Mukaddimah

15K 466 27
                                    

Suasana bandara juanda ramai bukan main. Para calon penerbang hilir mudik sambil menenteng tas-tas besar. Aku duduk bersama istriku menanti jam keberangkatan ke Jogja. Kami bersantai sambil mengenangkan masa lalu. Di kanan-kiri kami ada snack dan sebotol teh dingin untuk melawan bosan. Sebenarnya duduk dengannya memang tak pernah membosankan. Aku hanya ingin memastikan bahwa ia tak kehausan setelah tadi muter-muter.

Di kanan-kiri kami juga terdapat banyak orang yang menanti waktu take off sambil duduk bersantai atau ngobrol. Ada juga yang duduk melamun. Seorang pria terlihat sedang menyuapi anaknya yang masih balita. Sedangkan di sampingnya ada seorang perempuan, mungkin istrinya, tak berhenti berkipas dengan ujung syal yang ia kenakan. Mereka tampak baru masuk ruang tunggu.

"Masih suka dengan makanan ini?" ucapku sambil memberikan sebungkus chocolatos yang kuambil dari tas kecilku. Bukannya menjawab, dia malah tersenyum lebar sambil menatapku tak berkedip. Wanita yang baru kunikahi itu kemudian meraih chocolatos di tanganku seraya melebarkan senyuman.

"Aku berhutang budi pada jajan ini," aku kembali berujar. Dia menatapku dengan dahi mengernyit.

"Hutang budi? Hutang budi apa Mas?" tanyanya, wajahnya tampak bingung.

"Sudah lupa dengan bayu-bayu yang pernah berkarat di pikiranmu dan berubah menjadi rindu itu?" kujawab pertanyaannya dengan basabasi puisi basi jaman masih ABG dulu.

"Mas suka banget ya mengenang masa lalu?" ia tertawa sambil memukul bahuku.

"Tentu saja. Karena di masa lalu itulah aku menemukanmu."

"Bisa saja."

Kami kembali membisu. Dia sibuk makan jajanan anak kecil itu.

"Apa sih istimewanya makanan ini?" tanyaku lagi.

"Keistimewaannya adalah ... dapat menyatukan hati kita," jawabnya sambil nyengir menggemaskan. Bibirnya tampak merona setelah meminum es teh barusan. Dan tawanya kemudian menular padaku.

"Menurutku ada yang lebih berjasa dari jajan ini. Ada yang lebih istimewa," aku terus bicara.

"Apa?"

"Koola Muhammadun, huwa Ibnu Maliki ... waastainulloha fi Alfiyah .... Ibnu Malik mengatakan bahwa dia minta pertolongan Allah lewat lantaran Alfiyah. Bait-bait Alfiyah."

"Maksud Mas, Alfiyah Ibnu Malik-lah yang menyatukan kita?"

Aku tersenyum. Matanya yang bening menatapku tak berkedip. Aku terpukau pada tatapan matanya. Tak menyangka gadis yang dulu pesonanya begitu menyilaukan penglihatanku itu kini berada di dekatku, sebagai istriku. Dia terus menatapku. Dan aku masih sangat mengenali tatapan itu. Sebuah tatapan yang sama seperti ketika pertama kali aku mengenalnya, saat masih MTs dulu.

Detik berikutnya kuajak dia mengenang kembali perjalanan romantika kami sambil menunggu waktu take off.

🤸🤸🤸



Bersambung

Selamat membaca & jangan lupa makan.

Romantika Alfiyah Ibnu MalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang