Senyuman Maya(2)

1.8K 129 1
                                    

''Iya Mas. Tapi aku cuma numpang tidur saja sebenarnya di pondok. Terpaksa karena perintah ortu,'' jawabku agak ragu. Entah ucapanku ini jujur atau tidak.

''Antum rendah hati sekali akhi. Subhanallah.''

Aku merasa ia berlebihan. Mungkin maksudnya kusnudzon. Ah sudahlah.

Tak berapa lama kemudian Mas Hakim, pemuda berjenggot itu; memulai kajian. Ia membahas tentang runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani yang terjadi pada 3 Maret 1924 itu. Kajian sejarah tentang penggulingan kekuasaan Sultan Hamid II itu begitu mencekam sekaligus memukau. Tatkala politik berbicara, agama terombang -ambing. Demi memuasi nafsu kekuasaan, semua doktrin keagamaan yang menyejukkan hati itu seolah hilang. Dengan tanpa disadari, peradaban bangsa yang dielu-elukan membuat nilai kebenaran terjungkir balikkan. Runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani itu menandai rontoknya kekuatan Islam. Suatu hal yang sangat disayangkan.

Setelah kajian selesai rumah kontrakan Lambang itu mulai sepi kembali.

"Malik, kamu dicari Maya di teras," kata Rius. Setelah memberitahuku ia ngobrol dengan Lambang. Aku beranjak ke teras mencari Maya.

"Lik, antar aku pulang ya. Aku tadi ke sini bareng Prita. Sekarang ia tidak bisa mengantarku pulang karena ibunya barusan mencarinya. Kamu tahu kan kalau ibunya itu galak banget. Prita bisa dimarahi kalau sampai pulang telat," ucapnya memelas.

"Santai saja kamu biar kuantar. Aku juga tidak sedang ada kegiatan." Tiba-tiba aku merasa senang. Sebagai bukti kesanggupanku mengantarnya aku memberinya seulas senyum. Ia pun membalas senyumanku sambil mengangguk. Ia tampak anggun sekali malam ini.

"Kamu nggak lapar Lik?" tanyanya ketika sedang di tengah perjalanan.

"Nggak. Emang kamu lapar?" tanyaku.

"Kamu tidak keberatan jika kita mampir tempat makan sebentar? Aku lapar sekali. Dari tadi siang aku belum makan."

"Tentu saja tidak. Sebenarnya aku juga belum makan dari tadi. Baik, kita mampir tempat makan dulu."

Kami mampir warung makan mie yang lagi ngetrend di Malang. Maya makan lahap sekali. Makanan pedas itu membuatnya mendesis kepedasan, bibirnya merah membara. Bulir-bulir keringat membasahi keningnya. Tiba-tiba ia menatapku saat aku sedang memandangi wajahnya. Aku salah tingkah.

"Kok nggak makan?" tanyanya.

"Memandangmu sudah membuatku kenyang," jawabku sambil meraih sendok.

"Mau makan aja nggombal dulu. Yaudah sini biar kumakan saja pesananmu," balasnya sambil memamerkan wajah marah. Aku tergelak. Dia cemberut manja.

"Gimana ya Lik. Aku masih sering bolong-bolong solatnya. Suka kesiangan kalau pagi. Jadi nggak sempet solat subuh," ucapnya di sela-sela makan.

Aku diam sebentar mencari jawaban. Dan aku bingung harus menjawab bagaimana karena aku pun juga sering bolong solat. "Menurutku memang harus bertahap Ya dalam melakukan kebaikan itu. Namanya saja berproses. Dimulai dari yang kecil-kecil dulu. Sebisanya lah, menurutku sih," jawabku tak yakin.

Kulihat ia mengangguk-angguk. Kami melanjutkan makan. Tidak berapa lama kemudian kami sudah selesai makan. Kami berhenti di sebuah rumah megah namun terlihat tidak begitu terurus. Ia turun di depan gerbang. Tiba-tiba ia menciumku setelah melepas helm sambil mengucap terima kasih. Ia berjalan cepat-cepat menuju ke dalam rumah. Aku menatapnya dengan perasaan aneh. Sebelum membuka pintu ia terlebih dahulu melambaikan tangan ke arahku. Senyum indahnya melepas kepergianku.

Saat sampai di rumah kontrakan Lambang ternyata dia sudah tertidur. Teman Rohis yang menampung pengungsianku dari pondok itu mendengkur lembut. Ya, aku sudah sering sekali tidak pulang ke pondok sekarang. Awalnya aku tidur di sini untuk membahas kegiatan Rohis atau diskusi dan kajian keislaman. Aku juga sering mengerjakan tugas sekolah di sini. Lama kelamaan aku semakin kerasan dan enggan untuk pulang ke pesantren. Selain itu aku ingin membuktikan pada pengurus pondok bahwa hukuman yang tak adil itu tidak membuatku jera. Bahkan sebaliknya, hukuman yang keliru itu punya dampak yang negatif terhadap siapapun, termasuk aku.

Hingga larut malam aku sama sekali belum mengantuk. Senyum gadis itu terbayang-bayang di benakku. Malam itu menjadi saksi bagaimana ciuman Maya itu membuatku sangat gelisah. Aku baru tidur menjelang pagi datang. Lambang membangunkanku dengan susah payah saat waktu subuh tiba, seperti biasa.

* * *

Bersambung

Romantika Alfiyah Ibnu MalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang