Seharusnya matahari sudah bertengger sedikit geser ke arah barat. Namun di atas sana langit sedang muram. Mendung hitam bergumpal-gumpal tak merelakan matahari untuk menampakkan diri. Kalaupun ada sinar, itu hanya redup saja. Di ujung cakrawala yang hitam itu kilatan cahaya bak akar listrik berkilat-kilat menebar ancaman. Tak lama kemudian suara petir menggelegar memekakkan telinga. Tak cukup di situ saja alam bertingkah. Detik berikutnya titik-titik air berjatuhan dari langit. Tak butuh lama bagi gerimis itu untuk kemudian tumbuh menjadi hujan yang lebat.
Para siswa yang sedianya akan pulang mengurungkan niatnya karena takut basah. Mereka yang sudah terlanjur keluar kelas kemudian berlarian mencari tempat berteduh. Namun bagi mereka yang membawa mantel menerobos derasnya hujan bukanlah sebuah masalah. Dan aku adalah salah satu dari mereka. Dengan berperisaikan mantel aku tak berkeberatan melaju di bawah lebatnya hujan. Beberapa saat kemudian aku telah siap dengan mantel yang membungkus tubuhku.
Jalan sepedaku mendadak kuhentikan karena di depanku seseorang tiba-tiba berhenti. Dia turun dari sepeda pancalnya untuk memeriksa sepeda yang dinaikinya itu. Sesuatu rupanya telah terjadi pada sepedanya. Tingkahnya itu mengagetkanku, membuatku sebal. Aku turun dari sepeda setelah meminggirkannya ke tepi jalan. Aku bermaksud memarahinya. Ternyata anak itu merasa kalau aku mendekatinya. Dia menoleh ke arahku. Tubuhnya basah kuyup. Baju putihnya semakin transparan karena basah. Bajunya yang lengket itu mencetak lekuk-lekuk tubuhnya. Dan betapa kagetnya aku ketika kulihat ternyata dia adalah Amir, temanku sekamar di pondok. Aku memang jarang bertemu dengannya. Kami sudah tidak sekelas lagi. Hubungan kami pun merenggang semenjak hukuman yang aku terima karena bepergian dengan Ning Fiya itu. Sebenarnya dia masih mencoba mengakrabiku, tapi aku memang mengambil jarak darinya. Aku merasa dia tidak beda dengan teman lainnya yang bersikap dingin denganku. Menyisihkanku. Awalnya dia satu-satunya teman yang masih akrab denganku. Tapi hubungan kami berubah ketika aku curhat padanya tentang perilaku teman-teman terhadapku. Dan jawabannya kemudian membuatku menganggapnya tidak beda dengan temanku yang lain. Dia mengatakan bahwa perilaku teman-teman yang mengambil jarak dariku itu tidak benar. Katanya aku saja yang terlalu sensitif dan su'udzon. Aku juga pernah mendengar dia menggunjingkanku berkaitan tentang hubunganku dengan Ning Fiya.
''Ternyata kamu Mir,'' sapaku dengan nada kaget yang tak bisa aku tutupi.
''Iya Gus,'' jawabnya pendek. Bibirnya mengurai senyum getir. Semenjak kami tidak begitu akrab dia memang selalu memanggilku Gus. Entah apa maksudnya.
''Kenapa sepedamu?''
''Ini loh, tiba-tiba rantainya putus,'' jawabnya dengan suara pelan, hampir tidak terdengar jika saja aku tidak mendekat padanya. Dia sebentar-sebentar mengelap wajahnya yang dibanjiri air hujan dengan lengannya. Hujan memang sedang turun menggila dari langit. Suara ramai para siswa di parkiran teredam oleh riuhnya suara hujan itu.
''Kamu jarang ke pondok ke mana saja?'' dia bertanya setengah berteriak melawan suara hujan. Siang itu hujan memang turun semakin deras. Suara guntur yang bergemuruh di balik mendung membuat siang yang gelap itu semakin mencekam.
''Ah biasa,'' jawabku terlontar dengan perasaan tak enak. Dan tentu saja itu bukan jawaban yang dapat memuaskan pertanyaannya.'' Kenapa kamu nggak berteduh saja dulu? Hujannya deras sekali Mir,'' lanjutku kemudian, membelokkan arah percakapan.
''Tanggung. Sudah kepalang basah, ya sudah mandi sekalian. Habis ini ada pengajian tafsir Jalalain Gus. Aku bisa ketinggalan kalau nunggu hujan reda. Eh kalau aku bareng kamu aja bagaimana? Kamu nanti pulang ke pondok bukan?''
Tiba-tiba langit meneror dengan suara petir menggelegar. Suara dahsyatnya benar-benar memekakkan telinga. Dan suara itu membantuku mengalihkan perhatian dari pertanyaan Amir yang sulit aku jawab. Dari sana-sini terdengar suara jeritan perempuan histeris. Ternyata petir itu menyambar pohon palem yang berada di samping gerbang sekolah. Pantas saja suaranya begitu keras. Ada beberapa siswa yang berteduh di gerbang yang bangunannya memang beratap seperti rumah itu. Di sana aku melihat Maya yang sedang ketakutan. Aku segera teringat pada janjiku untuk mengantarnya pulang.
''Eh Mir, maaf ya aku harus jalan duluan. Aku ada janji sama temen. Sebaiknya kamu bawa ke bengkel saja sepedamu itu. Kayaknya rusaknya memang serius tuh.''
Aku segera berlalu meninggalkan Amir. Sebenarnya hati kecilku mengingkari apa yang sedang aku lakukan ini. Tak enak meninggalkannya sendirian. Namun sudut hatiku yang lain membenarkannya. Kemudian aku berhenti menghampiri Maya. Sebelum aku benar-benar melesat bersama Maya aku menengok ke arah Amir. Kawan lamaku itu ternyata sudah tak sendiri lagi. Seseorang kelihatan sedang menghampirinya. Entah siapa orang itu. Derasnya hujan menghalangi pandangan mataku.
''Kau tau siapa yang berhenti menghampiri Amir itu Ya?'' tanyaku pada Maya. Setelah menoleh ke arah Amir Maya diam beberapa saat. Mempertajam pandangan matanya untuk menjawab pertanyaanku.
''Kayaknya dia Mala. Lihatlah helmnya itu. Aku pasti tak salah lagi,'' jawab Maya sambil menangkupkan sayap mantel batman-ku ke atas kepalanya.
''Masak dia Mala?''
Kulihat mereka masih bercakap-cakap. Entah apa yang sedang mereka perbincangkan di tengah hujan sederas ini. Aku masih terdiam beberapa saat melihat adegan itu. Namun kemudian pertanyaan Maya membangunkanku dari lamunan.''Kenapa? Kau cemburu gadis yang mengejar-ngejarmu sejak SMP itu mendekati temanmu?'' Maya bertanya padaku penuh selidik. Tubuhnya semakin menempel padaku. Pertanyaan itu menyadarkanku, ngapain mikirin mereka? Tanpa menjawab Maya terlebih dahulu aku langsung menancap gas. Mengantarnya pulang, menembus derasnya hujan. Gadis itu bersembunyi dibalik punggungku. Menempel erat ke punggungku. Rupanya langit sedang menumpahkan cadangan airnya yang tersimpan selama berbulan-bulan. Jalan-jalan tergenang air. Pohon-pohon basah dan semakin menghijau. Seekor burung yang baru saja menetaskan telurnya kebingungan bagaimana caranya melindungi anak kesayangannya itu. Binatang bersayap itu kemudian merentangkan sayapnya lebar-lebar hingga hampir menutupi sarangnya. Bertengger di sampingnya, sang jantan sedang berteduh. Melindungi diri dari guyuran hujan.
* * *
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Romantika Alfiyah Ibnu Malik
RomanceBagian ke 1 dari sequel Romantika Alfiyah Ibnu Malik Alfiyah Ibnu Malik adalah sebuah kitab kaidah bahasa Arab berbentuk bait-bait syair yang sangat legendaris di dunia pesantren. Setiap santri yang ingin menguasai ilmu agama harus menguasai dan men...