Tanah Rantau(2)

1.8K 132 0
                                    

HP-ku terus bergetar. Bunyi pesan masuk tak henti-hentinya mengusik ketenanganku. Sudah dua hari ini aku memang tidak masuk kuliah. Dan hari ini aku bertekad menghentikan toleransiku memanjakan kemalasan ini. Aku mulai mengulang ayat-demi ayat untuk menambah hafalan. Dan tekad itu seketika runtuh ketika sebuah pesan WA masuk. Nomor asing itu memancing rasa penasaranku. Foto profilnya membuat dadaku tersedak.

"Asslmkum. Pripun kabare Cak?" bunyi pesan itu. Aku terlanjur membuka pesannya. Dan kini aku disibukkan bagaimana aku harus memberinya jawaban. Butuh waktu lama untukku berpikir.

"Waalaikumslm. Siapa ya?" jawabku penuh basa-basi.

"Sdah lupa samaku? " balasnya.
Pikiranku kalut.

"Ning?" aku membalas.

Lama dia tak membalas. Aku sudah meletakkan qur'anku karena menunggu balasannya. Namun hingga hampir satu jam dia tak membalas. Aku semakin gelisah. Aku telah kembali tersandra oleh perasaannya. Satu tahun ini aku telah berhasil melupakannya. Hafalan qur'anku bisa dibilang cukup lancar. Mungkin tinggal menunggu satu tahun lagi akan selesai. Tapi, kehadirannya di kota ini adalah genderang perang bagi kecamuk hatiku.


* * *

keesokan harinya HP-ku berdering setelah usai pengajian pagi. Kulihat Ning Fiya yang menelfon. Aku kebingungan bagaimana harus bersikap. Dan aku belum mengangkatnya hingga panggilan itu berakhir. Pesan WA-nya muncul di layar pop up.

"maf smlam hp q off." Tulisnya singkat. Kupelototi layar HP demi mengundang inspirasi jawaban.

"Siapa Kang, kok nggak diangkat telponnya?" tanya Arju, teman sekamarku.

"Teman Kang," jawabku gelagapan. Seniorku itu memergokiku sedang memandangi poto profil Ning Fiya. Kang Arju berlalu sambil tersenyum. Aku kemudian keluar kamar menuju jemuran.
Setelah menemukan tempat nyaman; pojokan yang terlindungi jemuran menjuntai-juntai aku segera mencari nomor kontak Amir kemudian memanggilnya. Hingga beberapa saat telponku belum juga diangkat.

Di atas sana langit pagi sedang cerah. Aku membayangkan masa-masa ketika masih ada di Malang dahulu. Ketika hati sedang resah biasanya aku naik ke loteng atau menara untuk menikmati sajian alam yang menyejukkan; memandang ke arah barat pada hamparan gunung putri tidur yang indah. Atau memandang ke arah timur tempat bersemayamnya Mahameru yang gagah. Atau ke arah utara dimana gunung Arjuna berkuasa. Bayangan teman-teman dan kenangan di sana melambai-lambai dalam ingatan.

"Hoi, ada apa Gus?" suara di seberang telpon mengagetkanku.

"Haloo halo. Asalamualaikum," teriakku.

"Salam. Lapo? Belum seminggu berpisah masak sudah kangen?" sambung Amir disertai suara cengengesan.

"Akhir-akhir ini kamu sering membuatku kangen Mir."

"Sini. Ngopi hehe. Lagi ngapain?"

"Aku curhat yo?"

"Curhat opo maneh? Masalah bisnis insaallah kita tetep bisa dapat untung. Nggak usah bingung masalah rizki. Gusti Allah sugih."

"Ini bukan masalah kekayaan. Ini masalah lain."

"Apa? Masalah jodoh?"

"Macam dukun saja Kau Mir?" dia terbahak. "Tau nggak kalau Ning Fiya sekarang jadi adik tingkatku di UIN?"

"Apa?" tanyanya seolah tak percaya. "Dia kuliah ke Jogja juga?"

"Jadi kau memang tidak tahu sebelumnya?"

"Tak tahulah. Kalau tau pasti kau sudah kukabari bro. Terus gimana? Kuncup-kuncup sudah mulai bersemi kembali kah?"

"Benar. Kuncup-kuncup gelisah sudah menghunjamkan akar-akarnya. Membuahkan rasa bingung yang cukup lebat," imbuhku.

"Sudah hilang bibit cinta yang kau bawa dari Malang dulu itu?"

"Masih banyak. Dan kini sudah tumbuh subur tak terkendali. Memakan ayat-ayat yang kuhafali setiap hari," hmm. Aku keceplosan. Lupa bahwa aku harus merahasiakan kegiatan tahfidanku pada teman-temanku di Malang. Semoga dia tidak paham.

"Lalu apa yang kau bingungkan?"

"Aku tidak ingin durhaka pada guruku sendiri dengan jalan merusak perjodohan yang sudah direncanakan pada Ning Fiya. Barusan dia telpon tapi tidak kuangkat," respon yang kutunggu dari karibku di ujung telpon belum juga kunjung datang.

"Bagaimana Mir menurutmu?"
Amir terdiam beberapa saat. "Kalau kamu lebih memilih ridho Kyai ya sebaiknya kau ajak dia omong baik-baik, bagaimana kehendak hatimu sebenarnya. Dari pada dia terlunta-lunta. Kan mending kau juga mengalaminya. Jangan lupa nanti ketika hadir di pernikahannya nyanyio lagu kandasss," aku terpaku sendiri. Memandangi jemuran yang beterbangan diterpa angin tanpa berkehendak untuk mengambilinya. Aku membiarkan suara Amir yang terkekeh-kekeh tanpa selera. Dia memang sudah terbiasa mengajakku menertawakan hal-hal serius agar pikiran tak terlalu tegang. Tapi kali ini tawanya tak cukup mampu untuk menawarkan gundahku.

Aku mengakhiri panggilan tanpa mengucap salam.

Dan panggilan Ning Fiya datang lagi. Wajahnya yang cantik menyembul dalam layar HP-ku. Saling cinta saja ternyata tak cukup membuat manusia merasa bahagia, dengusku lirih. Aku menguatkan diri mengangkat telponnya.

"Asalamualaikum Ning," sapaku penuh gemetar.

"Waalaikum salam," balasnya dengan suara ceria. Aku semakin cemas. Mengalirlah kemudian suaranya yang lembut mengabarkan bagaimana pondoknya melarang mengaktifkan HP di malam hari agar pengajian bisa lancar dan sebagainya dan seterusnya. Aku berusaha mengimbangi ucapannya yang menyiratkan kerinduan.

"Kamu punya waktu pagi ini Ning? Aku ingin bicara sesuatu," ucapku memberanikan diri. Kuucapkan keinginanku untuk bersua dan membicarakan perihal hubungan kami. Akhirnya kami sepakat bertemu di warung makan.

"Mau kemana Kang kok dandan ganteng banget?" celoteh Zaman yang melihatku sedang bersisir di depan cermin. Aku menimpalinya dengan senyum tak semangat.

* * *

Bersambung

Romantika Alfiyah Ibnu MalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang