Filosofi Kopi(1)

2.3K 134 14
                                    

Tiga setengah tahun kemudian.

Langkahku cepat meninggalkan kampus. Di-acc-nya bab dua skripsiku ternyata mampu menyumbang energi luar biasa dalam tubuhku. Sepeda pancal yang sudah menemaniku melalui hari-hariku selama di kota gudeg ini sudah menanti. Aku bergegas menghampirinya.

"Ustadz!" teriak seseorang di belakangku. Aku tidak merasa terpanggil karena aku tak merasa jadi ustadz. Aku sempatkan menoleh karena suara itu teramat lantang di belakangku.

"Tunggu ustadz," volum suara itu mulai menurun. Beberapa orang mahasiswi nampak mendekatiku. Ternyata panggilan itu diarahkan padaku.
Aku mencoba mengenali mereka. Tapi aku memang tidak mengenali mereka.

"Kalian bicara sama saya?" tanyaku penuh ragu.

"Nggih Ustadz. Bolehkah kami bicara sebentar?" tanya seorang gadis berjilbab biru. Wajahnya dipenuhi jerawat. Tapi memang ada manis-manisnya.

"Kalian panggil aku ustadz? Itu bukan namaku."

"Iya, maaf Tadz. Kami santri jenengan di pondok," jawab gadis di sampingnya. Gadis bertahi lalat di pipi itu kemudian menunduk.

Aku terdiam sambil memahami keadaan. "Tolong jangan panggil aku ustadz kalau di kampus ya Mbak? Kalian tahu namaku bukan?" mereka nampak berpikir. Kemudian mereka mengangguk.

"Begini Ustadz, eh Mas. Hmm,,,,,,,,, kami dari pengurus IPNU mau mengadakan acara," kata gadis manis berjerawat. Aku diam tak menanggapi. "Kami sudah menghubungi Ustadz Imron. Tapi beliau bilang tak bisa jadi pemateri dan menyarankan jenengan yang jadi pematerinya."

"Wah jadi pemateri apa ini?"

"Ini Ustadz. Kami ingin mengangkat tema literasi pesantren dalam kaitannya dengan bahasa Arab," sambungnya lagi.

"Wah ndak bisa ini saya. Skripsi aja nggak kelar-kelar Mbak. Masa saya mau ngisi materi bahasa Arab. Apa kalian nggak salah alamat ini Mbak?" tanyaku lagi.

"Kami menjalankan amanat dari Ustadz Imron Mas," Si Tahi lalat ikut nimbrung. Dua cewek lainnya hanya diam.

"Tapi mbok ya dipikir-pikir dulu Mbak. Bisa-bisa malah mengecewakan para peserta lho nanti?"

"Kami tahu siapa Ustadz Malik ini. Bahasa jenengan ketika menjelaskan kitab ibnu aqil sangat indah dan jelas. Kami pasti tidak salah. Apalagi ini juga rekomendasi Ustadz Imron. Beliau juga bercerita tentang hasil terjemahan novel-novel arab jenengan bersama beliau. Katanya pula, jenengan juga sudah punya karya terjemahan sendiri. Sekali lagi kami mohon jenengan berkenan," Si Jerawat manis kian memelas. Ustadz Imron adalah dosen pembimbingku yang juga menantu Kyai Bad. Aku sangat menghormatinya. Aku masih ragu apakah harus mengiyakan permintaan itu ataukah menolaknya.

"Kapan acaranya Mbak?"

"Dua minggu lagi Mas. Bisa ya Mas?"

"Saya pikir-pikir dulu ya Mbak. Dua hari lagi insyaallah saya kabari."

"Baik Tadz. Boleh minta nomor HP-nya Tadz?"

"Wah, saya nggak punya HP Mbak. Dua hari lagi insaallah saya ke kampus menemui Ustadz Imron. Nanti temui saya di gazebo depan saja. Oh ya, nama kalian siapa?" tanyaku.

"Saya Era adik tingkat jenengan Tadz," jawab Si Manis sambil memamerkan senyum.

"Jadi kamu juga bahasa Arab? Hmm. Ok. Kalau kamu?" tanyaku pada Si Tahi lalat.

"Saya Sofi dari Mipa Mas," jawab gadis itu. Lagi-lagi dia menunduk kembali.

Tiba-tiba seorang gadis datang dan menyapa Era dengan ramah. Kami kemudian bersitatap. Dan saat itu jantungku berdebar tak terkendali. Dia pun nampak kaget. Begitu melihatku dia segera berpaling dan pura-pura sedang buru-buru. Ia pun pergi meninggalkan kami. Kedua gadis itu nampak heran. Dan dari kejauhan kulihat dia menghampiri seorang cowok. Langit yang sedang membiru seketika nampak mendung di mataku.

* * *

Ustadz Imron adalah pembimbing dua-ku. Lebih tepatnya beliau menjadi korektor bahasa dalam skripsiku. Selain itu menantu Kyai Bad itu adalah bosku dalam hal menerjemah novel-novel berbahasa arab.

Setelah memuji-muji bahasa dalam proposalku beberapa bulan yang lalu beliau mengajakku berlama-lama dalam diskusi yang cukup renyah tentang dunia sastra. Dan setelah ngobrol ngalor-ngidul itulah aku ditawarinya menerjemahkan beberapa bagian dari proyek penerjemahannya. Entah apa yang dilihatnya dari diriku yang sekedar mahasiswa kupu-kupu ini. Saat ini, rutinitas menerjemah itu menjebakku dalam kesibukan yang cukup membuatku terlena. Skripsi pun ngadat hingga kini. Terkapar di bab dua.

Di tengah-tengah kesibukanku menyiapkan materi untuk diskusi itu pikiranku sering tak fokus. Ingatanku mengulang-ulang kembali saat secara tak sengaja aku bertemu Fiya pada waktu berbicara dengan mahasiswi IPNU itu. Begitu terkejutnya dia karena melihatku waktu itu sampai gadis itu nampak gugup.

Setelah hp-ku disita Kyai Bad waktu aku masih semester tiga dulu memang bisa dibilang aku mampu melupakannya. Aku kembali bisa fokus pada Qur'anku. Bahkan hafalanku tinggal menyisakan beberapa lembar saja. Namun demikian, semenjak perubahanku itu nyaris aku kehilangan masa-masa indah saat kuliah. Tak ada lagi nongkrong-nongkrong di kafe atau touring ke tempat-tempat jauh. Sultan pun sudah tak seakrab dulu denganku. Bukan karena dia tahu aku pernah punya hubungan sama Ning Fiya. Memang Sultan juga pernah tersandra hatinya oleh putri kyaiku itu. Dia semakin berjarak dariku karena aku tak pernah mau diajaknya keluar.

Aku kembali resah membayangkan wajah itu. Boleh jadi lusa dia akan datang. Padahal dia adalah sosok di balik kegandrunganku pada kitab alfiyah yang mendasari bahasa arabku. Bagaimana aku akan menguraikan kisahku jika dia ada disana? Sampai di sini aku mulai menyesal mengiyakan permintaan itu. Haruskah kuurungkan ucapanku itu? Beginikah rasanya dilanda galau?

Ah, alangkah lemahnya aku jika sampai menyerah karena wanita. Aku tak mau jadi pecundang. Kakiku harus terus melangkah.

* * *

Bersambung

Romantika Alfiyah Ibnu MalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang