Sebuah Perpisahan(2)

2.6K 146 2
                                    

"Masa-masa SMA-mu bagaimana Mas? Asik nggak?" tanyanya kemudian.

"SMA? Asik sih. Tapi cukup memilukan kalau dikenang. Tapi seru juga untuk diceritakan kembali. Penuh perjuangan dan lika-liku hidup yang menegangkan."

"Sepilu apa sih?" tanyanya merengek.

"Siap-siap tisu ya? Ceritanya cukup menguras air mata," ucapku lebay.

"Mas lebay ah!" dia menimpali sambil tersenyum.

Detik berikutnya aku mengurai kembali cerita-cerita kusam saat masih memakai seragam putih abu-abu itu.

* * *

Hari terus berganti. Rangkaian waktu bergulung dan menggelinding cepat. Perpisahanku dengan Ning Fiya setahun yang lalu masih menyisakan perih di ulu hati. Berawal dari perdebatanku dengan Ustadz Hadi dan berlanjut dengan penggundulan itu aku menjadi tidak nyaman berada di pesantren. Bagaimana aku akan nyaman jika merasa kesepian di tengah-tengah keramaian? Merasa sedih saat berada di tengah-tengah canda tawa temanku? Sikap teman-temanku berubah menjadi dingin terhadapku. Sebenarnya aku mencoba untuk bertahan. Menganggapnya sebagai cambukan kecil buatku agar aku bisa memperbaiki sikap. Tapi lingkunganku memang terasa tidak mendukung. Bagaimana aku bisa memperbaiki diri jika tertekan setiap saat? Dari situlah aku merasa butuh pelampiasan di luar.

Semenjak saat itu aku mulai memberontak pada keadaan. Aku jadi mudah emosi. Menumpahkan perasaan tertekan yang menyiksa. Aku ingin menghirup udara kebebasan di alam bebas. Di luar sana. Aku ingin mencari tempat yang menganggap keberadaanku. Menganggap bahwa aku ada. Ada sebagai manusia seutuhnya tanpa ada pandangan sinis.

Atas perintah orang tuaku, setelah lulus tsanawiyah aku melanjutkan ke MAN 3 Malang. Gairahku untuk bersekolah hilang. MAN 3 bukanlah sekolah yang aku inginkan. Kalaupun aku berangkat sekolah itu hanya akal-akalanku saja agar tidak dimarahi pengurus pondok yang selalu memeriksa para santri, menghukum santri yang bolos sekolah. Sedikit demi sedikit aku mulai mengenal dunia luar. Aku sering berangkat sekolah akan tetapi tidak sampai di sekolah. Dan perkenalanku dengan dunia luar(baca:luar pondok) itu bermula dari sebuah cerita di suatu pagi.

Pagi itu adalah pagi yang cerah. Langit masih biru berhias awan tipis seperti pagi-pagi sebelumnya. Matahari di langit sebelah timur sana menyala terang. Memberi penghidupan bagi alam. Pohon-pohon cemara ikut melengkapi indahnya pagi. Cericit burung bersuka ria di atas pohon palem. Mensyukuri nikmat Tuhan karena masih diberi kesempatan berjumpa lagi dengan pagi yang cerah itu.

Beberapa kelas terdengar riuh. Para siswa mengeja kalimat bahasa inggris menirukan gurunya. Di kelas lain ada yang sedang begitu hidmat membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an. Dan suasana di lapangan itu tak kalah riuh. Setelah lari mengitari lapangan basket lima puluh kali aku duduk santai di pinggir lapangan basketball menyaksikan teman-temanku yang masih bermain bola. Dari sekian siswa berseragam olah raga yang bermain kucing-kucingan itu ada seorang cewek yang terihat gesit mengejar bola. Berlari ke sana kemari karena sedang menjadi ''kucing''. Walau seringkali kalah namun wajahnya tetap sumringah. Kadang tertawa-tawa, kadang menunjukkan muka cemberut tapi manja ketika diledek para lelaki yang mengitarinya. Wajahnya yang putih kini bersemu merah karena terik matahari. Tak pelak kecantikannya mengundang perhatian semua siswa. Kecantikannya tidak luntur oleh keringat yang berkilat di wajahnya. Apalagi ditambah kecentilannya, gadis itu bak magnet yang dirubung besi.

Beberapa saat kemudian ia keluar dari lingkaran kucing itu. Nafasnya ngos-ngosan. Jilbabnya ia buka menampakkan betapa putih lehernya. Dia berjalan ke arahku sambil mengibas-ibaskan jilbabnya. Aku pura-pura tidak melihatnya. Mataku masih kuajak menonton permainan teman-temanku itu.

''Hoi! Bengong aja. Entar kerasukan jin loh!'' sapanya setengah berteriak. Aku pura-pura kaget. Ia terpingkal-pingkal merayakan kesuksesannya mengagetkanku.

Romantika Alfiyah Ibnu MalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang