"Itu,,," ucapku terputus oleh rasa bingung bagaimana aku harus menjawabnya.
"Apa Mas?" Fiya semakin mendesak. Kulihat ada mendung pekat nampak di wajahnya.
"Itu kutulis beberapa hari yang lalu saat pikiranku kalut. Kamu tak tau bagaimana rasanya jadi diriku. Umi dan adikku terus-terusan memojokkanku dengan permintaan menikahi Mala. Sedangkan aku tak pernah punya rasa cinta padanya. Kamu pasti paham, masalah perasaan tidak bisa dipaksa bukan?"
Istri yang baru sehari kunikahi itu menatapku tak berkedip, menantikan penjelasan dariku berikutnya.
"Dan di saat dihinggapi bingung itu aku memutuskan untuk kembali menghubungi Maya, satu-satunya perempuan yang masih kutemukan sisa-sisa cintaku dalam dirinya. Tapi kumohon kamu tidak usah risau. Percayalah. Surat itu tidak ada artinya apa-apa dibanding kebahagiaanku telah mendapatkanmu," paparku panjang lebar. Kudekati dia dan kupegang erat tangannya. Dia kemudian tersenyum dan menunduk sembari memasukkan lembar kertas itu ke amplopnya yang semula.
Keesokan paginya umi heboh dengan rencananya mau membuat acara syukuran. Fiya yang merasa tahu diri melihat mertuanya sedang sibuk menawarkan bantuan untuk mengantar ke pasar dengan mobilnya. Dia mengajakku serta. Tapi sayangnya aku tidak bisa mengikuti mereka.
"Beneran Mas nggak mau ikut?" tanya istriku itu. Dia akan mengantar Aisyah ke sekolah selain mengantar umi ke pasar untuk belanja. Walau kami akan berangkat ke Malang nanti tapi umi tetap saja mau merayakan syukuran kecil-kecilan pernikahanku malam nanti.
"Mas mau benahin Lampu di kamarnya umi Dek. Ngecek dulu apa lampunya rusak atau kabelnya yang putus," jawabku. Semalam umi mengeluhkan lampunya mati. Dan aku berniat akan membenahinya mumpung masih pagi.
"Ya udah kalau gitu. Mau pesen apa?" tanyanya lagi.
"Pesen adek ati-ati ya di jalan," jawabku sambil tersenyum.
"Maksudnya pingin dibeliin apa gitu?" dia bertanya lagi.
"Beliin jamu biar Mas bisa lebih anu gitu apa ya kira-kira Dek?" candaku.
"Duh, cari sendiri deh kalau itu. Gak tau adek kalau jamu anu-anu gitu. Huft." dia menjawab sambil cemberut. Wajahnya yang putih nampak kemerah-merahan.
"Apa gitu ya. Ya udah. Saya mau ambil tangga dulu buat ngecek kabel di atas," jawabku.
Dia mengulurkan tangan untuk bersalaman hendak mencium tanganku. Kusambut tangannya dan kemudian kutarik dia ke pelukanku."Eh, apa sih Mas?" serunya.
"Kirain mau narik aku berdiri tadi," jawabku. Aku sedang duduk di ranjang dan dia berdiri di hadapanku.
"Ya udah lepasin," protesnya.
"Bentar lagi. Baca alhamduillah seratus kali dulu," balasku.
"Astaghfirulloh Mas. Istighfar," jawabnya sambil melepaskan diri dari pelukanku.
"Kenapa istighfar. Ini sedang cari pahala loh sayang," jawabku sambil tertawa.
"Sudah ditunggu umi dan Aisy di depan. Bisa dipecat jadi mantu aku nanti?" dia semakin memprotes.
"Owh iya, lupa."
Aku kemudian melepaskan dia.
Setelah mereka berangkat kemudian aku masuk ke kamar umi. Tangga kayu yang baru kudapat dari pondok kubawa masuk dengan susah payah. Tangga setinggi empat meteran itu kusandarkan ke atas pintu. Mataku segera menatap foto keluarga saat kami masih lengkap dulu. Aku masih MI di foto itu. Aku berdiri di antara abah dan umi, sedangkan Aisyah digendong umi. Kulihat semuanya tengah tersenyum. Semoga di sana abah juga tengah tersenyum sekarang, aku telah membayarkan janjinya. Air mataku tiba-tiba menetes mengingat bagaimana sifat welas- asihnya abah dulu saat beliau masih berada di tengah-tengah kami. Foto itu kuturunkan terlebih dahulu sebelum mengecek kabel di atas langit-langit kamar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Romantika Alfiyah Ibnu Malik
RomanceBagian ke 1 dari sequel Romantika Alfiyah Ibnu Malik Alfiyah Ibnu Malik adalah sebuah kitab kaidah bahasa Arab berbentuk bait-bait syair yang sangat legendaris di dunia pesantren. Setiap santri yang ingin menguasai ilmu agama harus menguasai dan men...