Sebuah Pertemuan(2)

1.9K 122 0
                                    

Kardus bekas itu sampai terjatuh karena pandangan mataku yang tak sengaja melihat seseorang di seberang jalan sana. Aku segera gugup. Tanganku tiba-tiba gemetar, seperti dikerumuni beribu-ribu semut.

Dia baru saja menyeberang jalan, gadis anggun itu. Jilbab warna hijau daun sempurna membalut auratnya. Gadis itu telah tumbuh menjadi remaja, dia semakin cantik. Masihkah dia menerimaku jika dia melihatku berpakaian seperti ini? Dan apakah abahnya mau memerimaku? Gadis seperti dia pastilah sudah dijodohkan dengan seorang gus putra kyai besar yang sekufu dengannya. Kecamuk pertanyaan-pertanyaan itu semakin meresahkanku.

Meskipun keinginanku untuk berlama-lama menatap gadis itu begitu kuat, akan tetapi aku tidak berani memandangnya terlau lama karena ternyata dia bersama dengan abahnya, Kyai Mursyid. Di belakangnya turut pula adik lelakinya yang dulu pernah aku mintai tolong mengantar surat untuk kakaknya itu. Gus Fariq itu kini telah menapaki masa remaja. Walau masih duduk di bangku SD tapi tubuh bongsornya tampak membuatnya kelihatan seperti orang dewasa. Ketiga anak dan bapak itu aku pandangi dari jarak yang sebenarnya tidak terlalu jauh, tapi karena terhalang kendaraan yang lalu-lalang di jalan membuat jarak kami seperti jauh dan pandangan mataku tak sempurna melihatnya. Mataku terus mengikuti langkah mereka. Aku tercekat saat tiba-tiba melihat Gus Fariq menoleh ke arahku. Celakanya lagi dia mengenaliku walau aku telah membenamkan topi ke kepalaku. Bungsu Kyai Mursyid itu memanggil namaku dengan suara setengah berteriak. Aku tak mungkin melarikan diri karena telah tertangkap basah oleh ketiga pasang mata pemilik pesantrenku itu.

Aku kebingungan untuk menjawab panggilan Gus Fariq. Lalu -lalang kendaraan pasti akan menghalangi suaraku jika aku hanya menjawabnya dengan suara pelan. Jika aku harus berteriak rasanya tidak sopan menilik Kyai Mursyid ada di sampingnya. Seorang santri tak pantas berterik-teriak kepada gurunya. Untuk menyalaminya rasanya juga tidak tepat karena kendaraan tak henti-hentinya melintas di jalan membuat jarak kami seperti berkilo-kilo meter jauhnya. Pakaianku yang lusuh dan kotor membuatku semakin salah tingkah. Keluarga ndalem itu tak kunjung melepaskan pandangan matanya dariku. Aku dilanda kebingungan yang membuatku tak tahu harus berbuat apa. Tapi lambaian tangan Kyai Mursyid kemudian membuatku mau tak mau harus menemuinya. Aku harus melawan rasa malu sekaligus grogi untuk mendekat kepada guru yang sangat aku hormati itu. Putrinya yang kini menjelma menjadi bidadari itu semakin membuatku grogi.

Dengan perasaan malu serta sungkan akhirnya aku memaksakan diri untuk menyeberang jalan. Seandainya Ning Fiya tak ada di situ pasti rasa malu itu tak akan menyiksaku. Berpakaian bak pemulung di depan Gus Fariq seperti ini sudah biasa. Kyai Mursyid juga pernah melihatku saat akan berangkat mengambil rongsokan. Beliau malah pernah mendoakan keberkahan kepadaku. Tapi berpakaian seperti ini adalah yang pertama kalinya di depan Ning Fiya, gadis yang aku puja. Aku tidak mungkin menutupi diri dari keadaan yang sebenarnya ini darinya.

Aku segera mencium telapak tangan Kyai Mursyid ketika telah berada di hadapannya.

Kemudian aku menyalami Gus Fariq. Anak itu segera menarik tangannya ketika aku berusaha untuk menciumnya. Dia kemudian tersenyum mengakrabiku. Setelah itu hatiku berdebar-debar. Aku telah berhadap-hadapan dengan Ning Fiya. Dari busananya yang indah menyeruak bau wangi. Paras yang ayu itu semakin mempesona dengan pandangan teduh matanya. Sorot matanya berkilat-kilat penuh kharisma. Gadis itu menganggukkan kepala sambil memberiku senyum. Aku mencoba bertahan agar tetap tegak berdiri. Melawan gugup. Dan aku semakin merasa ciut nyali untuk memandangnya. Namun rasa rindu yang terpendam sekian lama memaksakan keberanianku untuk tetap menatapnya. Gadis itu kemudian menyapaku,

''Bagaimana kabarnya Cak Malik?''

''Alhamdulillah Ning, baik-baik saja. Ning sendiri?'' tanyaku semangat.

''Alhamdulillah aku juga baik-baik saja.''

Rasa bahagia dapat memandangnya melambungkan hayalku. Tapi aku segera ingat di mana posisiku kini. Keberadaan Kyai Mursyid yang begitu berwibawa di sampingku itu melenyapkan kelebat nafsuku.

Romantika Alfiyah Ibnu MalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang