Pulang Kampung(2)

1.9K 132 51
                                    

"Makan dulu sana. Tengok itu adikmu masak apa. Kamu pasti lapar kan?" ucap umi sambil mengusap air matanya.

"Tapi Umi gapapa kan?" tanyaku khawatir.

"Umi nggak kenapa-napa."

"Is? Sudah mateng belum lauknya?" umi berteriak, walau suaranya hanya pelan saja.
Tak ada jawaban dari Aisyah.

"Malik belum lapar kok Mi. Biar nanti Malik tengok ke dapur. Umi nggak usah nguatirin Malik," ucapku sambil menggenggam tangan umi yang lemah.

"Kamu sudah ninggalin Umi berapa tahun kok lupa kebiasaan umimu sendiri. Umi itu selalu kepikiran kalau anak-anak umi belum makan. Badanmu tinggal tulang dan kulit seperti ini. Emangnya kamu jarang makan to Le?"

Aku tertawa trenyuh. Menyadari bagaimana kekhawatiran umi selama aku di Jogja beberapa tahun tanpa kabar.

"Makan kok Mi. Cuman, emang disuruh puasa daud sama Yai Bad. Tapi Malik masih tampak ganteng kan Mi?" tanyaku berseloroh.

"Ganteng dari mana. Badan kerepeng, kumis sama jenggot awut-awutan kayak gitu. Mbok yo dicukur yang rapi sana?"

"Nanti aja Mi," jawabku sambil meraba kumis dan jenggot. Sepertinya aku memang sudah terlalu lama tak pernah memperhatikan penampilan.

Aku kemudian mengeluarkan kain batik khas Jogja dari ransel. Kulihat raut wajah umi berubah menjadi cerah.

"Ayo makan dulu Mas. Sebentar lagi magrib loh," ucap Aisyah. Tiba-tiba gadis itu sudah ada di belakangku. Kusodorkan kain batik untuknya.

"Udah bisa jahit sendiri kan?" tanyaku.

"Bisa lah. Jahit baju robek atau masang kancing baju misalnya," jawab Aisy sambil terkikik. "Ini batik buat Aisy Mas?"

"Kamu suka nggak?" tanyaku sambil membongkar ransel. Beberapa jajanan khas Jogja kukeluarkan.

"Memangnya Mas kerja ya di Jogja kok bisa beli oleh-oleh seperti ini?" tanya Aisyah sembari membantuku mengeluarkan isi ransel.

"Pengeran Maha Kaya Nduk," jawabku sambil nyengir.

"Kok tambah putih sampeyan Mas?" tiba-tiba adikku itu menyeletuk.

"Kan Mas jarang kena sinar matahari. Hehehe," jawabku sekenanya.

"Kemarin ketemu sama Mbak Mala dan Mas Amir ya?" tanya Aisyah lagi.

"Iya," jawabku pendek. Aku kemudian keluar untuk ganti baju di kamarku.

"Sana temani Masmu makan," pinta umi lirih.

"Ini kerudung buat siapa Mas?" teriak Aisyah. Aku pura-pura tak mendengar. Rasa lelah membuatku males teriak-teriak.

"Mas?" teriaknya lagi, suaranya makin keras. Duh, dasar wanita, gerutuku dalam hati.
Setelah ganti baju aku kembali ke kamar umi. Aisyah masih sibuk mengobrak-abrik kantong plastik berisi beberapa kain batik dan kerudung yang kubawa. Umi terlihat mengomeli tingkah anak perempuan satu-satunya itu.

"Yang silver buat kamu. Yang hijau tua biar dipakai Umi. Itu ada pasminanya juga kayaknya tadi. Kamu suka pakai pasmina nggak?" tanyaku.

"Suka lah. Mana Mas?" Asiyah semakin semangat mengobrak-abrik tumpukan jajan dan kantong-kantong plastik di depannya.

"Ajak Masmu makan dulu Nduk. Buatkan teh sekalian."

"Sebentar lagi Mi," jawab Aisyah sambil mulai memakai kerudung silver. Perintah umi sudah tidak digubrisnya lagi.

"Makan nanti aja ya Mi, bareng-bareng. Biar barokah," pintaku. Aku duduk di ranjang tepat di samping umi. Sedang adikku masih sibuk mematut diri di depan cermin. Wajahnya yang putih tampak cantik memakai kerudung silver. Aku memijiti umi sambil menceritakan bagaimana aku bisa tak mengirimi kabar sama sekali.

"Jadi kamu sudah hapal Al-Qur'an Le?" umi bertanya seolah tak percaya. Aku kembali dipeluknya. "Alhamdulillah Ya Allah. Barokahilah ilmu putra saya ini Ya Allah," doa umi di tengah sesenggukan tangis bahagia.

"Benar Mas?" tanya Aisyah sambil mendekat padaku.

"Alhamdulillah. Berkat doa kalian semuanya. Sekarang saya mau mandi dulu, lengket semua badanku" pamitku. Tubuhku memang terasa gerah.

* * *

"Umi mboten mucal ngaos lare-lare?" tanyaku. Kupikir umi akan mengajar para santri, nyatanya beliau menemaniku makan.

"Sudah kuminta Rahma membadaliku. Wong anak lanangku teko kok, mosok arep tak tinggal?" umi berseloroh dengan bahasa jawa yang kental, artinya anak lakiku pulang masak aku tinggal? Aku menimpali jawaban umi dengan tawa.

"Umi sudah sehat kan?" sekali lagi aku bertanya meyakinkan. Kabar yang kuterima dari Mala sekitar dua bulan yang lalu masih meninggalkan rasa khawatir dalam diriku.

"Kemaren baru pulang dari rumah sakit Mas. Tapi kayaknya sekarang sudah sehat tuh," sahut Aisyah.

"Aku cuma kepikiran anakku lanang. Tapi sekarang aku sudah merasa tenang. Terus gimana kuliahmu Le?"

"Alhamdulillah sudah selesai Mi. Nah, delapan belas hari lagi Malik wisuda Mi. Nanti Umi sama Aisy harus ikut ya?" pintaku, merasa bangga.

"Ke Jogja Mas?" tanya Aisyah semangat.

"Iya. Sekali-sekali biar tahu Jogja kamu itu," jawabku.

"Horeee," Aisyah bersorak.

"Sudah hafal kan Alfiyahnya?" tanya umi tiba-tiba. Aku terkejut seketika. Aku tak pernah menghafalkan bait-bait kaidah bahasa Arab itu. Kukira umi sudah lupa.

"Di pondok Malik ngajar ibnu aqil kok Mi. Sarah alfiyah ibnu malik itu. Insaallah nahwu-sorof saya sudah menguasai," kilahku.

"Jadi sudah hafal alfiyah?" tanya Umi semakin mendesak. Aku bingung dan malu harus jawab apa.

"Kalau itu belum Mi," jawabku lirih. Umi seketika menaruh sendoknya. Memandangku dengan tatapan prihatin.

"Bukan masalah kau menguasai alfiyah atau tidak. Pinter apa tidak nahwu-sorofmu. Tapi ini masalah ridho guru. Kau lupa Kyai Mursyid memintamu melunasi hutang hafalan itu? Kau itu lulus bersyarat Le. Lagian tradisi santri lawas itu belum mateng ilmunya kalau belum hafal alfiyah,"
Aku tak mampu menatap wajah umi.

"Ya, nanti habis dari wisuda saya hafalkan ya Mi. Saya janji," tekadku, memelas.

"Hafalkan sekarang. Sebelum ke Jogja sowan dulu ke Yai. Kalau belum hafal mending kamu berangkat wisuda sendiri," tegas umi. Aku mulai merinding.

"Kurang berapa hafalanmu?" tanya umi lagi. Wajahku serasa dikuliti.

"Kurang dua ratus Mi. Ini kurang dua mingguan Mi wisudanya. Belum ngurusi administrasinya. Nanti habis wisuda aja Malik hafalkan ya Mi?" pintaku lagi.

Umi tak kunjung menjawab permintaanku. Aisyah pun tak bersuara.

"Aku cuma takut kamu itu nggak diridhoi gurumu Le. Padahal ridho guru itu adalah segala-galanya. Tak peduli kamu hafal Qur'an bolak-balik, kalau tak dapat ridho dari gurumu ilmumu tak akan ada gunanya," ucap umi dengan suara pelan. Kalimat itu menghunjam sangat dalam di dadaku.

"Tapi biasanya Malik ada pasangannya kalau hafalan Mi. Ada yang bimbing gitu."

"Setoran sama umi," kata umi tegas.

"Yahhh, nanti umi capek melototi nadzom-nadzom alfiyah yang kecil-kecil itu Mi."

"Kau kira umimu ini tak hafal alfiyah hah?" tanya umi menyentakku.

"Umi masih hafal alfiyah yang seribu bait itu Mi?" tanyaku bersamaan dengan Aisyah secara serempak. Aku berpandangan dengan Aisyah penuh takjub dan malu.

* * *

Bersambung

Romantika Alfiyah Ibnu MalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang