Sowan Kyai Mursyid(2)

2.2K 159 116
                                    

Aura kharismatik Kyai Mursyid sudah demikian terasa. Apalagi, sudah lima tahunan aku tidak sowan. Pikiranku semakin kemana-mana.

Dan benar, beberapa kejap kemudian gerbang pondok sudah tampak. Umi membangunkan Aisyah. Aku meminta sopir angkot untuk berhenti. Kami turun. Aku membawa satu karung rambutan. Setengah karung lagi dibawa umi, buat oleh-oleh teman-temanku. Masih adakah sisa-sisa temanku di sini selain Amir?

Rumah itu masih nampak seperti yang dahulu. Sebenarnya kalau mau, bisa saja Kyai Mursyid menyulap rumah ini menjadi istana, nyatanya tidak seperti itu yang dilakukannya. Rumah ini tetap bersahaja. Berdiri kokoh melawan jaman yang penuh dusta.

Setelah menunggu beberapa saat kami dipersilahkan masuk oleh seorang santri abdi dalem.

Waktu terus beranjak.

"Kapan datang?" tanya Kyai Mursyid ramah. Wajahnya yang sejuk meneduhkan batinku. Seketika dosa-dosa yang pernah kuperbuat menampakkan diri di pelupuk mata. Aku merasa begitu kotor di hadapannya yang suci.

"Hampir dua mingguan yang lalu Kyai," jawabku takzim.

"Sudah berapa tahun nggak ke sini kok sudah panjang jenggotnya?" tanya Kyai Mursyid berkelakar.

"Maaf Kyai, sudah sekitar lima tahun baru bisa sowan Kyai," jawabku malu-malu.

"Hmmm. Lama juga ya. Ayo diminum tehnya, monggo Bu Nyai. Ayo Nduk. Siapa ini namanya?" tanya guruku itu sambil menatap Aisyah.

"Dalem Aisyah Kyai," jawab Aisyah sopan.

"Sekolah kelas berapa?" tanya Kyai Mursyid lagi.

"Kelas dua belas Kyai," Aisyah pun menjawab.

Setelah itu ruangan sepi beberapa saat. Suasana hening membuatku ragu untuk memulai bicara, menyampaikan maksud tujuan kami. Sudah lima tahun berlalu, pasti Kyai sudah lupa dengan apa yang pernah diucapkannya padaku waktu itu. Tapi tentu saja itu bukan berarti hutangku telah lunas. Sementara itu Kyai Mursyid nampak tenang memandang ke luar jendela. Burung piaraannya berkicau riang di balik sangkar bambu.

"Maaf Kyai, kami ke sini selain untuk silaturohmi ada keperluan lain. Sebelumnya saya sebagai ibunya minta maaf yang sebesar-besarnya kepada Kyai dan seluruh keluarga dalem karena anak saya ini belum bisa menuntaskan tanggungan belajar walau waktu yang ditentukan sudah habis. Nah, kedatangan kami kesini ingin melunasi apa yang dahulu kami hutang. Dulu pas wisuda, Malik belum tuntas alfiyahnya Kyai. Dan mohon diijinkan sekarang Malik mau menuntaskannya," ucap umi panjang lebar.

Kyai Mursyid terdiam. Nampak olehku beliau sedang memikirkan sesuatu.

"Ngoten njih? Pondok ini semenjak mendiang almarhum Kyai Dim dulu memang sangat menekankan pada penguasaan kitab alfiyah," Kyai Mursyid mengambil jeda untuk bernafas. "Bahkan saya punya kisah yang unik saat masih mondok dulu," Kyai Mursyid menghentikan ucapannya lagi. Senyumnya merekah. Matanya yang tajam memandang ke arah luar dengan tatapan kosong. "Maukah kamu mendengarkannya?" tanyanya dengan suara bergetar. Nada suaranya yang berubah membuatku heran. Mungkin ada kenangan masa lalu yang begitu membekas dalam hidupnya.

''Dulu, ketika masih di pondok, saya punya seorang teman. Dia adalah santri yang hebat," ucap Kyai Mursyid, memulai cerita. "Seorang figur santri yang sangat patuh pada peraturan, penggila buku, maniak ro'an, dan kemampuan hafalan serta pemahaman kitab kuningnya tak perlu diragukan lagi. Akan tetapi, akhlaknya yang sangat santun menenggelamkan kecerdasannya itu. Maksud saya saking santunnya dia, kecerdasan dan penguasaan kitabnya masih kalah tenar dengan kesantunannya. Orang mengenalnya sebagai santri yang santun, bukan santri yang cerdas. Di kelasku dialah yang selalu menjadi bintangnya. Saya sekelas dengannya di sekolah serta di madrasah diniyah. Jadi, saya tau betul bagaimana keadaannya," dawuh Kyai Mursyid meyakinkan. Menantu Kyai Dim ini kemudian bernafas panjang menggambil jeda ceritanya. Mempersilahkan kami minum dan memakan sajian yang disuguhkan. Dan serta merta kuhentikan sapuan mataku ketika kulihat setoples chocolatos di depanku. Jantungku mulai berulah hanya karena teringat peristiwa itu. Jajan inilah biang keladi dari semuanya. Karena kerakusanku memakan jajan bocah ayu itulah hidupku jadi terjerat nestapa. Ya, cinta adalah nestapa. Karena ia menjebak manusia pada keinginan untuk memilikinya. Padahal tidak semua manusia ditakdirkan bisa bersanding dengan cintanya. Nestapa adalah buah dari keinginan yang tak sampai.

"Selain itu dia juga memiliki wajah yang tampan. Itulah kenapa pesonanya selalu mampu menyihir para wanita. Seperti lelaki, wanita pun pingin yang sempurna juga, hehe," lanjut Kyaiku ini. Kalimat terakhirnya membuatku tergelitik.

"Namun dia lahir dari rahim orang yang susah. Orang tuanya tergolong pas-pasan. Bahkan temanku itu harus jualan koran untuk menyadur hidupnya. Biaya hidup untuk mondok dan sekolah yang tidak sedikit itu tidak dapat tercukupi dengan hanya mengandalkan kiriman dari orang tuanya saja. Sehingga setiap hari dia harus bekerja. Iya, aku masih mengingatnya dengan baik, kerjaannya waktu itu mengantarkan koran ke rumah-rumah pelanggannya sebelum berangkat ke sekolah. Jaman itu sekolah masuknya masih agak siangan. Nggak seperti sekarang yang baru bangun saja sudah terdengar bel masuk," Kyai Mursyid terkekeh. Kami pun ikut-ikutan tertawa.

"Seiring berjalannya waktu kami semakin akrab. Jangan dikira aku akrab dengannya karena sama rajinnya seperti dia. Saya dulu suka malas-malasan. Maklum, masih muda. Anak muda itu memang Masyaallah godaannya. Fisik bagus. Nafsu besar. Fasilitas berbuat dosa seolah ada di kanan dan kirinya. Depan dan belakangnya. Maka dari itu kalau ada pemuda yang taat beribadah dan menjaga diri dari perbuatan dosa maka nanti di hari akhir dia akan mendapat tempat teduh dimana yang lain akan kepanasan. Sab'atun yudzilluhumullah yauma laa dzilla illa dzilluh. Baik, saya lanjutkan ceritanya ya?"

"Njih Kyai, monggo," jawabku takzim.

"Berbeda denganku, anak itu menggunakan hampir seluruh waktunya untuk belajar. Sering kali ketika malam datang aku menjumpainya sedang muthala'ah kitab, padahal temannya yang lain tertidur pulas. Aku mengagumi temanku itu. Walau aku tidak bisa menirunya,''

Kyai Mursyid kembali terdiam. kata-kata yang mengalir dari lisan beliau kembali terhenti. Beliau mendongakkan kepala ke awang-awang yang menggantung di atas langit-langit rumahnya. Terlihat sekali beliau begitu larut dengan masa lalunya. Mungkin teringat pada suatu kejadian yang sangat berkesan dalam hidupnya sehingga ceritanya itu berlanjut dalam diam. Aku ikut terdiam, larut dalam suasana yang diciptakan guruku itu. Umi dan Aisyah juga nampak sedang menunggu lanjutan ceritanya.

Ada rasa penasaran yang semakin menggodaku di balik cerita yang disampaikan Kyai Mursyid. Namun Beliau masih tetap diam hingga beberapa saat lamanya -membuat pikiranku sibuk menerka seperti apa ujung ceritanya ini.

Sementara itu matahari di luar sana semakin melesat jauh ke barat. Sinarnya yang memantul dari keramik teras rumah itu menyilaukan mata. Suasana yang sunyi membawaku ke dalam alam lamunan. Dan lamunanku terhenti ketika Kyai Mursyid tiba-tiba berdehem hendak memulai ceritanya kembali. Kupasang indera pendengaranku kuat-kuat, tak ingin ada satu kata pun yang luput dari pendengaranku.

Detik berikutnya aku sudah larut dalam cerita itu dengan khusuk.

* * *

Bersambung

Romantika Alfiyah Ibnu MalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang