekat.

Kyai Mursyid perlu mengulang pertanyaannya kembali untuk mendengarkan jawaban Alfiyah.

"Aku ingin Ustadz Malik mengajariku nahwu ala alfiyah. Sudah dua minggu ini aku kehilangan penjelasannya karena dia ternyata telah pulang kampung," jawab Ning Fiya dengan suara yang lembut.

"Jadi kamu mondok di pesantren Kyai Bad juga?" tanyaku secara spontan. Dan kini aku menyesali pertanyaan itu. Aku terlalu penasaran benarkah orang yang selama ini kurindukan ternyata berada di tempat yang sangat dekat denganku? Ketika mengajar, ustadz dan santri dipisahkan oleh satir sehingga aku tidak pernah tahu siapa saja dan seperti apa orang yang kuajar selama ini. Hmm. Seharusnya aku tidak menanyakan pertanyaan tak penting itu.

Dalam lirikanku kulihat dia mengangguk. Dadaku kembali berdesir.

"Baiklah. Aku ingin kamu melalar alfiyah dan mengajari anakku kitab itu sebagai maharnya. Kamu datang kemari untuk melunasi janji wisuda bukan? Dan kini hafalanmu itu tidak hanya untuk melengkapi wisuda pondok. Tapi juga untuk mewisuda masa bujangmu. Apa kamu sanggup?" tanya Kyai Mursyid mengagetkanku.

Sepanjang perjalanan tadi sebenarnya aku sudah berulang-ulang menghafalkannya. Namun bila mengulanginya di depan Fiya apa hafalanku masih akan tetap utuh?

Kulihat umi mengangguk untuk mendukungku. Aku pun kemudian mengangguk untuk memberi jawaban.

Nyatakah apa yang kualami ini?

Tiba-tiba tubuhku panas dingin.

* * *

Bersambung

Romantika Alfiyah Ibnu MalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang