Gus Mursyid(1) [KH. Mursyidut Tamam's POV]

2.4K 160 66
                                    

Ning Zahra mencuri-curi pandang pada Abu. Padahal dari tadi aku yang memandanginya, dan alangkah malangnya aku -dia melirikku pun tidak. Si Abu yang mengacuhkannya malah menang banyak, dari tadi didekati sama bidadari itu. Mau ikut nimbrung diskusi mereka tapi sama sekali aku tak paham pelajaran fisika. Kenapa dari dulu aku tak menyukai ilmu-ilmu eksak seperti mereka? Ah, sudahlah. Memandangnya saja sudah cukup membuatku bahagia.

Kuteruskan berlama-lama memandang Ningku itu. Mumpung dia ada di depanku. Kami sedang ada tugas kelompok. Aku, Abu, dan Zahra satu kelompok. Mereka asyik berdiskusi sedangkan aku menjadi obat nyamuknya. Memastikan bahwa jalannya diskusi mereka tak ada halangan suatu apapun. Aku bisa meliriknya setiap waktu tanpa takut dicurigai yang macam-macam. Tapi melihat tingkah mereka berdua lama-kelamaan membuatku jengkel juga. Kulihat Ning Zahra memberikan senyumnya secara cuma-cuma pada Abu. Dan anak soleh itu malah pura-pura tak peduli. Diam mengacuhkannya. Sok cool banget dia.

Panasnya sinar mentari saat kami melangkah pulang dari sekolah tak sepanas hatiku. Bagaimana tidak panas jika orang yang kucintai tiba-tiba malah menembak teman karibku sendiri?

"Piye yo Gus, aku ditembak Ning e iki mau,,," tanya Abu dengan raut murung. Kupingku panas seketika. Tapi aku masih belum begitu yakin dengan apa yang kudengar.

"Tembak yokpo maksudmu Bu?" tanyaku.

"Ning e seneng karo aku. Arep tak tompo ki piye. Ora tak tompo ki yo piye. Tak tompo ki kok yo anake Kyaiku. Ora tak tompo ki aku yo seneng," gerutunya sambil terus berjalan melewati gang-gang sempit.

"Mending gak usah kon tompo Bu lak jareku. Abot. Abot tenan ki engko kon malahan," saranku. Ya, saranku memang sarat dengan muatan politis. Tapi setelah itu santer terdengar tentang hubungan asmara dalam diam antara Abu dan Ning Zahra. Dua orang yang terkenal di pondok. Satunya putri pengasuh, satunya terkenal karena kealimannya. Hatiku gerah. Hatiku resah, gelisah, sekaligus marah. Tapi harus bagaimana aku bersikap? entahlah.

Setelah kupikir-pikir mungkin sebaiknya aku bertindak, daripada sekedar meratapi api cemburu seperti ini. Masa-masa SMA memang menggelikan jika diingat. Aku mencari bagaimana cara untuk mendekatinya. Selama janur belum melengkung, selama itu pula masih halal menikung dan ditikung, pikirku. Pantang berputus asa sebelum ijab dan kabul diucapkan.

Suatu ketika aku tertangkap basah sedang mencuri pandang padanya. Sudah kepalang malu aku teruskan memandanginya sampai dia merasa malu sendiri karena selain kupandangi kuhujani juga dia dengan senyuman. Entah apa arti senyumnya, tapi yang jelas dia juga membalas senyumku. Dan senyumnya itu memberiku cukup keberanian untuk mendekatinya.

Lama waktu berselang. Setelah lulus SMA aku melanjutkan kuliah ke Jogjakarta sekaligus nyantri di sana. Abu, temanku itu melanjutkan mondok ke Kediri dua tahun berselang setelah lulus pondok. Orang tuanya tak mampu membiayainya kuliah.

Dan cerita itu luas beredar. Abu dan Ning Zahra ternyata telah saling mengikatkan janji untuk hidup bersama suatu saat nanti. Sebenarnya Abu tak berani mengajukan lamaran kepada orang tua Ning Zahra. Kharisma Kyai Dim terlalu besar untuk Abu yang hanya anak orang biasa. Namun Ning Zahra memaksa Abu untuk melamarnya. Cerita ini kuketahui kemudian.

Di biliknya, Abu menyimpan gelisahnya sendirian. Orang tuanya di Blitar telah memintanya pulang. Sedang dirinya masih menikmati kehidupannya sebagai santri. Dan gelisah itu semakin bertambah tatkala surat dari Ning Zahra datang menagih janjinya. Dia gelisah harus bagaimana menyikapinya. Bukan karena pesona Ning Zahra telah pudar, tapi karena keberanian memperjuangkan cintanya itu yang justru telah memudar. Semakin dia dewasa semakin dia sadar bahwa dia bukanlah siapa-siapa.

Setelah lama menimbang dan beristikhoroh, Abu memberanikan diri meminta pada orang tuanya untuk melamarkan Ning Zahra untuk dirinya. Bukannya senang. Sarifin, ayah Abu justru marah besar karena menganggap anaknya itu tak tahu adab. Tapi, tentu bukanlah hal sulit bagi Abu untuk memberi penjelasan sekaligus meyakinkan ayahnya itu. Orang selevel Abu tak akan kesulitan meyakinkan orang lain. Ilmu agamanya telah sangat mendalam. Selama di Kediri dia pun semakin mendalami laku zuhud. Dzohir dan batinnya telah terisi bisikan Ilahi. Semacam laa khoufun alaihim walaahum yahzanuun. Tak tersentuh oleh kegelisahan. Kalaupun dia tertimpa gelisah, itu tak akan sampai menenggelamkan jiwanya.

* * *

Bersambung

Romantika Alfiyah Ibnu MalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang