Malam mulai larut. Detik-detik penuh kejutan semakin beranjak pergi. Saat-saat menegangkan ketika merapalkan bait-bait alfiyah di depan orang-orang hebat pun telah berlalu. Tapi bukan berarti sport jantungku telah usai.
Aku sedang berdiri mematung di depan sebuah kamar. Menahan debaran jantung yang tak kenal kompromi. Aku harus mengumpulkan segala kekuatan untuk kemudian membuka knob pintu. Tapi masih juga aku ragu untuk bergerak hingga beberapa lama. Seharusnya tadi aku berlama-lama ngopi dengan Gus Fariq dan Amir. Sayangnya mereka telah pergi. Entah sudah habis berapa batang rokok mereka tadi.
"Nggak ngrokok lagi sekarang Gus?" tanya Amir beberapa saat yang lalu.
"Nggak, hehe," jawabku sambil nyengir.
"Nggak pusing lagi ya? Sudah tenang hidupmu sekarang?" tanyanya lagi. Kami kemudian tergelak dalam tawa.
Mereka kemudian memintaku menemui istriku untuk ritual malam pertama. Padahal aku masih ingin ngobrol berlama-lama. Tapi waktu memang sudah semakin malam. Kyai Mursyid pun telah menyuruhku untuk istirahat.
Dengan penuh ragu tanganku meraih knob pintu. Haruskah aku masuk kamar ini sekarang? Dan memang tak mungkin bagiku untuk masuk ke kamar lain. Tak mungkin aku masuk ke kamar tempat umi dan Aisyah menginap. Seperti apa aku akan dibilangnya nanti?
Bismillah. Akhirnya aku memutar knob. Pintu terbuka, memperlihatkan seorang perempuan tengah bertopang lutut mengotak-atik HP di atas ranjang. Aku mengucap salam sambil berusaha tersenyum. Dia menjawab lirih. Kukuatkan kakiku untuk terus melangkah. Dan aku kemudian bingung harus melakukan apa ketika perempuan yang baru kunikahi itu sama sekali tak memandangku. Aku memelankan langkah. Dia telah berganti pakaian dengan baju tidur. Kerudungnya ia pakai asal-asalan. Mempertontonkan rambut hitamnya yang panjang sebahu. Menatapnya sekilas membuat dadaku berdesir-desir tak karuan. Padahal tak kulihat ada sisa-sisa riasan make-up yang dikenakannya tadi.
"Jasku ini ditaruh mana ya?" tanyaku dengan sangat canggung.
"Gantung di lemari," jawabnya datar. Aku menelan ludah.
"Owh. Kamu suka yang nggantung-nggantung ya?" tanyaku bergurau. Dia tak menyahut. Perasaan malu menderaku.
"Lemarinya mana?" aku kembali bertanya.
"Nggak kelihatan ya di sampingmu ada lemari segede itu?" jawabnya. Astaghfirullah. Jadi ini ya yang namanya malam pertama? Aku menggerutu dalam hati.
Aku memutar knob lemari. Berulang-ulang. Dan nihil, pintu lemari tetap tak bergeming.
"Itu namanya dikunci. Ada kuncinya nggak?" dia bertanya dengan nada kesal. Aku pasti tampak begitu bodoh di matanya. Owh iya, aku memang bukan orang pintar. Tapi bukankah seharusnya dia tahu bagaimana bersikap pada suami?"Nggak ada kunci di sini. Di mana ya?" tanyaku sambil garuk-garuk kepala.
"Di laci dipan," jawabnya sambil menunjuk laci di belakangnya. Ya Allah, apa susahnya sih ambilin buat suaminya? Jeritku dalam hati. Aku naik ke dipan. Dia tak bergerak sedikit pun. Mau tak mau aku harus menyentuh punggungnya. Semerbak parfum menyerbu hidungku. Ingin rasanya aku langsung memeluk tubuhnya, tapi rasa maluku melarang keinginanku itu kuat-kuat.
Cklek! Untung pintu laci bisa segera kubuka, kalau nggak bisa berhenti jantungku.
"Yang ini ya kuncinya?" tanyaku.
"Mana kutahu, coba aja," dia menjawab dengan suara dingin.
Aku turun dari dipan dan bergegas menuju lemari. Dan berhasil! Segera kuletakkan jas pinjaman dari Amir ini ke dalam lemari. Duh, kenapa tadi tidak kuberikan langsung saja sama dia? Sebenarnya aku juga punya jas hitam yang sama seperti ini di rumah. Tapi buat apa aku bawa jas yang pernah kupakai saat wisuda pondok itu kalau hanya untuk sowan. Andaikan tadi aku tahu bakalan nikah malam ini pasti semuanya sudah kusiapkan dengan matang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Romantika Alfiyah Ibnu Malik
RomanceBagian ke 1 dari sequel Romantika Alfiyah Ibnu Malik Alfiyah Ibnu Malik adalah sebuah kitab kaidah bahasa Arab berbentuk bait-bait syair yang sangat legendaris di dunia pesantren. Setiap santri yang ingin menguasai ilmu agama harus menguasai dan men...