Senandung Sedih Seorang Pemulung(1)

2.1K 139 9
                                    


''Siapa kamu? Berani-beraninya gembel mengotori acara ini!!''

''Aku diundang adikku untuk menghadiri lomba ini! Beri aku jalan! Biarkan aku masuk! Dia sangat mengharap kehadiranku. Sebentar lagi pasti gilirannya untuk naik ke panggung!!'' teriakku tak kalah lantang. Aku telah terpancing kata-kata menyebalkan security yang sok kuasa itu.

''Ha haa haa.... Dia tamu undangan Brow katanya!'' seorang security yang masih terlihat sangat muda itu menertawakanku sambil memandang ke arah temannya. Emosiku semakin terpancing.

''Hei kamu orang gila! Kamu bisa baca tulisan di depan gerbang itu gak hah??'' security itu membentakku sambil menunjuk papan bertuliskan PEMULUNG DILARANG MASUK!!! yang dipasang di badan pagar.

''Adikku menjadi salah satu peserta dalam lomba ini Pak. Mohon perkenankan aku untuk masuk. Aku ingin memberikan support kepadanya,'' aku mencoba dengan ucapan yang agak lebih sopan. Memelas agar diijinkan masuk.

''PEMULUNG DILARANG MASUK!!!'' Security yang dari tadi hanya diam itu tiba-tiba membentakku dengan suara yang sangat keras. Membuat kaget jantungku. Bentuk tubuhnya yang sangar meruntuhkan emosiku. Rasa marahku kini berubah menjadi rasa takut. Rasa sedih menjalar ke segenap perasaanku. ''Ya aku memang pemulung. Aku tidak punya hak untuk melihat penampilan adikku sendiri. Semoga kau menang dek. Mas akan mendoakanmu dari luar gerbang ini.''

Dua orang security itu tanpa ampun menyeret aku keluar gerbang. Tangannya yang kekar berotot dengan leluasa menggelandangku. Tubuhku terhuyung-huyung keluar. Ramai orang yang mengantarkan anaknya atau mungkin muridnya itu menatapku dengan sorot mata iba. Bisik-bisik dan senyum sinis meruntuhkan perasaanku. Langkah gontai kakiku mengajakku menuju sepeda pancalku yang masih menggendong keranjang sampah. Kendaraan bermesin pancalan kaki itu teronggok di tepi jalan. Beberapa saat yang lalu aku menggeletakkannya sembarangan karena aku tergesa-gesa menuju gedung sekolah tempat lomba pidato ini. Keadaan yang buru-buru membuatku tak mempedulikannya. Dan kini aku menghampirinya untuk minta maaf. Sepeda itu tersenyum melihatku mendekatinya lagi. Rupanya dia tadi tidak merestuiku. Dan beginilah akibatnya, aku dikeluarkan dari gedung sekolah mewah itu sebagai seorang yang terhina.

Sambil berjalan menuju sepeda itu aku menyalahkan diri sendiri, mengapa juga tadi aku tidak membawa baju ganti sekalian? Kenapa aku bisa sebodoh ini? Tapi memang apa yang kualami hari ini jauh dari prediksiku. Siapa sangka aku akan bertemu dengan Kyaiku? Siapa kira aku akan bertemu dengan Ning Fiya? Siapa tahu aku akan mendapat kitab Ihya'? Hari ini memang penuh kejutan, tapi juga menggelisahkan.

Aku tidak sempat pulang ke pondok untuk ganti baju dengan pakaian yang layak. Setidaknya yang membuat orang tidak menyebutku sebagai pemulung. Pertemuanku dengan Kyai Mursyid dan anak-anaknya tadi memang menyita waktuku sehingga aku tidak sempat lagi untuk pulang ganti baju ke pondok. Pertemuan yang memupus harapanku itu akan menjadi sejarah dalam kehidupanku. Dan kitab Ihya' ini akan menjadi kenangan tak terlupakan dalam hidupku.

Di samping gedung MIN 2 itu, sebuah masjid berdiri dengan begitu gagahnya. Sebentar kemudian terdengar suara adzan berkumandang dari corong-corong speaker yang terpasang di atas kubah.

''Hayya 'alas sholaah,'' ajakan sholat itu menentramkan hatiku. Musholla yang dikelilingi pohon jambu biji itu menawarkan kesejukan ke dalam qalbu.

''Hayya 'alal falaah,'' suara muadzin bergeletar ke sudut-sudut bangunan. Ajakan untuk menjemput kemenangan itu mengingatkanku pada kekalahan demi kekalahan yang menderaku. Diam-diam bayangan wajah Alfiyah membuat dadaku terasa sesak.

''Allahu Akbar-Allahu Akbar,'' suara takbir itu membangkitkan kesadaranku. Kesadaran bahwa aku memiliki Tuhan Yang Maha Besar. Yang tiada satu pun mengungguli kebesarannya. Suara takbir itu menyadarkanku bahwa aku ini sangatlah kecil. Pun demikian dengan hidup yang aku jalani ini, hanya kecil saja. Lalu mengapa pula aku harus merasa sedih?

* * *

''Mbok yo ganti baju dulu kalau mau bepergian Le? Apa kamu terlalu sibuk dengan pekerjaanmu itu? Di tempat yang seramai ini mbok yo tau diri. Ajine diri soko lati, ajine rogo soko busono. Orang menilai dari cara kita berpakaian,'' Umi berpetuah seusai melihat penampilan Aisyah. Amarahnya membuatku merasa begitu diperhatikan.

''Tadi aku bertemu Kyai Mursyid Mi,'' ucapku pelan-pelan, membelokkan arah pembicaraan.

''Lho kan sudah sewajarnya to kalau kamu bertemu Kyai. Wong kamu memang tinggal di pesantrennya?''

''Aku bertemu beliau di jalan Mi. Sewaktu aku mengambil rongsokan di salah satu toko langgananku. Sebenarnya aku sudah menyembunyikan diri agar beliau tidak melihatku. Tapi Gus Fariq, anak bungsunya tetap mampu melihatku. Dengan suara lantang ia memanggilku. Menyadari keberadaanku, Kyai Mursyid pun juga ikut memanggilku. Kemudian aku diajak makan bersama."

"Tau nggak Mi, kitab yang baru beliau beli untuk Ning Alfiyah itu diberikan kepadaku. Aku sangat bingung bagaimana harus bersikap. Walaupun kitab itu sudah aku idam-idamkan sejak lama, akan tetapi aku tetap tidak enak menerimanya,'' kataku sambil sesekali menatap wajah umi. Aku ingin tahu apa pendapatnya.

''Ya diterima saja nggak masalah to Le. Mungkin saja itu membawa berkah. Asal digunakan untuk mengaji yang benar.''

''Iya Mi,'' jawabku singkat. Aku kurang puas dengan jawaban umi itu.

''Ning Alfiyah itu siapa Mas?'' tanya Aisyah.

''Dia putri kedua Kyai Mursyid, kakak dari Gus Fariq. Kenapa?''

''Dia cantik ya Mas?'' tanya Aisyah manja. Kusapu kepalanya.

''Kok kamu tahu Is?''

* * *

Bersambung

Romantika Alfiyah Ibnu MalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang