Cinta Monyet(2)

2.8K 162 17
                                    

''Serius banget Cak, baca apaan sih?'' tanya Ning Fiya sambil menutup buku yang tadi aku baca.

Kesadaranku belum kembali penuh mendapati gadis itu tiba-tiba duduk di sebelahku. Dadaku berdesir-desir. Satu meja dalam ruangan itu memang tersedia empat kursi. Dia duduk di kursi yang tersisa satu-satunya. Dan itu ada di sampingku.

''Ini ...  ngrangkum sejarah,'' aku menjawab dengan grogi. Seharusnya aku bisa menjawabnya dengan tenang. Gerutuku dalam hati.

''Oo sejarah, tugas dari Pak Imam, ya?'' tanyanya sambil menghadapkan badannya ke arahku.

''Iya Ning. Kamu kok sendirian?'' aku melontar tanya untuk membuang grogi.

''Nggak sendirian kok. Kan lagi bersama kamu,'' jawabnya tanpa merasa bersalah. Wajahnya yang cerah seolah meledekku.

Wajahku yang dingin pasti terlihat grogi di matanya. Kesulitan aku mencari jawaban ucapannya. Kalimat singkat itu telah menggetarkan hatiku.

''Bukan itu maksudku. Masak nggak paham sih,'' protesku.

''Nggak paham, kamu tak keberatan menjelaskan maksudnya?'' ucapan-capannya seolah berusaha mengakrabiku yang sedang menahan grogi.

Pertanyaanku dijawabnya dengan ceplas-ceplos belaka.
''Jelas keberatan. Malik sedang mengerjakan tugas bersama kami. Kamu siapa? Beraninya mengganggu belajar kami!'' tiba-tiba Mala menyela pertanyaan Fiya. Wajahnya belepot amarah.

Sejak kedatangan Fiya, gadis itu terlihat tidak konsen pada tulisannya. Sebentar-sebentar dia menoleh ke arah Fiya dengan wajah kusut. Di sampingnya, Amir kelihatan salah tingkah, memandang Mala kemudian bergantian memandangku. Kentara sekali dia segan kepada putri Kyai Mursyid yang duduk di sampingku itu. Bingung harus melakukan apa.

''Memangnya aku tadi ngomong sama kamu? Aneh sekali tiba-tiba kamu merasa terganggu. Kamu cemburu?'' serang Ning Fiya. Meskipun diserang dengan kata-kata dan suara yang kasar, gadis itu tetap tenang. Ada senyum sinis yang tersungging di sudut bibirnya.

''Eh jangan asal nuduh ya. Kamu yang cemburu melihatku dengan Malik!'' Mala menjawab dengan sengit. Gadis itu terlihat gusar. Suaranya bergetar.

''Apa? Kamu dengan Malik? Perasaan dari tadi kamu duduk berdampingan dengan cowok ini deh. Malik kan duduk sendirian, iya kan Lik?'' tanya Ning Fiya. Pertanyaan yang juga diarahkan kepadaku itu aku jawab dengan anggukan kepala.

Amir segera mengajak Mala meninggalkan meja itu melihat Mala tidak terima dituduh cemburu. Emosi gadis itu terlihat memuncak, terlihat dari raut mukanya. Amir melakukan hal yang tepat. Jika perdebatan itu berlanjut bisa saja akan terjadi hal yang tidak diinginkan. Amir terlihat membisikkan sesuatu kepada Mala sambil melangkah. Kejadian itu mengundang perhatian para siswa yang sedang membaca buku. Sedangkan kedua temanku itu terus melangkah ke ruang buku.

''Gadis itu pacar kamu ya,'' tanya Fiya dengan suara yang datar. Wajahnya sedikit cemberut.

''Bukan Ning. Dia teman sekelasku. Sekelompok dengan kami dalam tugas sejarah ini. Maafkan dia ya. Dia tidak tahu siapa kamu. Yang tadi nggak usah dianggap.''

''Benar nggak ada hubungan apa-apa?''

''Benar.''

''Kok sampai segitu marahnya melihat kita bicara berdua. Dia suka sama kamu.''

''Ah, sok tahu. Lagian aku juga nggak suka sama dia.''

''Bener kamu nggak suka sama dia?''

''Bener. Apa wajahku terlihat seperti pembohong?''

''Kalau sama aku kamu suka apa nggak?'' tanyanya dengan nada santai tanpa beban, tak menghiraukan pertanyaanku. Dan aku terkejut mendengar pertanyaannya yang berani itu. Mulutku pun seketika terbungkam. Bingung harus menjawab apa. Pertanyaan itu benar-benar menjebakku. Aku memandang wajahnya, kuamati bagaimana warna hatinya. Gadis itu menyunggingkan seulas senyum. Seolah mengejek ketidakberdayaanku di hadapannya. Kutundukkan kepala mendapati desiran hebat yang mengguncang dadaku.

''Nggak usah malu-malu. Aku sudah membaca puisimu. Jawab saja iya,'' Ning Fiya mengucapkan kalimat berat itu dengan nada enteng. Dia kemudian tertawa. Tangannya sibuk membolak-balik buku. Entah apa yang dia cari. Aku bingung untuk menjawab perkataannya. Wajahku terasa panas.

Kami terdiam beberapa saat.
''Syukurlah kalau kamu sudah tahu jawabannya. Aku tak perlu repot-repot menjawabnya,'' akhirnya aku menemukan kalimat itu untuk menjawabnnya.

Kepalaku masih setengah menunduk. Berpura-pura membaca buku. Padahal dadaku bergemuruh. Seolah baru saja aku melompati benteng yang begitu tinggi dan kemudian jatuh berdebum disambut debu yang berhamburan. Lega sekali bisa mengucapkan kalimat berat itu.
Kunantikan reaksinya. Dia sedang memandangku ketika mataku meliriknya.

Kukira dia akan mengeluarkan kalimat ceplas-ceplos lagi. Ternyata dugaanku salah. Ning Fiya justru menundukkan kepalanya. Menyembunyikan secercah senyum. Sebuah keindahan yang sulit kulukis dengan kata-kata. Kami pun larut dalam diam. Rupanya dia tidak seberani yang aku kira. Keberaniannya masih memiliki batas. Paling tidak pada hal-hal yang menyangkut perasaan batin.

''Eh, aku sebenarnya tadi bersama kedua temanku. Mereka masuk ke ruang buku untuk mencari novel. Aku terhenti di sini karena melihatmu sedang serius membaca buku,'' kata Fiya menjawab pertanyaanku yang tadi. Wajahnya masih menyisakan rona kemerahan. Tapi suaranya sudah terdengar ceria kembali.

''Maafkan aku ya Ning. Aku tadi memang khilaf,'' Mala tiba-tiba sudah berada di dekat kami. Tangannya menjulur ke arah Ning Fiya, meminta maaf. Tapi wajahnya tetap ditekuk. Pasti permohonan maaf itu atas permintaan Amir yang sudah duduk di kursi sebelahku. Kedua gadis itu kemudian saling memaafkan. Aku merasa tenang kembali.

Tak berapa lama kemudian bell tanda jam masuk berbunyi nyaring. Kami segera berkemas. Membereskan alat tulis. Dua orang cewek memanggil Fiya untuk segera masuk kelas. Kedua gadis itu mungkin temannya yang baru diceritakan tadi. Keduanya menenteng buku. Mungkin novel.

Aku sedang memakai sepatu ketika tiba-tiba Ning Fiya putri guruku itu berjalan mendekatiku.

''Yang tadi kamu serius kan?'' tanyanya sambil berdiri di depanku. Aku menengadahkan kepala. Raut wajahnya serius, tidak selengekan seperti tadi. Ujung jilbabnya yang menjuntai sampai ke dada bergerak lembut mendapat sentuhan angin.

Melihat Ning Fiya ada di dekatku, Amir dan Mala berjalan duluan meninggalkanku. Amir berdehem-dehem sambil terus melangkah. Dan aku masih terdiam. Merumuskan jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu.

“Apanya?” tanyaku, bingung memahami ucapannya.

“Tentang perasaanmu.”

''Aku dua rius malah,'' akhirnya aku menemukan jawaban. Kalimat guyon dan hiperbol  itu kubalut dengan wajah serius.

''Apa Cak? Aku hanya butuh satu saja. Tak sudi diduakan,'' sahut Fiya. Mimik seriusnya tampak imut di mataku.

''Ya, aku serius,'' jawabku kemudian. Perasaanku tiba-tiba terasa melayang. Antara bahagia dan takut.

"Apa kamu bisa membuktikannya?"

"Aku butuh restu dari orang tuamu untuk membuktikannya," jawabku setelah diam beberapa saat.

"Kamu sok dewasa," katanya dengan bibir manyun.

"Kalau kamu menganggapku belum dewasa seharusnya kamu tak memintaku untuk membuktikannya sekarang."

"Baiklah, akan kutunggu kebenaran ucapanmu nanti jika kamu sudah dewasa," katanya kemudian.

"Tapi, tumbuh dewasa pun tak akan mampu membuktikan kesungguhanku tanpa restu orang tuamu."

"Baiklah, karena ucapanmu mbulet, biarkan waktu mengajariku untuk memahamimu," gadis dengan tubuh semampai itu kemudian berlalu meninggalkanku.

"Ning," panggilku. Gadis itu menghentikan langkahnya. Memandangku dengan wajah keruh.

"Terima kasih sudah mau belajar memahamiku. Ana uhibbuki ," ucapku pelan. Karena suasana sudah sepi dapat kupastikan gadis itu dapat mendengar ucapanku yang lirih.

Dia kemudian melanjutkan langkahnya. Seulas senyum bahagia telah dibawanya pergi. Aku juga menyimpannya di dalam hati. Laci teraman dalam tubuhku. Ada perasaan senang yang menggenapi pagi yang cerah itu. Hari itulah dengan secara resmi cerita cinta monyet mengikat hati kami. Cerita yang akan berlanjut di kemudian hari.

🤸🤸🤸

Bersambung

Silahkan komen🙇

Romantika Alfiyah Ibnu MalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang