Mendadak Jadi Ustad(2)

2K 145 22
                                    

Setelah dluha aku duduk termenung di depan masjid. Menikmati rasa malas untuk berangkat kuliah. Menikmati rasa galau yang datang kembali.

Jauh di depanku sang mentari pagi berpendar menyilaukan mata. Akhirnya aku merebahkan badan sembari menutupi mukaku dengan kopyah. Angin semilir menyentuhku dengan lembutnya. Tak berapa lama kemudian mataku mulai diserang kantuk. Aku mulai melayang ke alam mimpi. Dan kantukku tiba-tiba hilang. Aku kaget bukan kepalang karena ternyata seseorang memukul kopyah di mukaku dengan keras. Namun amarahku segera berganti takut karena ternyata Kyai Bad sedang bersiap-siap memukulkan lagi tasbih yang sedang dipegangnya ketika aku sudah membuka mata.

"Nggak kuliah Lik?" tanya Kyai Bad dengan suara pelan.

"Mboten Yai," jawabku geragapan.

"Itu uang yang dikasihkan pemerintah ke kamu uang rakyat lho. Ndak takut dihisab nanti?"

Dadaku berdebar begitu kencang. Tamparan halus Kyai Bad ini membuatku merasa sangat bersalah. Sudah berapa hari aku tak masuk kuliah?

"Ambil kitab ibnu aqil-mu. Kutunggu di ndalem."
Perintah Kyai Badruddin itu membuatku semakin lemas. Aku kemudian bergegas mengambil kitab di kamar. Berbagai macam pikiran berkecamuk.

Ternyata Yai Bad sudah menungguku di ruang tamu.

"Kau baca faslun kalam."
Aku kemudian mulai membaca nadzom-nadzom alfiyah dan syarahnya itu.

"Cukup," perintah beliau. "Besok menjelang dluha kau yang ngajar alfiyah di pondok putri."
Aku semakin bingung. "Saya Kyai?" tanyaku memberanikan diri.

"Iya. Gus Zain mau berangkat umroh. Kau jadi badalnya ya?" pinta Kyai Bad lembut, membuatku tak berkutik.

"Injih Kyai, insaallah," akhirnya aku menjawab setelah berpikir beberapa saat.

Hari esok tiba. Ketika jam di tembok kamar menunjukkan pukul tujuh aku segera bersiap-siap menuju pondok putri. Setibanya di gedung diniyah putri aku disambut dengan deheman menggoda para santri putri itu. Aku berusaha tenang dengan perlakuan para gadis di balik satir itu. Namun bagaimana lagi. Dada terlanjur berdegub tak terkendali. Aku pun jarang membuka kitab ibnu aqil karena aku tinggal di komplek khusus tahfidh. Tidak ada pelajaran kitab itu. Apa aku bisa memberi penjelasan nanti?

Tapi aku tak mungkin mundur dan berbalik arah. Aku sudah melangkah sejauh ini. Sudah di depan pintu madrasah malah. Aku harus memberanikan diri.

Untuk sebuah pertemuan perdana aku memutuskan untuk membalah hanya beberapa nadzoman saja. Sekedar menggugurkan kewajiban melaksanakan perintah dari kyai. Dan setelah mengakhiri pengajian aku segera keluar kelas tanpa menunggu para santri putri itu selesai membaca asmaul husna. Terdengar bunyi gesekan sandalku gadis-gadis itu mulai dehem-dehem tak jelas lagi. Sebenarnya aku marah. Alangkah tak patutnya santri menggoda ustadznya. Tapi di sisi lain aku malah menikmatinya. Seperti inikah rasanya hidup dikelilingi bidadari? Astaghfirulloh.

Aku terus menggesekkan telapak sandalku mengayunkan langkah. Menjauhi madrasah tempat para bidadari itu mengais ilmu.

Ketika lewat depan ndalem kulihat Kyai Bad sedang berdiri mematung di teras. Kami sempat beradu pandang sebelum kemudian aku tertunduk malu. Kyai sepuh itu memanggilku. Sambil terus menunduk aku mendekatinya.

"Kamu fokus hafalan saja. Tapi kalau saatnya ngajar ya jangan lupa berangkat. Bukankah kamu sudah khotam ngaji kitab itu bersama Kyai Mursyid?"

"Nggih Kyai. Tapi saya belum hafal. Saya masih punya hutang pada Kyai Mursyid," ucapku penuh takdzim.

"Setelah selesai Qur'anmu nanti kamu bisa lanjut hafalkan alfiyah lagi. Jangan ngurusi alfiyah-alfiyah yang lain," Kyai Bad menasehatiku. Bersamaan dengan itu pula aku merasa terkejut. Kyaiku yang hafid ini sepertinya mengetahui keresahanku. Tapi nasihat ini justru mampu menelusup ke dalam hati dan membuatku merasa tenang.

"Nggih Kyai," jawabku kemudian.

"Sudah. Sekarang kembali saja ke pondok. Tapi ingat, saatnya kuliah ya kuliah. Jangan malas-malasan," tutur Kyai Bad, masih pula dengan suara pelan. Aku kembali tersengat dan menyadari kesalahanku bolos kuliah beberapa hari ini. Setelah bersalaman aku undur diri menuju ke pondok.


* * *

Bersambung


Romantika Alfiyah Ibnu MalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang