Pulang Kampung(1)

2K 148 18
                                    

Dua bulan kemudian...

"Kapan ke sini lagi Kang?" tanya Zaman memelas. Wajahnya yang seperti bayi mau ditinggal ibunya membuatku geli. Mau ketawa tapi nggak tega.

"Dua minggu lagi paling. Mepet-mepet wisuda. Sudah, cepetan balik ke pondok. Bentar lagi waktunya ngaji kan?"

Zaman masih berdiri mematung. Duh, kayak syuting film adegan melow sebuah perpisahan saja, padahal aku cuman dua mingguan di rumah.

"Nggak ngucapin terima kasih gitu?" tanyanya. Aku tergelak sambil mengucapkan terima kasih. Ia kemudian memakai helm dan beranjak ke motornya.

Sementara itu bus tujuan Kediri yang akan kutumpangi sudah mulai memanasi mesin. Aku segera melambaikan tangan ke arah Zaman. Dalam hatiku juga menyampaikan salam pada kota perantauanku ini. Salam perpisahan untuk sementara. Bayangan-bayangan kisah yang terukir selama aku di sini menjuntai di ujung mata. Rasanya belum lama aku pertama kali menginjakkan kaki ke sini. Dan sebentar lagi aku akan segera meninggalkannya. Senyum teduh Kyai Bad sore kemarin menghiasi perenunganku atas lika-liku hidupku.

Aku bergegas masuk bus. Rasanya sudah tak sabar untuk segera sampai rumah.

Beberapa saat kemudian bus sudah mulai melaju. Aku mulai mengubek-ubek HP-ku. Hmm. Sudah tiga tahun aku berpisah dengan benda ajaib yang kata kyai-kyaiku adalah syetan elektronik ini. Dan zonk. Aku mulai dari nol lagi. Tak satu kontak pun yang kupunya. Setelah mengaktifkan nomor baruku aku mulai mencatat nomor Zaman dan Sultan. Dua teman yang kudapat selama sekitar lima tahun ini. Lima tahun cuma dua teman? Maksudku teman akrab.

Salah. Ternyata aku masih punya beberapa kontak. Nomor-nomor yang kusimpan di memori HP masih ada. Semoga masih aktif.

Setelah mengaktifkan beberapa aplikasi ternyata lelah juga memelototi HP terus. Aku mencoba memejamkan mata. Melihat orang sebelahku tidur sambil memakai earphone membuatku ingin mencobanya. Ternyata stok laguku masih utuh. Tapi ya, udah jadul. Tapi belum membusuk kok. Masih enak didengar telingaku yang memang aliran salaf.

Suara Sheila on 7 yang mengalun di telinga tak kunjung mengantarku tidur. Yah, di pondok aku tiap hari sudah mendengarkan solawatan. Biar kali ini aku jadi anak masa kini dulu. Eh, masak memutar musik pop seperti ini dapat mengubah status jadi anak masa kini. Lagi mikir apa sih aku ini?

Pikiranku kembali berkeliaran.

Pertama-tama aku mikir nanti sesampainya di rumah. Menerka seperti apa nanti umi akan memarahiku. Lalu aku akan jawab dengan sopan bahwa aku sedang dikarantina oleh Kyai Bad. Hmm. Mungkin umi akan segera meleleh dan mendekapku seperti yang sudah-sudah. Kangen banget sama pelukan umi. Dan kemudian Aisyah adikku yang dulu imut itu; seperti apa ya dia sekarang? Ya, dia harus memasakkanku menu andalannya. Sudah bisa masak apa belum anak itu? Akan kumarahi dia kalau sampai belum bisa masak.

Ya Allah. Segerakan hamba sampai rumah Ya Allah. Andaikan aku punya ilmu tantowil ard. Pasti sudah kulipat jalanan yang macet ini. Duh. Lama banget ini bus ya? Panas banget ini bokongku.

Lagu-lagu pop berlirik romantis yang masuk ke gendang telinga memicu saraf baperku. Lalu pikiranku mulai menghadirkan wajah-wajah wanita yang pernah mengisi dapur memori hidupku. Ada Alfiyah, Maya, Mala, Era, dan beberapa teman kuliah yang pernah pdkt padaku.

Otakku kemudian menganalisa gadis pertama. Gadis tercantik sepanjang jaman, menurutku. Siapa lagi kalau bukan Alfiyah. Wajah itu bikin aku kembali patah hati. Cantiknya, akhlaknya, nasabnya, prestasinya. Duh. Sayang sekali Tuhan telah mencarikan jodoh yang tepat untuk dia. Ya, aku bukanlah yang tepat untuk dia. Ah, biarkan dia bahagia. Dan biarkan aku saja yang merana. Toh, sedari dulu aku telah terbiasa merana. Patah hati sudah berkali-kali. Kelaparan karena tak punya uang sudah biasa. Kepergok saat jadi pemulung oleh gadis pujaan hati juga pernah. Kecelakaan sampai hampir mati juga pernah. Dipermalukan di depan ratusan santri juga pernah. Ah, hidupku memang penuh warna.

Bayang-bayang kecantikan Maya berkelebat kemudian. Dia yang pernah menggodaku. Dia yang pernah sangat dekat denganku. Dia yang pernah kuselamatkan dan kemudian hilang entah kemana. Lalu tiba-tiba dia mengirimi surat menceritakan jati dirinya. Bahwa dirinya diminta papinya untuk menggodaku. Lalu dia mengaku jatuh cinta padaku. Juga pengakuannya bahwa papinya menjadi dalang di balik terbunuhnya abahku. Sampai di sini amarahku kembali menggelegak. Ada sedih. Ada marah. Akhhh.

Di manakah ia kini? Haruskah aku mendatanginya ke Jombang setelah kemarin kubaca suratnya yang mengabarkan kerinduanya itu?

Wajah Mala datang menyelinap kemudian. Gadis itu telah dua kali menyatakan hatinya padaku. Setelah pernyataannya saat masih MTs itu kudiamkan, kupikir dia sudah melupakan aku dari pikirannya. Tapi kenapa tiba-tiba kemarin dia datang kembali sambil menawarkan hatinya padaku? Apa karena dia sedang dekat dengan adikku? Lalu apakah umi ikut terlibat dalam mengutarakan perasaannya itu? Kenapa Mala datang membawakan hutang budi itu pada keluargaku yang sedang kesusahan?

Ya Allah. Engkaulah Sang Penggenggam segala rencana. Engkaulah Sang Pengatur cerita kehidupanku. Tatalah kehidupan dan perasaanku. Jangan ombang-ambingkan diri ini dalam nestapa...

* * *

Aku tergeragap bangun. Hawa dingin menyergapku. Ternyata aku sudah sampai di kota Batu. Detik berikutnya aku sampai di Malang. Kota sejuta kenangan. Mataku berkeliling mengedarkan pandangan. Tempat-tempat yang dulu pernah memberiku kenangan kini telah berubah. Mereka telah berbenah. Tempat-tempat yang dulu sederhana sekarang tampak mewah.

Dan mataku memandang dari kejauhan dengan penuh luka. Menara pondok itu. Iya, aku telah menggantungkan perasaan cintaku terlalu tinggi. Maka begini akhirnya, aku tak mampu lagi menggapainya.

Aku kemudian mengulang hafalan Al-Qur'an. Berharap kecamuk pikiran bisa teredam.

Bus terus melaju. Menerbangkan debu dan meninggalkan masa lalu. Di depan sana jalan masih panjang dan berliku.

* * *

"Assalamualaikum," aku mengucap salam. Tak ada jawaban. Pintu masih tertutup rapat. Kulihat ada beberapa santriwati yang berbisik-bisik sambil melihatku ketika melintas di depan ndalem.

"Assalamualaikum," aku mengulangi salamku. Dan masih kutambah dengan mengetok pintu.

"Nduk, ada tamu. Ke depan dulu." Samar-samar kudengar suara dari dalam. Tak berapa lama kemudian kudengar suara langkah kaki menuju tempatku berdiri.

Pintu itu kemudian terbuka. Kulihat seorang gadis belia berdiri di tengah pintu terpaku memandangku.

"Mas," ucapnya bergumam. Dia kemudian berteriak memanggil umi dan berlari meninggalkanku sambil mengulang-ulang namaku dan umi.

"Mas pulang Mi! Mas pulang!!" teriaknya. Seperti orang bingung, dia muncul lagi menyerobot tanganku. Diciumnya punggung tanganku dan kemudian menyeretku menuju umi.

Beberapa kejap kemudian kulihat umi sedang terbaring di atas ranjang. Kulihat air matanya berleleran tanpa mengucap sepatah kata pun.

"Le," gumam umi seolah tak percaya aku sedang berada di depannya. Aku terus mendekat. Kemudian aku memeluknya, erat sekali. Kucium tangannya sambil mengucap maaf.

"Umi kenapa nampak pucat, Mi?" Umi menangis. Pertanyaanku tak dijawabnya. "Maafkan Malik Mi. Malik tidak bisa ngasih kabar keadaan di Jogja."

Umi hanya menangis tanpa menimpali permohonan maafku. Tangis itu kemudian menular padaku. Aku kembali dipeluknya. Aku merasa seolah kembali menjadi anak kecil.

"Kamu baik-baik saja Le? Badanmu kurus sekali," umi berujar dengan suara lemah. Beliau menatapku dan mengecek badanku.


* * *

Bersambung

Romantika Alfiyah Ibnu MalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang