Kabar dari Mala(2)

1.9K 143 20
                                    

Assalamualaikum wr. wb.

Aku tak tahu harus marah ataukah harus menangisi kepergianmu Mas. Kamu benar-benar telah menghilang ditelan bumi saat kami sangat membutuhkan sosok seorang lelaki.

Mas, umi tak henti-hentinya sakit-sakitan setelah kehilangan kontak denganmu Mas.

Tapi Allah memang tak pernah tidur. Kasih sayang-Nya tak pernah meninggalkan hamba yang sedang membutuhkan pertolongan. Alhamdulillah, atas bantuan Mas Amir dan Mbak Mala, umi bisa sembuh kembali dan Aisyah pun bisa melanjutkan sekolah SMA. Apakah Mas sudah tak peduli lagi sama nasib kami sehingga harus Mas Amir dan Mbak Mala yang menggantikan posisimu sebagai satu-satunya lelaki di keluarga ini?

Aisyah benci padamu Mas. Benci sekali. Tapi, rasa sayangku pada Mas melebihi perasaan benci itu. Kamu tetaplah kakak yang kurindui bagaimanapun perlakuanmu dan seberapa jauh pun kau meninggalkan kami.

Semoga Tuhan melindungimu dan kamu bisa segera pulang.

Aisyah, adikmu.

Assalamualaikum wr. wb.

Air mataku telah jatuh. Semoga aku tidak termasuk anak durhaka. Semoga ibuku masih memberikan ridhonya padaku. Semoga mereka baik-baik saja di kampung halaman sana.

Aku membuka surat dari Aisyah berikutnya. Telah kubaca sekilas. Ia berkisah tentang kesehariannya sekolah dan mengaji pada umi bersama santriwati lainnya. Tiba-tiba kekhusukanku membaca surat itu terganggu oleh suara ketukan di pintu kamar. Aku segera meletakkan surat itu tatkala pintu kamar berderit.

"Ada apa?" tanyaku pada seorang santri yang tak kuketahui namanya.

"Dicari seseorang di ruang tamu Ustadz," ucap santri itu. Aku segera memahami maksud anak itu tanpa bermaksud menginterogasinya lebih jauh. Kutanya pun mungkin juga tidak tahu.

Beberapa kejap kemudian aku kembali ke kamarku di komplek untu ganti baju.

"Tahu kopyah putihku Man?" tanyaku pada Zaman. Bocah itu menggeleng, kemudian melanjutkan kesibukannya menambal kitab.

"Diam-diam ternyata gus ya jenengan itu Kang? Berarti aku juga harus memanggil gus juga ini. Takut kuwalat," Zaman berbicara tiba-tiba. Dia melihat Amir memanggilku dengan panggilan Gus beberapa hari yang lalu.

"Gak usah heboh Man, aku ini bukan siapa-siapa."

Panggilan penghormatan itu membuatku tak nyaman. Usahaku menyembunyikan identitasku di sini terbongkar saat kedatangan Amir kemarin.

"Kenapa nggak mau mengakui nama besar abahmu Kang? Barangkali Kyai Bad akan memberikan HP-mu jika tahu ayahmu adalah seorang kyai. Masih ingin HP-mu kembali kan?"

"Aku ingin jadi diriku sendiri Man. Tak baik memakai nama ayah untuk menopang jati diri."

"Laisal fata man yakulu hadza abi-walakinnal fata man yakulu haa ana dzaa,"

"Pemuda sejati bukanlah yang mengatakan inilah ayahku, tetapi pemuda sejati adalah yang mengatakan inilah aku. Begitulah alfiyah bernasihat. Kau peganglah itu. Jangan membanggakan orang tua. Toh orang tuamu belum tentu bangga memiliki anak kamu. Dan jadilah dirimu sendiri. Jadilah orang besar walau tanpa melibatkan bayang-bayang ayahmu."

Aku ceramah sambil ganti baju. Zaman mendengarkan tausyiyahku sambil bersandar pada tembok.

"Kok mesti alfiyah Kang jenengan yang dipakai dalil?"

"Alfiyah itu kitab keramat Man. siapa yang hafal dan paham maka insaallah sukses belajarnya dan hidupnya."

"Hmmm. Kalau Ning Alfiyah itu Kang? Kau masih suka?" Tanya Zaman lagi.

Romantika Alfiyah Ibnu MalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang