Mala(2)

2.1K 139 43
                                    

Suara mbak-mbak santri bersolawat membawa kidung ketenangan dalam sanubari. Kubuka sedikit jendela kamarku agar suara merdu itu semakin jelas terdengar oleh gendang telingaku.

Aku sedang bermain HP sambil mendengarkan lantunan suara solawat diba' itu.

Setelah berhasil menghafal seribu dua bait alfiyah tadi sore aku sudah kembali bisa membuka HP. Ya, ternyata umi juga ikut-ikutan menyita HP-ku selama hampir dua minggu aku menghafal dua ratus bait nadzom alfiyah itu. Kenapa lagi kalau bukan karena provokasi adik jahilku itu.

Merasa bosan bergelut dengan HP aku beranjak ke kamar umi. Kulihat Aisyah sedang memijiti umi.

"Eh, ada Masku," ucap Aisyah begitu melihatku masuk.

"Emang enak pijitan Aisyah Mi?" tanyaku pada umi.

"Dari pada nggak ada yang mijit Le," jawab umi bergurau.
Seketika Aisyah langsung berhenti memijit. "Ya udah Aisyah diem aja kalau nggak enak mijitnya."

"Sini biar Mas aja. Lagian Mas sudah lama nggak mijitin Umi. Di Jogja Malik biasa mijitin Kyai lho," kataku. Aisyah bergeser menuju kursi sebelah ranjang. Ia segera memelototi HP-nya.

"Apa yakin Umi mau ikut sowan ke Malang besok lusa?" tanyaku sambil mulai memijit.

"Iya, Umi sudah lama sekali nggak ke sana. Kangen masa-masa nyantri di sana. Nanti sekalian ke pesarean Mbah Dim," jawab umi lirih.

"Nggeh Mi," jawabku.

"Is,," panggilku.

"Hmmm."

"Is?" ulangku memanggil Aisyah.

"Ada apa sih Mas?"

"Itu yang bersolawat suaranya enak banget, siapa namanya?" tanyaku.

"Itu vokalisnya tim banjari pondok. Mbak Fandra namanya," jawab Aisyah, masih berkutat dengan HP-nya.

"Merdu suaranya ya?" ucapku.

"Cieeee, kesengsem sama suara vokalis banjari ya?" Aisyah mulai menggodaku.

"Eh, besok sowan ke Kyai Mursyid bawa apa ya Mi?" tanyaku, mengalihkan pembicaraan. Mengajak ngomong Aisyah hanya membuatku sebal. Ternyata bakat pidatonya di masa kecil terlampiaskan dengan membully masnya sendiri seperti ini.

"Nggak usah membelokkan pembicaraan Mas. Jadi gimana ini Mbak Fandra? Perlu kusampaikan salam?"

"Apa bawa rambutan aja ya Mi?" tanyaku lagi. Mengacuhkan serangan Aisyah.

"Manis-manis kan Mi rasanya?" tanyaku lagi."Manis banget Mas. Sekali liat pasti Mas langsung klepek-klepek," sahut adikku yang menjengkelkan itu.

"Apa sih Is? ikut campur aja!"

"Iya, bawa rambutan saja. Biar dicarikan mbak-mbak aja besok sore," umi akhirnya menjawab.

"Biar Malik aja yang petik Mi. Nggak enak dikit-dikit minta tolong. Lagian lama banget Malik nggak ke kebun belakang."

"Mau nampang ke mbak-mbak ya?" tanya Aisyah sambil cekikikan.

"Besok bantu Mas ya?" pintaku. Mengacuhkan candaannya.

"Hmmm. Ok. Asal nanti Aisyah boleh ikut sowan. Mau menyaksikan sampean setoran ke Kyai Mursyid," jawabnya. Matanya tak berkedip meminta persetujuanku.

"Iya, ikut aja gapapa," jawabku.

Keesokan harinya setelah solat ashar aku berangkat ke kebun belakang dengan Aisyah. Dia membawa karung, sedangkan aku membawa galah. Aku berjalan duluan.

"Tinggimu berapa sih Mas?" tanya Aisyah di belakangku.

"Berapa ya. 177 cm kalau nggak salah. Mungkin udah nambah. Kenapa emang?" jawabku sambil terus melangkah.

"Nggak papa. Hmm. Kok kaya galah membawa galah kalau dilihat dari belakang, hahaha," Aisyah terbahak-bahak. Aku menahan diri untuk tidak meladeni serangannya. Aku terus melangkah menahan emosi. Mengacuhkan guyonan sadisnya.

Merasa tak mendengar suara langkah kakinya aku sempatkan berhenti dan menoleh ke belakang. Kulihat dia sedang bercakap-cakap dengan seorang santriwati. Jarak sekitar sepuluh meter membuatku masih mampu melihat kecantikan gadis itu. Ya Allah, kenapa Engkau ciptakan banyak makhluk cantik di muka bumi ini?

Menunggu Aisyah lama sekali tak kunjung tiba akhirnya aku langsung memanjat pohon rambutan. Sebelum melanjutkan memetik aku memakan buah manis itu sepuasnya. Dan kemudian aku mulai memetik setelah merasa kenyang dan bosan. Di tengah kesibukanku memetik rambutan kulihat sekilas Aisyah datang. Ia mulai mengambili buah rambutan yang kujatuhkan di bawah. Sedangkan aku terus melanjutkan memetik. Dengan bantuan galah, buah-buah yang berada di dahan-dahan kecil dapat kujangkau dengan mudah.

"Siapa tadi Is?" tanyaku memecah kebisuan. Aisyah diam tak menjawab.

"Is, siapa mbak cantik yang kau ajak ngobrol tadi?" ulangku.
Aisyah tak kunjung menjawab pertanyaanku. Anak itu masih sibuk memasukkan rambutan ke dalam karung. Aku pun sedang sibuk menggapai buah-buah yang jauh dari batang utama. Butuh konsentrasi penuh untuk menggunakan galah di pohon seperti ini.

"Is, kalau cantik seperti dia tak apalah kau sampaikan salamku," pintaku sambil tertawa, mengajak dia bercanda. Menghadapi candaan Aisyah sebenarnya menyebalkan, tapi diam begini ternyata juga tak kalah menyebalkan.

"Is?"

"Aisyah?" teriakku jengkel melihatnya mengacuhkan ucapanku. Dengan penuh emosi sebuah biji rambutkan kulemparkan ke gadis itu.

"Aww! Maaf Gus. Ini Fandra, bukan Ning Aisyah," kata gadis itu sambil berdiri dan mendongakkan kepalanya melihatku.

Aku berteriak malu karena aku yang memakai sarung sedang membuka kakiku di antara dua batang pohon.

"Hah!!! Kenapa kau di sini? Mana Aisyah?" tanyaku penuh rasa malu dan keheranan. Pakaiannya yang sewarna dengan pakaian Aisyah membuat mataku tertipu. Kukira dia Aisyah.

"Maaf Gus, saya tadi diutus Ning Aisyah membantu jenengan mengambil rambutan," ucap gadis itu dengan raut muka takut.

"Kurang ajar dia. Ya sudah. Pergi aja kamu sekarang!" teriakku penuh amarah.

"Nggeh Gus, ngapunten sanget," balasnya sambil beranjak pergi.

Keterlaluan Aisyah, rupanya percakapan mereka tadi adalah untuk membicarakan akal liciknya mengelabuhiku. Aku tak sabar ingin segera membuat perhitungan dengan gadis kelas dua belas Madrasah Aliyah itu. Tak habis-habisnya aku merutuki perbuatannya. Akhirnya aku sendiri yang memasukkan buah-buah rambutan itu ke dalam karung.

* * *

Bersambung

Romantika Alfiyah Ibnu MalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang