Sebuah Hukuman(1)

2.9K 142 25
                                    

"Cinta memang butuh pengorbanan. Meski harus memporak-porandakan harga diri seorang wanita, tak apalah aku yang memulainya terlebih dahulu; yang penting perasaan cintaku tak terbengkalai," ucapnya sambil memandang lurus ke depan. Tatapan matanya yang kosong mengisyaratkan bahwa dia masih larut dalam masa lalu itu. Ia kemudian menatapku. Matanya mengerling indah. Bibirnya mengurai senyum indah.

"Iya, cinta memang harus diperjuangkan. Meski aku harus didamprat oleh pengurus keamanan sekalipun. Hahahaha. Pengalaman pahit itu ternyata kini terasa manis sekali kalau diceritakan padamu, sayang," ucapku pelan. Tatapan matanya melunak. Senyumnya lembut menyapaku.

"Mas pernah disidang petugas kemanan pondok ya waktu itu? Duh, kasihan banget cintaku ini," dia mengakhiri kalimatnya dengan untaian senyum lagi.

"Demi mendapatkan kamu. Hukuman-hukuman pengurus pondok pun kujalani dengan ihlas," ucapku sok puitis.

Kepalanya rebah di bahuku. Aku menceritakan kembali detik-detik yang menguras emosi itu.

* * *

Tak terasa musim ujian telah tiba. Setengah jam sebelum ujian usai aku sudah rampung mengerjakan soal Bahasa Inggris. Aku selesai duluan bukan berarti paling pintar, tapi aku tak mau pikir panjang jika ada soal yang aku tak bisa. Aku jawab sekenanya. Mengikuti petunjuk penghapus yang kulemparkan di atas meja.

Aku sengaja lewat depan kelas lain sebelum menuju parkiran untuk mengganggu konsentrasi teman-teman yang masih sibuk mengerjakan ujian. Tabiat siswa yang sedang kesulitan menghadapi ujian itu akan semakin resah ketika melihat ada temannya yang sudah selesai duluan. Dan itulah yang aku inginkan. Aku bersiul-siul lirih untuk mengundang perhatian mereka. "Ayo pulang. Masa gitu aja nggak bisa,'' ledekku dalam hati.

Ketika aku sampai di parkiran kulihat seorang gadis berjilbab duduk sambil mendengarkan musik lewat earphone. Gadis itu tampak sedang memelototi layar HP-nya. Dadaku berdetak kencang tatkala aku melihat dari dekat ia adalah Alfiyah An Ni'mah, Ning Fiya. Ia tersenyum ketika melihatku mendekat ke arahnya.

"Kok ada di sini Ning? Sudah selesai ujiannya?'' tanyaku, menghalau grogi.
''Kamu pikir kamu saja yang sudah selesai?"

"Beneran sudah selesai?"ulangku lagi. Aku heran melihatnya cepat sekali mengerjakan ujian, padahal belum ada satu jam. Tapi dengar-dengar dia memang pintar. Beda denganku yang sok pintar.

"Kamu kira aku di sini sedang mengerjakan ujian?'' jawabnya singkat. Gadis itu turun dari sepeda pancalku. Kami berdiri berhadap-hadapan.

"Mungkin saja kamu belum bayar ujian, jadi ngerjakan ujiannya di luar kelas," timpalku sambil nyengir.
Dia memukulku.

"Pingin ngojek lagi?" tanyaku lagi.

"Yess. Boleh?"

''Kan biasanya dijemput sama mbak abdi ndalem itu? Kalau dicari nanti gimana?'' jawabku salah tingkah. Jarak kami semakin dekat.

''Masih pagi gini mana mungkin Mbak Reni menjemputku. Ayo jalan-jalan dulu? Mumpung masih pagi.''

''Jalan-jalan ke mana Ning?'' tanyaku kaget mendengar ajakannya.

''Ke mana saja asal jangan pulang.''

''Hemmm, gimana ya."

"Ayo Cak. Mumpung masih pagi," rayunya.

"Ok lah." aku memberanikan diri mengiyakan tawarannya. Kulihat senyumnya melebar. Menampakkan lesung pipi indahnya.

"Kemana?" tanyanya lagi.

"Gimana kalau kita pergi ke alun-alun saja?" aku mengajukan sebuah tempat.

''Haa. Ide bagus itu!'' jawabnya riang. Wajah cerah membuatnya semakin cantik.

''Tapi gimana nanti kalau ketahuan pengurus pondok Ning?'' tanyaku ragu.

''Ha ha ha kamu takut ya? Aku yang cewek saja gak takut masak kamu takut Cak?'' ledeknya.

"Yang punya pondok kan kamu. Mana ada santri yang berani macam-macam padamu?"

"Udah gak usah takut. Bilang aja nanti ngantar aku beli sesuatu. Beres kan?"

"OK. Siap." Keberanianku semakin tersulut dengan ucapannya itu.
Akhirnya kami berangkat menuju alun-alun. Naik sepeda pancal antikku. Sepanjang perjalanan kami hanya diam. Inilah kali kedua aku membonceng Ning Fiya. Suasana jalan raya tidak begitu ramai. Seperti sudah dipersiapkan untuk memudahkan perjalanan kami.

"Apakah kamu rasakan kehadiran sang bayu itu sekarang? Menghalau karat-karat kerinduan dalam dirimu?" aku bertanya memberanikan diri.

"Ha ha ternyata aku telah berhasil mengobati bisumu..."
Kami tertawa bersama di tengah lalu-lalang kendaraan.

Perjalanan itu terasa singkat saja bagiku. Sesampainya di alun-alun aku bingung mau ngapain. Ning Fiya mengajakku berfoto dengan HP canggihnya. Burung merpati terbang rendah seakan ikut merasakan kebahagiaan kami. Burung itu berjalan mengendap-endap di sekitaran rerumputan di dekat kami. Ah beginikah rasanya menjadi anak muda yang sedang dilanda asmara?

Setelahnya, kami duduk di pinggiran kolam yang berada di tengah alun-alun. Suasana yang sejuk ikut menemani kami. Jalan yang melingkari alun-alun masih terlihat ramai. Di kanan- kiri kami para pedagang aneka makanan menjajakan jajanannya. Tempat itu walaupun tidak begitu ramai tapi memang selalu didatangi pengunjung. Sekedar melepas lelah bagi para pekerja. Juga bagi mereka yang melakukan perjalanan. Tempatnya yang berada di depan masjid memang sangat strategis untuk melepas lelah sembari menunggu waktu shalat datang.

''Belajar buat puisi dari siapa Ning?''

"Belajar sendiri. Otodidak. Kenapa?"

"Bagus puisinya."

''Masak sih ....'' Mulutnya mengulum senyum tipis. Aku menatapnya. Wajahnya tidak secerah tadi.

Angin sepoi-sepoi menggerakkan dedaunan yang menghijau di taman kecil itu. Tidak begitu kuat memang, tapi cukup memberikaan kenyamanan dengan kesejukannya. Seorang pedagang makanan ringan menghampiri kami. Di dadanya ada keranjang berisi beraneka makanan. Keranjang itu terikat ke bahunya dengan sedemikian rupa.

''Kacang Dik, buat temen ngobrol biar tambah romantis. Makan satu bungkus dijamin tambah lengket. Sebungkus cuma seribu Dik. Beli empat saja sekalian untuk persediaan nanti.'' Aku tergelitik mendengar pedagang kaki lima itu nyrocos mempromosikan dagangannya. Aku memandang Ning Fiya yang rupanya juga terpancing dengan ocehan pedagang itu. Dia terlihat menahan tawa geli. Akhirnya aku membeli dua.

''Kok cuma dua, sekalian empat bungkus aja anak ganteng, biar kalian berdua tak akan terpisahkan untuk selamanya.''

''Ini aja belum habis pak,'' jawabku ketus agak jengkel mendengar cerewetnya.

''O iya, ini juga ada teh, biar nggak haus Dik. Maezone juga ada lho Dik. Kalau ngantuk kopiko juga ada.''

''Pengen minum apa Ning?'' tanyaku pada Ning Fiya. Dia masih menatap geli ke arah penjual jajanan itu.

''Aku tidak haus Cak,'' jawabnya pendek.

''Ya sudah, beli tehnya saja, Pak. Dua botol.''
Setelah dagangannya terbeli, orang itu segera pergi meninggalkan kami. Mulutnya tak mau berhenti berteriak menawarkan dagangannya.

''Men-ruk-pik-cang-men-ruk-pik-cang, permen-jeruk-keripik-kacang, men-ruk-pik-cang-men-ruk-pik-cang. Permen-jeruk-keripik-kacang, keripiknya mas. Kriuk-kriuk biar ramai, cocok bagi yang lagi kesepian.''

Setelah penjual makanan ringan itu berlalu, kami kembali terdiam. Aku semakin menyadari adanya sesuatu yang sedang Fiya pikirkan. Ada yang janggal dalam raut wajahnya. Aku mulai menerka-nerka. Apa mungkin aku salah kata sehingga melukai hatinya? 

* * *

Bersambung

Romantika Alfiyah Ibnu MalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang