Sowan Kyai Mursyid(1)

2.3K 167 99
                                    

<Aku pulang nanti sore. Sampai jumpa di pondok, Gus>

Pesan WA Amir masuk membalas pertanyaanku. Aku segera menutup HP.

Aku kemudian melalar alfiyah dengan penuh konsentrasi, hampir sepanjang perjalanan. Aku tidak ingin menanggung malu dengan hafalan yang belum lancar di depan Kyai Mursyid nanti. Aisyah tidak lagi menggodaku karena kemarin aku telah memarahinya habis-habisan. Aku juga mengancamnya jika masih terus menggodaku.

Ternyata dengan menghafalkan alfiyah yang seribu bait ini membuatku lupa pada seorang Alfiyah yang pernah mewarnai masa laluku itu.
Benar memang kata Syaikh Ibnu Athoillah dalam al hikam itu, seseorang yang sedang jatuh cinta akan menjadi budak atas apa yang dicintainya. Aku pernah mengorbankan waktuku, hanya untuk melamunkan dia.

Kini aku semakin menyadari, tak sepatutnya bait-bait alfiyah yang berjumlah seribu itu kuberangus hanya karena seorang Alfiyah yang satu itu.

Mobil angkot terus melaju. Menyongsong kota masa laluku.

Aisyah tertidur bersandarkan pundak umi. Melihatnya mabuk hampir separuh perjalanan tadi membuatku kasihan juga. Kupijiti lehernya saat muntah-muntah tadi. Tapi kalau ingat kemarin masih juga ada sisa-sisa jengkel dalam diriku. Betapa tidak, tingkahnya yang jahil dan pandai bersandiwara membuatku sangat gemas.

"Kenapa sih Mas kok teriak-teriak panggil Aisyah terus? Mau ikut ngaji sini apa?" tanyanya kemarin sore. Sepulang dari memetik rambutan aku bergegas mencarinya untuk membuat perhitungan. Namun keberadaannya yang khusuk di depan umi sambil membalah kitab mau tak mau mengurungkan niatku untuk mendampratnya.

"Kenapa lagi Le?" tanya umi.

"Mboten Mi. Mau dengerin ngaji aja," jawabku sambil terus mendekat. Aku tak ingin terlihat bertengkar dengan Aisyah di depan Umi. Bisa dianggapnya belum dewasa aku nanti.
Mereka sedang duduk di ruangan terbuka sebelah dapur. Semacam taman keluarga. Di belakangnya pohon rambutan yang sedang berbuah lebat berayun-ayun karena tertiup angin. Walaupun dekat, tapi pohon-pohon itu terhalangi tembok dan harus melingkar lewat depan pondok putri untuk menuju ke sana.

Sampai pengajian berakhir aku masih tetap setia duduk di samping mereka. Umi segera beringsut meninggalkan kami usai ngaji karena harus mengecek jahitan yang dikerjakan oleh mbak- mbak santri. Aisyah hendak mengikuti langkah umi meninggalkanku sebelum akhirnya aku menahan tangannya.

"Apaan sih Mas? Aisy mau bantu Umi nih, lepasin ih!" teriaknya.

"Tidak akan. Sebelum kau mau mengaku salah dan janji nggak akan mengulanginya lagi," kataku tegas.

"Emangnya salah apa Aisyah Mas?" tanyanya, pura-pura tidak tahu.

"Sengaja kau permalukan Masmu ini di depan Fandra? Sudah salah nggak mau ngaku!" sentakku kasar.

"Lho lho Mas. Apa-apaan ini kok mempermalukan, maksudnya apa ya?"

"Nggak usah pura-pura. Kenapa tadi kamu meninggalkanku hah?"

"Ohhh itu. Tenang dulu, Aisyah bisa jelasin semuanya. Jadi tuh pas berangkat ke kebun aku tiba-tiba ingat habis salat ashar itu saatnya ngaji sama umi. Dan kebetulannya lagi kemudian jumpa sama Mbak Fandra. Cewek yang semalam Mas bicarain itu loh. Akhirnya aku minta tolong deh agar dia gantiin aku membantu Mas. Dan dengan didorong oleh keinginan luhur akhirnya aku beranjak pulang untuk ngaji. Bukankah kata Mas, istiqomah khoirun min alfi karomah? Istiqomah lebih baik dari seribu karomah?" jelasnya panjang lebar.

"Tapi janji adalah hutang, kamu janji mau bantu Mas kan?" balasku.

"Kan janji bisa dianulir misal terpaksa atau ada hal yang lebih urgen. Selain itu Aisyah sudah minta tolong sama Mbak Fandra kok. Dan, kukira masa depan Mas jauh lebih penting dari sekedar bantuanku, iya kan?"

"Masa depan apa maksudmu?" tanyaku semakin emosi.

"Sekarang kan Mas lagi jomblo, iya kan?? Siapa tau saat Mas liat Mbak Fandra Mas bisa melihat masa depan yang sakinah mawadah warohmah itu," jawab Aisyah sambil nyengir kuda.

"Keterlaluan kamu," ucapku sebal.

"Emangnya Mas udah omong apa aja sih sama dia kok kelihatannya marah banget sama Aisyah yang jelas-jelas punya hati lembut dan punya niatan baik?" tanya Aisyah cengengesan.

"Kukira dia kamu," dengusku kesal.

"Iya, dia memang mirip Aisyah, cantikan Aisy dikit sih. OK, kembali ke pertanyaan semula. Mas udah ngomong apa aja sama dia?" Aisyah semakin menyerang. Bibirnya menahan senyum.

"Kukira dia kamu," jawabku malu-malu. Sialan ini anak.

"Ya udah kalau nggak mau jawab, berarti permasalahan kita selesai. Bay bay Maskuuuuuh," sapanya sambil berjingkat pergi. Aku duduk mematung menatapnya sambil garuk-garuk kepala. Sebal tapi tak tahu harus bagaimana.

Malamnya sehabis isya' dia masuk ke kamarku membawa tawa yang berderai-derai. Dia menertawakanku perihal kejadian di pohon rambutan itu. Rupanya Fandra sudah cerita. Sudah tak kuat menanggung jengkel aku mengancam Aisyah supaya tidak ikut ke Malang. Selain itu kumarahi dia sekuat tenaga. Dan nampaknya kemarahanku kemarin membuatnya jera, buktinya dari tadi dia tidak cerewet lagi. Atau karena dia sudah merasa mual semenjak dari Blitar tadi sehingga lupa untuk membully aku?

Mobil angkot terus berjalan. Sinar matahari sudah mulai tergelincir ke arah barat. Udara kota Malang kurasakan semakin terasa panas dari tahun ke tahun. Anak-anak sekolah berseragam putih abu-abu yang berhamburan keluar dari gerbang sekolah menyeretku pada mengharu birunya masa laluku saat aku bersergam seperti mereka. Lebih dari lima tahun yang lalu. Angkot terus berjalan menyusuri kota kenangan ini.

Sebentar lagi kami akan segera sampai di pondok. Dadaku mulai berdesir-desir tak karuan. Saat-saat seperti ini aku merasa membutuhkan candaan adikku. Bercanda sebenarnya dapat mencegah manusia dari perasaan grogi dan gelisah. Tapi kulihat Aisyah masih terpejam tak berdaya di pundak umi. Payah.


* * *

Bersambung

Romantika Alfiyah Ibnu MalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang