Sebuah Pertemuan(1)

1.9K 115 0
                                    

Berbagai macam pertanyaan menjejali pikiranku. Rasa penasaranku membuat kakiku melangkah semakin cepat. Bahkan seragam putih abu-abu- ku pun belum kupakai. Sambil melangkah pikiranku sibuk menerka siapa yang datang menemuiku sepagi ini. Aku baru saja mandi dan sudah ada tamu yang mencariku.

Tak berapa lama kemudian aku sudah tiba di ruang tamu santri. Wajah imut Aisyah segera mengagetkanku. Dia mengenakan pakaian putih-merah seragam SD-nya. Duduk di sampingnya seorang ibu-ibu berseragam korpri. Pastinya dia adalah gurunya. Tapi mengapa mereka ke mari? Aku benar-benar tidak bisa menerka angin apa yang membawa mereka datang ke mari.

Aisyah tersenyum manis sekali memandang ke arahku. Melihatnya tersenyum ramah membuatku bahagia.

''Ada apa sampai nyusul Mas ke sini Is?'' tanyaku penuh penasaran. Aku memeluknya erat-erat. Kesibukan sehari-hari telah membuatku lupa akan rasa rinduku ini.

''Umi tidak ikut Is?'' kususul pertanyaan berikutnya tanpa menunggunya menjawab pertanyaanku yang pertama.

''Nggak Mas.''

"Sibuk melayani pesanan jahitan ibu-ibu," lanjutnya.

"Ramai yang jahit ke umi?" tanyaku lagi. Kalau usaha yang dirintis umi itu lancar alangkah senangnya aku.

"Ya Lumayan Mas. Tapi kemarin sempat ada masalah. Ada pesanan yang tidak sesuai gara-gara mbak-mbak santri yang ikut jahit," Aisyah berbicara dengan entengnya. Dadaku tiba-tiba terasa terhimpit. Bayang-bayang wajah umi yang sedih hadir di pelupuk mata. "Dia itu sampai ngomong nggak sopan di depan umi lho Mas!"

"Jadi, umi memberikan ganti rugi?" tanyaku tak sabar.

"Untung saja umi masih bisa memperbaikinya. Aku juga ikut bantu umi lho Mas!" wajah sombong Aisyah keluar. Kucubit pipinya seraya berkata, ''Iya? Syukurlah. Sekarang Aisyah sudah gede. Sudah pinter bantu-bantu umi. Pokoknya adikku ini tambah cantik deh,'' Pujiku jujur. Aisyah tertawa.

Di belakangnya, ibu yang memakai seragam korpri itu tersenyum kepadaku. Aku menelangkupkan kedua telapak tangan di depan dada. Tersenyum menyapanya.

''Apa Ibu ini gurunya Aisyah?''

''Iya Mas. Saya gurunya. Kebetulan sekali saya ditugasi kepala sekolah untuk mengantarkan Aisyah daftar lomba pidato minggu depan.''

''Jadi kamu mau ikut lomba Is?'' aku bertanya kepada Aisyah.

''Iya Mas. Doakan Ais ya?''

"Wah-wah pinter pidato ternyata. Pasti lah kalau doa itu."

"Oh iya. Ini Mas ada titipan dari umi." Aisyah mengulurkan amplop tebal kepadaku. "Umi tau kok kalau Mas bilang dapat beasiswa itu bohong." Aku terkejut. Dari mana umi tahu? "Mas berbohong pada umi agar umi tidak sedih kan?'' Pertanyaan Aisyah membuatku salah tingkah.

''Dari mana umi tau begitu? Mas nggak bohong kok.'' Aku mencoba mengelak.

''Sudah lah Mas. Umi sudah tau semuanya kok. Beberapa waktu yang lalu Mas Rama datang ke rumah. Dia bercerita kalau bertemu Mas.'' Rasa kaget membuat tenggorokanku semakin tercekat. Rasanya tak ada gunanya lagi aku menutupi pekerjaanku. Perasaan sedih tiba-tiba mendera benakku membayangkan betapa sedihnya umi mengetahui diriku menjadi tukang rongsokan. Tukang sampah. Ingatanku kemudian melayang ke beberapa bulan yang lalu. Aku memang bertemu dengan Rama saat itu. Ketika itu aku baru pulang dari menjual rongsokan. Pasti setelah itu ia bercerita pada umi di rumah ketika pulang kampung.

''Di mana lombanya Is?'' Aku mengalihkan pembicaraan. Gurunya Aisyah menyahut pertanyaanku.

''Di MIN 2 Malang Mas. Nak Aisyah ini hebat sekali lho. Padahal dia masih duduk di bangku kelas dua tapi sudah bisa mengalahkan anak kelas lima dalam perlombaan tingkat sekolah kemarin. Jadi Aisyah mewakili MI NU untuk berkiprah dalam lomba pidato dalam rangka memperingati Isra' Mi'raj di MIN 2 Malang. Dalam event ini MIN 2 Malang mengadakan lomba dengan peserta dari Malang dan Blitar.'' Ibu guru yang tubuhnya agak melar itu dengan semangatnya menjelaskan lomba yang akan diikuti Aisyah.

Romantika Alfiyah Ibnu MalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang