Air Mata Alfiyah(2)

1.8K 124 0
                                    

Setelah berziarah di makom pendiri pondok aku kembali ke kamar. Suasana sudah sepi. Teman-temanku pergi entah kemana. Setelah menyelimutkan sarung ke seluruh tubuh aku kembali meratapi pertemuanku tadi. Kepalaku terasa berat. Seperti lelaki bodoh, air mataku mengalir tak tertahan. Membasahi pipiku. Tangis gadis itu pagi tadi pun masih nampak jelas di pelupuk mata. Leherku seperti tercekik nestapa.

Aku bergerak bangun. Perutku yang belum terisi makanan semenjak pagi membuat tanganku gemetar. Setelah mendapatkan kitab Al Hikam yang kubawa jauh-jauh dari Malang aku kemudian membuka nasihat-nasihat Syaikh Ibnu Athoillah itu.

Terlalu meratapi cinta berarti tanda kurangnya cinta pada Tuhan.

Sakit cinta hanya dapat diobati dengan cinta.

Mengalihkan cinta pada Tuhan adalah obat cinta yang paling mujarab. Bahkan sanggup menyembuhkan penyakit kegelisahan lainnya.
Itu poin-poin yang kucoba simpulkan dari mutiara-mutiara hikmah ulama sufi itu.

Aku kembali merenung.

Hatiku yang masih kotor seperti ini apakah mampu menumbuhkam cinta pada ilahi?
Lalu haruskah aku menumbuhkan rasa cintaku pada Maya lagi untuk melupakan Ning Fiya? Kenapa aku belum juga membalas surat dari Maya itu jika aku masih mengharapkannya? Atau haruskah aku menanggapi PDKT teman-teman kampus itu?

Tapi umi sudah berpesan jauh hari agar aku tidak tergoda dengan gadis sini.
Hey, apa yang sedang kupikirkan ini? Memegang kitab bukannya bertadabbur malah menghayal. Keinginan untuk lanjut mutholaah kitab pun sirna. Dan setelah kitab Hikam kuletakkan kembali di atas dampar aku kembali merebahkan badan. Dengan berbantalkan buntalan pakaian kotor pikiranku mulai menerawang alam hayal. Pikiranku belum sanggup pergi dari wajah kalut Ning Fiya tadi pagi.

Tiba-tiba HP-ku di atas dampar bergetar. Ada panggilan. Ternyata Ning Fiya menelpon. Hatiku segera bingung antara pilihan membiarkannya ataukah mengangkatnya. Mungkinkah dia butuh pertolonganku? Bukankah dia masih baru tinggal di kota gudeg ini? Kalau dia tersesat bagaiamana?

Akhirnya aku mengangkat telpon itu.

"Halo, Asalamualaikum Ning?" sapaku.

"Waalaikumsalam," jawabnya singkat. Suaranya terhenti di situ hingga beberapa lama.

"Ada apa?" tanyaku, tak sanggup menahan penasaran. Sembari menanti jawabannya berkelebatlah pikiran-pikiran lain dalam kepalaku. Seharusnya setelah perbincangan tadi pagi aku sudah memutus komunikasi dengannya. Bukan agar putus tali silaturahmi akan tetapi lebih pada usaha untuk saling melupakan satu sama lain. Dengan masih menerima panggilannya seperti ini bukankah aku masih memberinya peluang untuk melanjutkan hubungan? Duh, tapi aku terlanjur mengangkat telponnya...

"Kamu..."

"Kenapa?" tanyaku setelah kami lama terdiam.

"Kamu menghindariku karena kamu telah menemukan gadis lain?" tanyanya dengan suara parau. Hatiku kembali trenyuh. Dan pikiranku mulai kemana-mana.

"Gadis siapa lagi? Aku tidak dekat dengan gadis siapapun di kota ini."

"Dengan gadis dari tempat lain?" tanyanya disertai tangis. Duh. Aku paling tak sanggup dengar suara tangisan wanita. Apalagi ini orang yang aku cintai. Anak Kyaiku sendiri pula.

"Apa maksudmu Ning?" aku kembali mengajukan tanya setelah menelan ludah dengan kasar.

"Gadis Tionghoa itu? Perkiraanku benar kan." suara tangisnya kian menjadi. Dan panggilanku tidak digubrisnya lagi. Telpon telah diakhiri. Malah tak ada pulsa telpon sama sekali di HP-ku. Sinyal di kamar tidak memungkinkan untuk melakukan panggilan WA.

Sampai malam tiba pikiranku tak juga lepas dari dirinya. Aku ingin berpisah dengan Fiya dalam keadaan yang saling mengikhlaskan, tidak dengan adanya pikiran tersakiti seperti ini. Dia adalah putri guruku. Aku harus sanggup meyakinkan bahwa aku menjauhinya semata-mata karena bentuk ketawadhuanku pada guru. Pada abahnya. Bukan karena aku memilih gadis lain seperti yang disangkanya.

Keesokan harinya aku mengayuh sepeda menuju kampus dengan sekuat tenaga. Aku harus mengajak Fiya ngomong empat mata sekali lagi. Biar kusampaikan semuanya agar ketidak pahaman ini berakhir. Sesampainya di kampus aku segera memarkir sepeda dan bergegas menuju gazebo, tempat dimana aku bisa memantau lalu-lalang mahasiswa dengan leluasa. Barangkali aku bisa menemukan Ning Fiya pagi ini. Jam kuliahku satu jam lagi. Aku harus memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Setiap mahasiswi yang lewat tak luput dari pandanganku. Aku harus menemuinya karena kemaren sore dia tak mau mengangkat telponku. Padahal aku sudah berkeliling mencari spot sinyal internet. Aku memang sedang bokek untuk membeli pulsa reguler.

Tepat setengah jam sebelum jam kuliahku mulai kulihat Ning Fiya berjalan beriringan dengan seorang cewek. Aku berlari mengejarnya.

"Tunggu sebentar Ning. Aku mau jelasin bentar aja," pintaku memelas.

"Maaf aku sudah telat masuk kuliah," jawabnya enteng. Dia kemudian mengajak temannya tadi melanjutkan perjalanan dengan langkah semakin cepat. Aku berdiri mematung menatapnya tak berdaya.

* * *

Bersambung

Romantika Alfiyah Ibnu MalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang