Sebuah Hukuman(2)

2.6K 163 8
                                    

''Kamu kenapa Ning kok kelihatan sedih? Sakit ya?'' tanyaku dengan penuh perhatian sambil menyedot teh. Matanya sedang memandang lekat-lekat pada sepasang merpati yang sedang berkejar-kejaran di pagupon. Burung jinak berwarna putih itu ternyata sedang kasmaran. Seekor yang berbulu putih diselingi warna abu-abu masih mengejar merpati yang berwarna putih bersih. Kemudian kedua mempelai itu menghilang di balik bilah-bilah papan dinding pagupon. Entah apa yang sedang mereka lakukan di dalam sana.

''Apa? Aku sehat kok. Masak aku kelihatan sedih?'' Ning Fiya menjawab pertanyaanku dengan nada kaget. Aku semakin yakin ada sesuatu yang sedang terjadi. Wajahnya nampak sedang menyembunyikan sesuatu.

''Iya, kelihatannya sedang ada masalah. Atau mungkin kamu menyesal datang ke sini?''

''Nggak juga, aku biasa aja kok. Aku senang bisa bersantai di sini. Nih buktinya aku bisa tertawa,'' Ning Fiya tertawa nyengir. Tapi kelihatan sekali tawanya dibuat-buat.

''Jangan berbohong. Wajahmu murung gitu. Apa mungkin ada yang salah dengan aku?''

''Nggak.. nggak. Kamu nggak salah kok. Ya memang ada permasalahan sedikit sih. Tapi aku seneng bisa berdua denganmu di sini. Setidaknya permasalahanku jadi sedikit terlupakan.''

''Beneran terlupakan? Tapi wajahmu kok masih kusut begitu?''

''Ya, sedikit memang yang terlupakan. Aku curhat ke kamu aja ya. Kamu mau mendengarkannya bukan?''

''Pasti. Tinggal mendengarkan apa susahnya? Gini-gini aku terkenal sebagai pendengar yang terbaik lho di kelas.''

''Ha ha ha, cuma jadi pendengar terbaik aja bangga, pangkat yang nggak berkelas,'' gadis itu tertawa. Murungnya tiba-tiba hilang entah ke mana. Aku ikut tertawa juga. Selera humor yang sederhana.

''Tapi kamu jangan nangis ya dengar ceritaku nanti?''

''Asal kamu nggak mukuli pasti aku nggak akan nangis,'' dia tersenyum manja. Kemudian menyedot tehnya sebelum memulai cerita yang ia janjikan.

''Abah menyuruhku mondok ke Kudus tahun ajaran baru nanti,'' suara Fiya pelan. Menahan perasaan yang entah bagaimana ia memendamnya. Angin masih bertiup resah.

''Lalu?'' suaraku sedikit bergetar. Berat sekali mendengarkan berita ini.

''Aku tak mau. Tapi mereka tetap memaksaku,'' suaranya masih tetap pelan. Rupanya kesedihan bisa mengembalikan sifat feminimnya.

''Berarti tahun ajaran baru nanti kamu akan nyantri ke Kudus?'' pertanyaanku terlontarkan dengan perasaan yang tak karuan.

''Apa kamu tidak bisa menundanya? Paling tidak sampai lulus tsanawiyah?'' lanjutku lagi.

Fiya hanya diam. Dia menatapku. Aku juga menatapnya. Pandangan mata kami beradu. Tatapan yang tertahan beberapa saat lamanya. Aku pahami keelokan matanya. Keindahan lengkung alisnya. Bibir mungil indahnya. Hidungnya yang walaupun tidak begitu mancung tapi sungguh serasi dengan pipi padatnya. Serta kuning langsat kulitnya semakin menyempurnakan kecantikan makhluk Tuhan yang sedang kupandangi itu. Sesungging senyum kemudian merekah dari bibirnya. Dan entah apa pemicunya tiba-tiba senyuman itu melebar berubah menjadi deraian tawa. Tawa yang tidak dibuat-buat.

''Kamu takut banget sih Cak kehilangan aku? Sampek kaya mau nangis gitu? Padahal aku belum bilang mau berangkat. Tapi tampangmu tambah manis kok kalau lagi khawatir kayak gitu,'' tawanya semakin berderai meledek kecengenganku.

''Aku nggak akan pergi ke Kudus semester depan kok. Abah akhirnya merelakan keinginannya tertunda sampai aku lulus tsanawiyah,'' ucapannya masih diselingi tawa. Menertawakan ekspresi kesedihanku. Aku merasa terperdaya oleh tipu muslihatnya. Namun aku lega bahwa dia belum akan pergi meninggalkanku.

Romantika Alfiyah Ibnu MalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang