Romantika Alfiyah Ibnu Malik(1)

3K 188 56
                                    

"Kamu tahu maksud ceritaku Le?" tanya Kyai Mursyid tiba-tiba.

"Nopo Kyai?" tanyaku merasa bersalah. Sebenarnya aku dengar, tapi tak tahu harus jawab apa.

"Kamu paham apa maksud ceritaku yang panjang lebar tadi?" Kyai Mursyid mengulang pertanyaan.

Aku semakin gugup karena bingung mencari simpulan cerita beliau. Umi dan Aisyah diam membisu ketika aku menoleh ke arah mereka.

"Maaf Kyai, siapa yang dimaksud dengan Abu?" tanyaku penasaran.

"Abu Suja', abahmu," jawab Kyai Mursyid pelan. Kutengok umiku. Kulihat beliau tampak resah. Antara segan dan raut penasaran menyatu. Dan di sini tubuhku tiba-tiba lemas. Serasa melayang-layang mendengarnya. Kesimpulan cerita itu?

Aku semakin gugup.

"Apakah almarhum Kyai Abu Suja' tidak menceritakannya padamu Mbak Nab?" Kyai Mursyid mengarahkan pertanyaannya pada umi. Cara memanggil umi berubah dari bu nyai ke mbak. Apa ini ada kaitannya dengan masa lalu?

"Tidak pernah Kyai," jawab umi pelan.

"Rahasia ini memang cuma kami berdua yang tahu. Bagaimana Le? Sudah paham maksud cerita saya?" Kyai Mursyid kembali bertanya.
Aku bingung harus menjawab apa hingga aku lama terdiam mencari jawaban. Aisyah yang duduk di sampingku menyikut lenganku -memberi kode agar aku lekas menjawab. Tapi lidahku tiba-tiba sulit kugerakkan. Tercekat di tenggorokan.

"Baiklah, akan kuulangi pertanyaan yang dulu pernah kulontarkan pada abahmu. Maukah kamu menjadi menantuku?" tanya Kyai Mursyid tanpa tedeng aling-aling. Dadaku bergemuruh. Aku semakin gugup. Dengan siapa aku akan dijodohkan? Bukankah Ning Fiya sudah dijodohkan dengan Gus Adlan Jogja? Pikiranku centang perenang. Ning Fiya pun telah berubah membenciku kini. Tiap kali menyapa aku selalu dikacanginya. Masihkah dia menyimpan perasaan cinta itu?

"Mas?" panggil Aisyah dari sampingku.

"Jawablah pertanyaan Kyai, Le," umi menambahi. Aku semakin gugup. Keringat dingin mengaliri keningku.

Lagi-lagi Aisyah menyikutku.

"Apakah harus saya jawab sekarang Kyai?" tanyaku mengurai kebimbangan. Kyai Mursyid tertawa kecil. Aku semakin salah tingkah. "Pernikahan ini sudah direncanakan bahkan sebelum kamu lahir. Apakah kamu ingin menunda kebahagiaan abahmu di sana?"

Bayangan wajah abah seperti hadir di pelupuk mata. Aku mengerjap-ngerjap menyadarkan diri.

"Insaallah, saya siap," ucapku akhirnya,menabahkan diri.

Kyai Mursyid tersenyum lembut.

"Alhamdulillah, Engkau telah memudahkan kami membayar janji kami ya Allah," gumamnya.
Kami kemudian terdiam -menyelami suasana.

"Nyuwun sewu Kyai," ucapku memberanikan diri. "Bolehkah saya tahu dengan siapa saya akan dijodohkan?" kupingku panas tiba-tiba. Semoga aku tidak salah dengan pertanyaan itu.

"Bukankah kamu menyukai Alfiyah?" pertanyaan Kyai Mursyid menyentakku. Aku menelan ludah dengan kasar.

"Bukankah Ning Fiya akan menikah dengan Gus Adlan Kyai?" aku membalas tanya. Kedatangan Amir ke Jogja beberapa bulan yang lalu masih sangat kuingat. Berita pernikahan Ning Fiya dengan Gus Adlan putra Kyai Fadhil itu bahkan masih menggetarkan batinku hingga kini.

"Di balik nama kalian terucaplah janji kami. Aku dan abahmu. Ketika Kyai Suja' mempunyai anak laki-laki dan memberinya nama Ibnu Malik aku berdoa agar diberi anak perempuan lagi. Yang menikah dengan Gus Adlan adalah Aliya, anakku yang pertama. Pernah ke Blitar juga. Mereka sudah menikah sebulan yang lalu," Kyai Mursyid mengambil nafas dalam-dalam. Bibirnya mengurai senyum yang menyejukkan.

* * *

Bersambung

Romantika Alfiyah Ibnu MalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang