Sarifin kemudian berkonsultasi pada Kyai Khoiri di Kandangan Kediri perihal kemauan anaknya itu. Dan jawaban Kyai itu membuatnya merasa bangga. Jikalau masih punya anak perempuan niscaya dia akan mengambil Abu sebagai menantunya, begitu dawuh Kyai Khoiri. Berbekal itu Sarifin kemudian berangkat ke Malang untuk melamarkan putri Kyai Ahmad Dimyathi. Dari pinangan itu Abu diminta ke Malang seminggu kemudian. Dia diminta untuk melalar nadzoman alfiyah. Kyai Latief yang saat itu masih muda menyaksikan kefasihan Abu. Gus Latief pun sangat terkesan dengan Abu yang penguasaan ilmu agamanya sangat mumpuni.
Di waktu yang hampir bersamaan abah juga menyampaikan maksudnya untuk berbesanan dengan Kyai Dim.
Selama di Jogja aku masih menyimpan rasa suka itu padanya. Ya, rasa cintaku tak juga hilang walau lama kami tak bertemu. Bahkan wajah Zahra terbawa dalam mimpiku ketika aku menuntut ilmu di Makah.
Setelah lulus kuliah aku berangkat haji dan menetap di sana selama setahun untuk mengais ilmu. Selama di sana aku sering bermimpi berjumpa dengan Ning Zahra. Mimpi itu menggelisahkanku. Membuat keinginanku untuk pulang semakin besar. Dan sesampainya di rumah kusampaikan mimpi itu pada abah. Abahku mengambil keputusan cepat. Beliau sowan ke Kyai Dim untuk menyampaikan pinangan. Bukan main-main, aku diminta datang seminggu berikutnya untuk setoran alfiyah. Pesan yang dibawa abah itu mengejutkanku. Tapi untungnya selama di Jogja dulu aku sempat menghafalkannya. Sebelum sowan aku mengulangi hafalan itu.
Gus Latief yang bertahun-tahun mondok di Sidogiri itu juga yang menjadi penguji hafalanku. Dan hasilnya membuatku resah. Aku harus menerima penilaian dari Gus Latief dengan pasrah. Hafalanku tak sebagus Abu, itu kata beliau. Aku menyiapkan diri untuk menerima kabar, apapun itu.
Namun ternyata apa yang disampaikan oleh Kyai Dim diluar dugaan. Katanya hafalanku yang tidak begitu fasih merupakan bukti besarnya rasa cintaku pada putrinya. Rasa cinta akan membuat orang grogi bahkan hanya dengan mendengar orang yang dicintainya. Dan aku memiliki rasa cinta itu, dawuh beliau. Beliau ingin menikahkan anaknya dengan orang yang benar-bemar mencintainya. Dan akhornya akulah yang diterimanya menjadi menantu -menjadi suami Zahra.
"Maafkan aku Bu. Tak tau aku kalau kamu juga melamarnya," kataku lirih di depan Abu. Teman lamaku itu menerimaku di rumahnya dengan ramah. Aku disuguhinya rokok tengwe yang dia sendiri sedang menghisabnya.
"Bukan aku yang melamar. Kamu tak usah risau. Bapakku memang tak menyetujuhinya sedari awal. Abot sanggane cah biasah ngrabi wong gedhe, ora kufu," jawabnya disertai senyum getir.
"Ayo diminum kopinya. Jangan membahas yang sudah tak perlu dibahas," katanya lagi.
"Aku nggak enak sama kamu Bu. Kamu yang lebih pinter. Apalagi Zahra sukanya sama kamu," aku menimpali.
"Anak e Kyai koyo awakmu gak pintero yo bakal dadi Kyai Gus. Sepur ora bakal metu teko rel e," jawabnya enteng. "Opo maneh awakmu mondok nek Makah," lanjutnya. Asab rokok tengwe berhamburan dari mulutnya. Dan ketika aku mencoba rokoknya batukku tak berkesudahan.
"Kamu nggak bakat jadi orang susah Gus," kelakarnya, disertai tawa terpingkal-pingkal. Rokok tengwe biasanya dipakai oleh orang yang tak mampu beli rokok bermerk.
"Oh iya. Aku kesini membawa pesan dari Kyai Dim," ucapku ketika batukku sudah reda.
"Pesan apa?" tanyanya.
"Kamu mau dijodohkan dengan santri putri. Ahad kliwon sowano," aku memberitahu.
Sambil memghisab rokoknya dia mengangguk-angguk tanpa mengeluarkan kata-kata jawaban."Maukah nanti kamu besanan denganku?" pintaku.
"Apa?" tanyanya.
"Maukah nanti kau jadi besanku?" ulangku lagi.
"Sebenarnya aku diminta kawin apa diminta berbesanan denganmu to?" tanyanya.
"Kedua-duanya," jawabku cepat.
Dia terbahak-bahak.
"Nikah aja belum sudah mau berbesanan Syid-syid," dia kembali tertawa.
"Kamu tak berencana punya anak?" tanyaku.
"Punya lah," jawabnya pendek.
"Kalau nanti anakmu kuminta jadi mantu boleh?" aku kembali bertanya.
"Asal anak kita tidak sejenis," dia menjawab disertai tawa.
Dari kejauhan kulihat beberapa anak kecil menenteng kitab suci berjalan mendekat.
"Santrimu?" tanyaku.
"Anaknya tetangga mau belajar ngaji," jawabnya.
* * *
Tengwe: nglinteng dewe. Artinya rokok yang dibuat sendiri
Berat beban bagi orang biasa menikahi orang berderajat tinggi. Tidak kufu
Anak kyai sepertimu walaupun tidak pinter tetap akan jadi kyai Gus. Kereta api tidak akan keluar dari rel-nya
Apalagi kamu mondok di Makkah
KAMU SEDANG MEMBACA
Romantika Alfiyah Ibnu Malik
RomanceBagian ke 1 dari sequel Romantika Alfiyah Ibnu Malik Alfiyah Ibnu Malik adalah sebuah kitab kaidah bahasa Arab berbentuk bait-bait syair yang sangat legendaris di dunia pesantren. Setiap santri yang ingin menguasai ilmu agama harus menguasai dan men...